Basmi
Korupsi Dulu, Baru Naikkan Pajak Jaya Suprana ; Pengusaha Jamu |
KOMPAS, 24 Juni 2021
Selain masalah pagebluk
korona, Jiwasraya, BPJS, bantuan sosial, dana haji, dan alutsista, pada masa
kini rakyat Indonesia dihebohkan masalah rencana pemerintah menaikkan pajak. Dapat diyakini bahwa
memang manusia bisa dipaksa bayar pajak. Namun, pada kenyataan tidak ada
manusia yang waras pikirannya gemar membayar pajak. Demi berhasil merayu agar
rakyat ikhlas membayar pajak, muncul kreativitas ujar-ujar mutiara yang
menyatakan bahwa membayar pajak adalah perilaku mulia, atau di dalam
kehidupan umat manusia hanya ada dua kepastian, yaitu mati dan pajak. Memang benar bahwa manusia
dan makhluk yang hidup pasti mati meski kapan tidak dapat dipastikan, kecuali
dengan bunuh diri secara berhasil. Namun, konon rakyat Brunei Darussalam,
Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, bahkan Kuba dan Korea Utara tidak
dipaksa bayar pajak. Penguasa Namun, naskah sederhana
ini bukan menganalisis geopolitik pajak sebab hanya mencoba menerawang
masalah terbatas dari sisi persepsi rakyat terhadap pajak. Fakta membuktikan
bahwa pemungut pajak lazimnya penguasa yang sedang berkuasa, sementara yang
diwajibkan membayar pajak adalah rakyat yang sedang dikuasai oleh penguasa. Pada masa kerajaan, pajak
disebut upeti yang dibayar oleh rakyat kepada raja. Berarti uang yang
diterima oleh penguasa adalah uang rakyat yang dibayar oleh rakyat yang
sedang dikuasai oleh penguasa. Kemudian uang rakyat digunakan untuk membayar
gaji penguasa untuk mengelola negara. Dipandang dari aspek siapa
yang membayar dan siapa yang dibayar, dapat disimpulkan bahwa pemilik negara
yang sebenarnya adalah rakyat. Sementara yang dibayar oleh rakyat untuk
mengelola negara yang dimiliki rakyat sebenarnya adalah penguasa. Berarti,
rakyat adalah majikan dan penguasa adalah pegawai yang dibayar oleh rakyat
untuk mengelola negara. Analisis semacam itu hanya
berlaku sebagai teori belaka karena pada kenyataan ternyata penguasa merasa
mereka adalah majikan. Sementara rakyat yang membayar dianggap oleh penguasa
sebagai pegawai meski membayar penguasa. Karena merasa sebagai pemilik negara
merangkap majikan rakyat, penguasa yang di Indonesia disebut sebagai
pemerintah merasa berhak memberi perintah kepada rakyat, termasuk perintah
wajib membayar pajak serta menaikkan pajak pada masa paceklik ekonomi akibat
korona. Ekonomi Memang dapat dimafhumi
bahwa pada masa kesulitan keuangan, wajar pemerintah ingin menaikkan pajak
demi memperderas arus transfusi duit masuk ke dalam kas negara untuk
membiayai pemerintah. Namun, di Indonesia masa kini de facto situasi kondisi
tidak sesederhana itu karena korupsi merupakan angkara murka utama yang ganas
menggerogoti uang negara yang berasal dari uang rakyat. Selama korupsi tetap
dibiarkan merajalela secara adil dan merata dari jenjang teratas sampai ke
jenjang terbawah lembaga kepemerintahan, upaya menaikkan pajak akan mubazir
belaka, seperti upaya mengisi air ke dalam sebuah ember bocor. Sebelum
memasukkan air ke dalam ember yang bocor, sebaiknya kebocoran ember
diperbaiki terlebih dulu agar segenap upaya tidak mubazir. Maka, seyogianya apabila
pemerintah benar-benar serius berniat menyelamatkan negara dari bencana
keuangan, langkah pertama yang harus dilakukan sebenarnya bukan menaikkan
pajak, melainkan terlebih dulu serius membasmi habis korupsi sampai ke
akar-akarnya. Dapat dibayangkan, betapa sejahtera serta makmur tata tenteram
kerta raharja kehidupan rakyat Indonesia apabila bumi Indonesia yang mahakaya
raya dan mahasubur gemah ripah loh jinawi ini benar-benar bebas dan bersih
dari angkara murka korupsi. Merdeka! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar