Kontroversi
”Pajak Sembako” A. Prasetyantoko ; Rektor Unika Atma Jaya |
KOMPAS, 15 Juni 2021
Hanya ada dua kepastian
dalam hidup ini; kematian dan pajak. Membayar pajak adalah takdir. Karena itu
pula, kebijakan perpajakan merupakan kebijakan ekonomi paling rumit, penuh
dilema, dan terkadang kontroversial. Itulah yang terjadi dalam perdebatan
seputar rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan
pokok seperti beras dan gula--disebut “Pajak Sembako”--serta jasa utama
seperti pendidikan dan kesehatan. Pemerintah mengajukan draf
Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP)
sebagai perubahan kelima atas UU No.6 Tahun 1983 yang masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Dokumen ini belum resmi dibahas, tetapi
sudah beredar luas di publik. Sebagaimana dijelaskan
dalam butir pertimbangan pada draf itu, skenario tersebut dilakukan dalam
rangka pemulihan ekonomi melalui strategi konsolidasi fiskal dengan fokus
perbaikan defisit anggaran serta peningkatan tax ratio. Peningkatan
penerimaan pajak dirancang melalui sistem yang mengedepankan prinsip keadilan
dan kesetaraan, selain perbaikan administrasi yang konsolidatif serta peningkatan
kepatuhan. Sepertinya, upaya ini
dilakukan dalam rangka implementasi UU No.2 Tahun 2020 yang mengatur defisit
fiskal kembali di bawah 3 persen pada 2023 nanti. Kebijakan
Fiskal Kontroversi “Pajak
Sembako” perlu dilihat dalam konteks utuh. Pertama, pajak merupakan sumber
pendanaan utama pengeluaran pemerintah. Semakin besar pengeluaran pemerintah,
semakin besar tekanan pada penerimaan pajak. Itulah mengapa kelompok negara
maju (G-7) mencanangkan kenaikan pajak korporasi secara global minimal 15 persen
begitu ekonomi pulih dari pandemi. Kedua, mengapa pemerintah
kita memilih kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bukan pajak
penghasilan (PPh), seperti kelompok G-7. Peningkatan pajak penghasilan, baik
pribadi maupun badan (korporasi) akan berdampak pada berkurangnya proporsi
tabungan dan investasi yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Di negara maju, kunci
pemulihan ekonomi adalah kebijakan fiskal, termasuk subsidi sektor korporasi.
Begitu situasi membaik, perusahaan harus “membayar kembali” subsidi yang
telah diterima. Di negara berkembang seperti Indonesia, peran stimulus fiskal
(untuk korporasi) relatif kecil dan pemulihan tetap mengandalkan sektor
swasta. Pajak pertambahan nilai
memang akan menurunkan upah riil yang akan berdampak pada penurunan konsumsi.
Namun dampaknya pada perekonomian akan netral, karena tak mengurangi tingkat
tabungan dan investasi. Perekonomian negara berkembang seperti Indonesia
masih butuh akselerasi pertumbuhan melalui investasi yang dibiayai tabungan. Benar perekonomian kita
didominasi konsumsi rumah tangga, sehingga penerapan PPN berpotensi menggerus
konsumsi. Itulah mengapa tarif PPN dilakukan berjenjang (multitarif), tidak
merata di semua jenis barang. Barang kebutuhan pokok yang biasa dikonsumsi
masyarakat berpendapatan menengah atas berlaku tarif sebesar 12 persen,
sementara yang dikonsumsi kelompok bawah bertarif rendah. Terlebih lagi, pemerintah
juga masih akan memberikan subsidi bagi kelompok berpenghasilan rendah atau
tak berpenghasilan. Dengan demikian, konsumsi nasional tetap bisa dijaga. Ketiga, selain membiayai
pengeluaran pemerintah, pajak juga berfungsi sebagai instrumen pemerataan
serta menyelesaikan persoalan sosial. Resesi akibat pandemi akan punya efek
panjang bagi beberapa sektor dan kelompok masyarakat tertentu. Pemerintah
tetap harus hadir dengan memberikan stimulus bagi mereka. Namun di sisi lain,
pemerintah juga perlu memastikan pemasukan pajak lebih besar, terutama dari
kelompok mampu, tanpa mengorbankan pemulihan ekonomi. Nampaknya, prinsip
keadilan yang dituangkan dalam pendekatan multitarif ini absen dari diskusi
publik, sehingga memicu kontroversi. Harus diakui, pemerintah
tak punya banyak pilihan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dalam
situasi serba tak pasti akibat pandemi seperti sekarang ini. Dua komponen
utama penerimaan adalah pajak penghasilan (PPh) dan pertambahan nilai (PPN).
Pada 2020 lalu rasio penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional atau
yang dikenal sebagai tax ratio hanya sebesar 8,3 persen. Sudah sejak 2017,
rasio pajak kita di bawah 10 persen atau lebih rendah dari rerata negara di
kawasan Asia Tenggara sekitar 14 persen. Sementara itu, stimulus
fiskal dalam rangka pandemi telah membuat defisit 2020 membengkak menjadi Rp
956,3 triliun atau 6,09 persen terhadap PDB. Penerimaan pajak menurun,
sementara pengeluaran pemerintah meningkat. Pada 2021 ini situasi anggaran
belum membaik, karena nominal defisit masih naik menjadi Rp 1.006,4 triliun,
terutama guna menopang program vaksin gratis. Karena perekonomian
diproyeksikan sudah tumbuh pada kisaran 4-5 persen, maka defisit diperkirakan
turun menjadi 5,7 persen. Dalam paparan kebijakan
ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) tahun 2022,
pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 4,51 – 4,85 persen atau
setara Rp 807 – Rp 881,3 triliun. Kebijakan fiskal pada 2022 menjadi sangat
penting, khususnya dalam hal defisit, karena pada 2023 defisit harus kembali
di bawah 3 persen. Pemerintah sendiri menargetkan defisit 2023 sebesar 2,7
persen. Bagaimana mencapainya?
Selain mengurangi subsidi, pemerintah juga harus menaikkan penerimaan pajak.
Dalam konteks inilah RUU KUP disiapkan sebagai salah satu jalan keluar.
Begitu perekonomian mulai pulih, tantangan pokok di seluruh dunia adalah pengurangan
stimulus (fiskal dan moneter). Jika terlalu cepat akan berpotensi membuat
pemulihan surut kembali. Namun, jika terlalu lama akan memunculkan risiko
(fiskal) dalam jangka panjang. Prinsipnya stimulus harus
bersifat tepat waktu, temporer dan terarah. Di sinilah dilemanya. Di satu
sisi pemerintah wajib merancang skenario penarikan stimulus yang disertai
strategi peningkatan penerimaan pajak. Di sisi lain, keberatan
publik tetap harus diperhatikan. Pertama, jika kenaikan multitarif tetap
dijalankan, tak ada jaminan tidak terjadi kenaikan harga pada semua kelompok
barang. Kedua, bisa jadi skenario defisit di bawah 3 persen pada 2023 belum
realistis, sehingga pemberlakuan “Pajak Sembako” belum menemukan momentum. Dengan demikian, nampaknya
pilihannya cukup jelas; jika dalam jangka pendek penerapan PPN pada barang
bahan pokok tidak bisa dilakukan, sangat mungkin defisit fiskal tak bisa
dikembalikan di bawah 3 persen pada 2023 sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang. Untuk itu diperlukan amandemen atau penerbitan peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang. Meski begitu, reformasi
perpajakan guna meningkatkan rasio pajak tetap harus dijalankan dalam jangka
menengah. Sama dengan kematian, pajak adalah realita tak menyenangkan yang
tak bisa dihindari. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar