Desa
dalam Logika Pembangunan Bangsa Purnawan Andra ; Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan
Ditjen Kebudayaan Kemdikbud Ristek |
KOMPAS, 10 Juni 2021
Beberapa waktu lalu kita menggelar
hajat komunal “mudik Lebaran” dimana masyarakat kota yang mayoritas berasal
dari desa kembali ke kampung halaman. Jauh sebelumnya, banyak orang sudah
melakukan migrasi balik ke desa setelah terkena efek pandemi yang melumpuhkan
sendi-sendi kehidupan. Desa menjadi solusi atas
problem sosial ekonomi yang dialami. Di desa, mereka terpenuhi kebutuhan
dasarnya dan bisa merasa aman/nyaman dalam sebuah kultur yang telah mereka
kenal sebelumnya. Pandemi ini membuktikan
adanya kondisi yang menuntun kita kembali ke desa sebagai pusat kehidupan.
Budianta (2021) menyebut kita tidak punya pilihan untuk membangun arah
peradaban baru yang berbasis pada tatanan yang ramah pada alam dan
lingkungan. Peradaban baru berbasis
pada komunitas yang mempunyai ketahanan pangan dan ketangguhan budaya lokal.
Ini dapat dikembangkan menjadi pengetahuan, wawasan, dan nilai untuk menjaga
keanekaragaman hayati, solidaritas dan keguyuban sosial yang mampu menjaga,
merawat relasi antar manusia dan memanusiakan manusia. Desa menyimpan kekayaan
budaya lokal yang perlu digali kembali, dilestarikan dan diwariskan.
Budayanya lahir dari sinergi dengan alam lingkungan dalam relasi sosial yang
menguatkan nilai komunalnya. Stereotip Meski demikian desa kerap
hanya menjadi penonton di laju jaman. Hal ini karena stereotip yang telah
diberikan sejak dari Orde Baru sampai pasar kontemporer saat ini, bahwa desa
identik dengan kuno-lama, oleh karenanya tertinggal, katrok, atau bahkan
sebagai liyan (other). Konsep liyan selama ini secara laten dipakai untuk
membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, modern-etnik,
global-lokal. Jelas, hal ini bukan
pandangan yang egaliter, tapi hanya ingin mengukuhkan superioritas yang
dominan-modern-global atas yang marjinal-etnik-lokal. Hal yang disebut
terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunalitas yang lokal,
sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global. Seturut Mahpur (2008),
selama ini, identitas desa telah tergadai oleh motivasi pengembangan
prototipe konsumerisme sebagai bagian dari representasi gaya pembangunan
modern. Desa bukan kebanggaan dan sengaja dimatikan karena kebijakan
pembangunan yang mematikan potensi desa sebagai hibridasi ekonomi. Keberhasilan desa dilihat
dari infrastrukturnya. Orang desa (ndeso) adalah orang yang ”dipaksa” iri
terhadap kota. Gaya hidup kota telah mengambil-alih gaya hidup orang desa.
Kecenderungan kuat modernisme menjadi bagian dari infiltrasi kognitif agar
orang desa juga patuh pada gaya hidup kekinian, maka identitas desa justru
tidak lagi dipandang secara bijaksana (wisdom). Hal ini adalah sebuah
kehilangan yang tak tergantikan. Seperti dalam budaya Jawa
dikenal adagium desa mawa cara, kutha mawa tata (desa sumber
inspirasi/inisiatif, sementara kota adalah lokus pelaksanaan inisiatif).
Pandangan yang kesannya dikotomik ini perlu dibaca ulang dengan pemahaman
bahwa ia sebetulnya adalah ruang yang dihidupi oleh karakteristiknya sendiri,
menjadi lokus inspirasi dan tempat mengambil inisiatif (mawa cara) bagi
wilayah-wilayah di pusat pemerintahan (perkotaan). Mawa cara-nya desa antara
lain adalah realitas bahwa di tiap-tiap desa hidup seperangkat pengetahuan
dan kemampuan lokal (sudut pandang, abstraksi, nilai-nilai khas, dan lainnya)
yang kerap dirumuskan sebagai kejeniusan atau kemampuan lokal (local genius)
(Surur, 2018). Potensi Dengannya desa adalah
elemen penting penyusun ensiklopedi sosial dan multikulturalisme bangsa.
Untuk itu diperlukan upaya untuk membuat dan membangun desa dengan daya tarik
dan peluang yang terbuka untuk mengembangkan potensi dan kapasitas personal
maupun komunal yang dimiliki untuk memberdayakan dirinya. Terlebih dengan
keterbukaan akses teknologi informasi dan jejaring digital saat ini,
komoditas yang ada di desa dapat menjadi produk yang marketable baik dari
segi pertanian, peternakan, perkebunan hingga potensi wisata alam dan
budayanya. Sebagai modal sosial ekonomi, pengelolaan kolektif yang
partisipatif, akuntabel dan berkelanjutan yang berpihak pada kepentingan bersama
mutlak diperlukan untuk menjadikannya sebuah peluang alternatif. Konsep
pemikiran, pilihan sikap dan langkah visioner ini adalah wujud pembangunan
mental dan peradaban desa di masa depan sebagai tatanan sosial atau
pengorganisasian masyarakat yang berkualitas. Semisal revitalisasi
konsep lumbung desa yang bisa diartikan secara harfiah, juga secara
metaforis. Konsep lumbung semula terkait dengan kemandirian pangan desa
sebagai sumber kehidupan bersama. Tapi konsep lumbung juga bisa digunakan
pada konsep lumbung budaya desa dimana berbagai sumber budaya yang dimiliki
oleh desa, termasuk warisan seni dan tradisi, obyek-obyek sejarah, ingatan
kolektif, kuliner lokal, bahasa, permainan anak, dan lainnya. Lumbung budaya
ini diharapkan menjadi lumbung pengetahuan yang menghidupi warganya dan dapat
dibagikan bagi orang dari luar desa untuk belajar tentang desa tersebut
(Budianta, 2021). Hal ini bisa menjadi
sebuah usaha mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali
(reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah
masyarakat dapat dikembangkan dalam sebuah konsep yang tidak saja
partisipatoris, tetapi juga potensial. Sebuah formasi sosial yang membukakan
jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas dan potensi sosio-kultural
yang beragam. Jika desa telah menjadi
lumbung pengetahuan yang menghidupkan berbagai warisan budaya yang relevan
dan sesuai dengan perubahan zaman, maka masa depan tidak berisi generasi yang
tercerabut dari akar tradisi dan lingkungannya. Hal ini akan menjamin
terpeliharanya kemampuan sosial dan integrasi kultural yang menyusun kuat dan
tegaknya sebuah bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar