”Marhaen
Pergi Bersama Bung Karno” Dedy N Hidayat ; Dosen Pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI |
KOMPAS, 06 Juni 2021 (01
Juni 2001)
Banyak pihak memang ragu
bahwa Soekarno, tahun 1930,pernah benar- benar berdialog dengan seorang
petani bernama Marhaen (Legge, 1972). Kontribusi marhaenisme dalam wacana
teori-teori pembangunan pun sering pula dipertanyakan. Namun, penggambaran
Marhaen itu sendiri sebagai sebuah konsepsi pemikiran normatif Soekarno
tentang manusia pelaku pertanian, masih tetap relevan dikaji, terutama yang
menyangkut keberadaan dan masa depan kaum Marhaen di tengah pusaran arus
globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Marhaen, dalam konsepsi
Soekarno (antara lain dalam pidato ulang tahun ke-30 PNI, di Bandung, 1957),
bukanlah petani proletar, bukan pula petani kapitalis. Di satu sisi, walaupun
hidup di ambang kemiskinan, namun Marhaen bukan buruh tani yang menjual
tenaga kerjanya sebagai komoditas dalam proses produksi pertanian; walaupun
lahan pertaniannya terbatas, tetapi itu miliknya sendiri; demikian pula
cangkul, sabit, serta bajak yang digunakannya. Di sisi lain, ia bukan
pula semacam pengusaha pertanian, atau tuan tanah, yang menangguk nilai lebih
hasil kerja para buruh penggarap lahan. Atas dasar konsepsi
seperti itu, Soekarno mengajukan premis bahwa petani Marhaen "mengemban
tugas sejarah" untuk membawa Indonesia ke sebuah masyarakat adil dan
makmur. Premis tersebut juga mencakup arti bahwa masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur, khususnya di sektor pertanian, harus terdiri dari massa
petani Marhaen yang memiliki sendiri lahan pertanian mereka, bukan segelintir
minoritas kapitalis yang menanamkan modalnya di sektor pertanian, bukan pula
mayoritas proletariat petani yang "memiliki lahan secara kolektif"
(alias petani yang menjadi komoditas dalam state capitalism sebuah negara
sosialis). Implikasinya jelas: di
samping perbaikan nasib Marhaen itu sendiri, diperlukan pula upaya agar
kelompok petani yang tidak memiliki lahan bisa menjadi petani Marhaen. Faktor
pemilikan pribadi alat-alat produksi oleh kaum Marhaen itu pula yang
merupakan salah satu faktor pembeda antara marhaenisme dengan narasi besar
marxisme (yakni yang lebih menekankan preskripsi perlunya pemilikan lahan
secara kolektif oleh petani proletar). Marhaen, dalam perspektif
Marxist, sebenarnya adalah kelompok "borjuis kecil", pelaku sebuah
simple commodity mode of production, yakni yang membatasi penyerapan nilai
lebih hanya di dalam lingkungan keluarga sendiri, tanpa eksploitasi nilai
lebih yang dihasilkan oleh tenaga buruh sewa. Kelompok "borjuis
kecil" seperti Marhaen inilah yang dalam argumen teleologis Marx dan
Engels merupakan transitional class, sebuah kelas yang akhirnya akan punah,
menjadi bagian proletariat petani, sementara sistem produksinya secara
keseluruhan terserap menjadi bagian dari capitalist mode of production (lihat
a.l., Mann and Dickinson, 1989). Sebagai kelompok
transisional, yang oleh Marx disebut kelompok rural idiots, sikap politik
mereka pun penuh ambivalensi, kontradiktif, dan tidak mampu membangun
kesadaran kelas serta memelihara kepentingan jangka panjang yang fundamental.
Karena itu pula dalam perspektif Marxist, kelompok seperti Marhaen tidak
memiliki signifikansi politik; antagonisme dan konflik kelas yang terjadi
bukan pula antara kaum Marhaen dengan kapitalis, melainkan antara petani
proletar versus kapitalis, di mana di tengahnya "boerjuis kecil"
Marhaen bersikap ambivalen. Akan tetapi dalam
marhaenisme, justru kelas proletariat hampir tidak relevan sama sekali bagi
konteks Indonesia, dan konflik kelas pun justru terjadi antara Marhaen dengan
kapitalis: " . . . in Sukarno's Marhaenism, the concept of proletariat
was hardly relevant for Indonesia . . . the class conflict is between Marhaen
and capitalist" (Legge, 1972). Tesis marhaenisme bahwa konflik kelas
justru terjadi antara kapitalis dengan Marhaen, bukan dengan kelas
proletariat, merupakan salah satu lubang besar dalam rangkaian proposisi Bung
Karno tentang Marhaen. Sulit menemukan argumen Bung Karno untuk itu, selain
fakta bahwa rangkaian proposisi tersebut didasarkan pengamatan terhadap
Marhaen dalam konteks historis spesifik yang ada di Tanah Air pada waktu itu. Petani
utuh Bung Karno mungkin memang
lebih banyak mengetengahkan Marhaen sebagai konsep deskriptif, menunjuk pada
posisi struktural sebuah kelompok petani dalam formasi sosial yang terbentuk
di sektor pertanian. Namun di balik itu semua tampak bisa digali dimensi
kemanusiaan kaum Marhaen sebagai human agencies dalam struktur produksi
pertanian. Berbeda dengan buruh tani yang hanya memiliki tenaga dan
keterampilan, atau pun dengan pengusaha pertanian yang hanya menguasai lahan
dan modal produksi lainnya, maka Marhaen adalah insan tani yang mampu
memelihara the unity of works-labor-means of production. Dari segi itu, Marhaen
adalah "petani utuh", yang menghayati dirinya sebagai pekerja
sekaligus produsen independen. Mereka melihat aktivitas bertani sebagai a way
of life, bukan sekadar aktivitas bisnis untuk kepentingan akumulasi modal,
atau sekadar proses di mana ia bisa menjajakan diri sebagai komoditas.
Kualitas itu semua membuat Marhaen berbeda dengan one-dimensional farmer,
seperti buruh tani yang menemukan dirinya hanya sebagai komoditas, atau
pengusaha pertanian yang menempatkan dirinya lebih sebagai homo economicus
dalam sebuah sirkuit akumulasi modal. Marhaen sebagai human
agency, beserta rasionalitasnya, dalam merespons kondisi struktural sektor
pertanian mungkin bisa disejajarkan dengan para petani Yeoman di Amerika.
Berbeda dengan petani Yankee yang lebih didominasi rasionalitas
formal-instrumental dan kalkulus maksimalisasi laba, maka petani Yeoman lebih
cenderung menonjolkan rasionalitas substantif, berpedoman pada tujuan-tujuan
aktualisasi diri, pelestarian lahan pertanian, keseimbangan lingkungan, serta
pewarisan tradisi (lihat Adams, 1986; Mooney, 1988). Bagi mereka, bertani
merupakan bagian dari identitas diri serta keluarga, bukan sekadar aktivitas
mencari nafkah atau bisnis (Strange, 1988). Dalam konsepsinya yang ideal,
petani Marhaen, seperti halnya petani Yeoman, memiliki hubungan sentimental
dengan tanah pertaniannya; mereka tidak mempersepsikan tanah miliknya sebagai
komoditas yang bisa dijual bila kondisi sektor pertanian dinilai tidak
menguntungkan lagi. Rasionalitas itu pula yang
membuat petani Yeoman dinilai kurang "rasional", kurang
"inovatif", kurang sensitif terhadap sinyal-sinyal pasar, dan juga
kurang agresif dalam mengeksploitasi lahannya, termasuk dalam penggunaan
varietas baru, pupuk, dan pestisida (Mooney, 1988). Hal yang sama tampak juga
berlaku bagi kelompok petani dalam kategori Marhaen (lihat a.l., Boeke dalam
Adams, 1986). Tetapi justru dengan rasionalitas seperti itu, sejumlah studi
membuktikan, petani Yeoman lebih mampu melestarikan lingkungan dan kesuburan
lahan mereka. Mereka juga memiliki resistensi lebih tinggi terhadap tekanan
struktural yang menyertai penetrasi kapitalisme ke sektor pertanian. Rasionalitas substantif
semacam itu merupakan agency variable, atau faktor subyektif dalam diri
pelaku sosial, yang dalam analisis Weberian (dan juga Marxist Chayanovian)
dinilai telah berfungsi menghambat transformasi struktural penetrasi
kapitalisme ke sektor agraria. Itu berbeda dengan petani Yankee yang lebih
mengintegrasikan diri dalam kapitalis produksi, kemudian bangkrut terjerat
kredit atau spekulasi, dan akhirnya menjual lahannya (Mooney, 1988; Strange,
1988). Bila kita (dulu)
bersepakat bahwa tujuan pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya, maka
Marhaen-dalam posisi struktural serta rasionalitas yang dimilikinya-bisa
ditempatkan sebagai representasi sosok manusia yang utuh di sektor pertanian.
Karena itu pembangunan sektor pertanian tidak bisa mengacu hanya pada tolok
ukur produktivitas, melainkan juga pada kriteria pelestarian dan peningkatan
kesejahteraan petani Marhaen, serta transformasi buruh tani menjadi petani
Marhaen. Mungkin itulah salah satu relevansi dan implikasi kebijakan
pembangunan dari pemikiran Bung Karno tentang Marhaen. Struktur
dan ideologi Namun kompleksitas
kekuatan sejarah ternyata telah menempatkan Marhaen bukan lagi bagian dari
desain besar masa depan negeri ini. Mereka berangsur-angsur mengalami
transformasi diri menjadi one-dimensional man dan pergi mencari masa depan
mereka sendiri. Pertanda itu telah muncul sejak beberapa dasawarsa.
Berjuta-juta Marhaen mengalami transformasi menjadi buruh tani, pengayuh
becak, penggali tanah, kuli bangunan, buruh pabrik atau pekerja
"industri keamanan" (sebagai satpam ataupun preman) ketika
kriminalitas semakin marak akibat proses marjinalisasi dalam pembangunan. Itu semua terjadi justru
pada puncak keberhasilan "Revolusi Hijau" di Tanah Air, ketika
produksi beras meningkat 5 persen per tahun dan swasembada beras tercapai
tahun 1984 (James et al., 1989). Jumlah petani Marhaen semakin susut.
Proporsi rumah tangga pedesaan yang tidak memiliki lahan pertanian lebih dari
0,1 hektar, telah meningkat dari 27 persen di tahun 1960, menjadi sekitar 43
persen tahun 1980 (White, 1986), dan akhirnya diperkirakan kini mencapai
lebih dari 50 persen. Petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar telah
pula semakin langka, yakni dari sekitar 11 juta di tahun 1980, menjadi 8,7
juta di tahun 1983 (MacAndrews, 1986), dan kini diperkirakan tinggal 4 juta-5
juta. Faktor kultural-demografis
(pertumbuhan penduduk dan tradisi membagi tanah warisan) memang merupakan
salah satu penyebab. Namun proses transformasi Marhaen disebabkan pula oleh
berbagai tekanan struktural di mana negara turut berperan. Bila marhaenisme semakin
kehilangan pijakan struktural yang diperlukan, maka "ideologi
pembangunan Orde Baru" semakin kuat melekat dalam struktur
ekonomi-politik yang diciptakan. Selama dasawarsa 1970-1980, ketika
pembangunan ekonomi Orde Baru mulai melaju, jumlah lahan pertanian milik
petani yang dibeli untuk sektor usaha lain (pembangunan pabrik, perumahan,
transportasi, dan pemerintahan) mencapai sekitar 40.000 hektar per tahun.
(Kompas, 6 Juni 1980) Pembangunan ekonomi serta
"Revolusi Hijau" era Orde Baru jelas juga tidak berlangsung dalam
suatu vakum politik, tetapi dalam struktur otoritarian sebuah state
corporatism atau bureaucratic polity. Sehingga di samping "Revolusi
Hijau" itu sendiri pada dasarnya lebih berpihak pada para petani pengusaha
(lihat a.l., Lappe dan Collins, 1986; Feder, 1983), maka khususnya di
Indonesia, dampak negatifnya semakin berlipat oleh karena
"revolusi" itu juga dijalankan menurut logika struktur otoritarian
yang mengakomodasi kepentingan menjaga dukungan elite desa terhadap penguasa.
Akibatnya, program intensifikasi pertanian lebih menguntungkan segelintir
individu yang menjadi aset politik penguasa. (lihat a.l., Mortimer, 1985;
White, 1989) Akibat lebih jauh adalah
munculnya kecenderungan pemusatan pemilikan lahan pertanian di tangan
kelompok elite desa serta absentee owners yang tinggal di perkota-an.(lihat
a.l., MacAndrews, 1986; Siahaan, 1983; Kartodirdjo, 1988) Selama era Orde Baru,
diperkirakan sekitar 10 persen petani menguasai lebih dari 50 persen lahan
pertanian di pedesaan. Namun, kondisi sebenarnya mungkin lebih buruk karena
terbukti sedemikian mudah bagi absentee owners atau tuan tanah untuk
mencatatkan tanah mereka atas nama keluarga dekat. (Hardjono 1989; White,
1989) "Kepunahan" kaum
Marhaen memang tidak hanya disebabkan oleh faktor kultural-demografis dan
faktor struktural. Rasionalitas substansif Marhaen, sebuah agency variable
yang diharapkan mampu menangkal tekanan-tekanan struktural, ternyata
berangsur juga mengalami erosi, sebagai akibat berbagai mekanisme yang
melibatkan peran negara. Terlebih lagi dalam
struktur ekonomi-politik yang ada waktu itu, ide-ide turunan "ideologi
pembangunan" memang lebih mudah dinilai sebagai sesuatu yang
"logis", "wajar", "alamiah" atau "tidak
terelakkan". Contohnya adalah ide salah satu Menteri Pertanian era Orde
Baru yang mengatakan bahwa pemerintah sangat menganjurkan agar para petani
kecil menjual tanah mereka kepada pengusaha pertanian ataupun industri.
(Kompas, 9 Februari, 1984) Anjuran semacam itu, dan
kebijakan sejenisnya, jelas tidak didasarkan empati bahwa lepasnya penguasaan
lahan bagi seorang Marhaen merupakan suatu transformasi diri dari
"petani utuh" menjadi "one-dimensional man" yang
menjajakan diri sebagai komoditas di berbagai sektor kegiatan akumulasi
modal. Demikian pula dengan
kampanye "komunikasi pembangunan" yang berupaya agar Marhaen lebih
agresif mengeksploitasi lahannya, termasuk dalam hal pemanfaatan pestisida
dan pupuk-meskipun praktik pertanian semacam itu terbukti mengganggu
keseimbangan ekologis, mencemari sumber air, menyebabkan erosi lapisan tanah
subur (Margrath dan Arens, 1987), dan berpotensi merusak hubungan sentimental
antara Marhaen dengan lahan pertaniannya. Marhaen memang telah pergi
bersama Soekarno; dan mungkin tidak akan pernah kembali. Sebab, semenjak
liberalisasi perdagangan global telah menjadi aksioma pembangunan, nasib
Marhaen hampir sepenuhnya ditentukan oleh the invisible hands
kekuatan-kekuatan pasar. Terlebih lagi kini ketika para ekonom serta elite
politik-termasuk elite partai-partainya "wong cilik"-satu per satu
kehilangan spirit untuk menulis sendiri sejarah negeri kita, dan mengakui
bahwa tidak ada alternatif lain lagi selain mematuhi segala preskripsi dari
lembaga- lembaga yang selama ini berperan sebagai instrumen liberalisasi
ekonomi global. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar