Rabu, 12 Mei 2021

 

Timbangan Idul Fitri

Dipo Alam ;  Pemerhati Ekonomi-Politik

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Dalam tradisi Islam di Indonesia, Idul Fitri bukan hanya ritus keagamaan, melainkan telah menjadi ritus sosial dan kebudayaan yang berakar dalam. Secara ekonomi, Idul Fitri juga mesin pendorong ekonomi yang signifikan.

 

Dari sisi keagamaan, Idul Fitri biasanya dimaknai dalam dua pengertian, sesuai makna yang melekat pada kata fitri. Pertama, kata fitri diartikan ’berbuka puasa’, sesuai akar kata ifthar (sighat mashdar dari aftharo-yufthiru). Dengan demikian, Idul Fitri berarti ’Hari Berbuka Puasa’.

 

Itu sebabnya, sebelum melaksanakan shalat Id, kaum Muslim disunahkan untuk makan dan minum terlebih dahulu meskipun hanya sedikit. Selain itu, karena merupakan hari berbuka, pada hari itu umat Islam juga diharamkan untuk berpuasa.

 

Kedua, kata fitri bisa juga diartikan sebagai ”suci”, di mana Idul Fitri dimaknai sebagai kembalinya seseorang kepada keadaan suci, bebas dari segala dosa dan keburukan, seturut akar kata fathoro-yafthiru.

 

Baik sebagai hari berbuka puasa maupun sebagai hari kembali pada kesucian, kedua pengertian itu sama-sama berarti kebahagiaan bagi umat Islam, sehingga selalu dirayakan dengan penuh kegembiraan dan rasa kemenangan.

 

Ritus kebudayaan

 

Selain ritus keagamaan, di Indonesia perayaan Idul Fitri juga telah menjadi ritus kebudayaan. Sejak sebelum datangnya hari raya, hingga setelah hari raya lewat, kita memiliki sejumlah ritus turunan yang telah berkembang menjadi tradisi. Mulai dari mudik Lebaran, ziarah ke makam leluhur dan handai taulan, halalbihalal dengan kerabat dan kolega, saling berbagi hantaran makanan, hingga tradisi membuat ketupat, adalah beberapa di antaranya.

 

Secara sosiologis, tradisi mudik merupakan cermin dari kuatnya ikatan kekeluargaan di tengah masyarakat kita. Pertalian keluarga, khususnya di tengah masyarakat Jawa, menurut Hildred Geertz (1985), memang kuat sekali ikatannya.

 

Keluarga memainkan peranan penting di berbagai ranah, bukan hanya dalam sistem kekerabatan, melainkan juga dalam pertukaran sumber daya, hingga ke soal politik. Bahkan, saking kuatnya peran tradisional keluarga, di masa Orde Baru, keluarga pernah menjadi subyek penting dalam proses pembentukan negara.

 

Sejak proses kelahiran, pendidikan, pernikahan, hingga kematian, keluarga selalu memainkan peranan yang menonjol. Itu sebabnya, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mudik ke kampung halaman belum bisa digantikan oleh kemajuan teknologi. Kompleksitas sosial yang ada dalam tradisi mudik tak bisa disederhanakan hanya sebatas hubungan silaturahmi atau komunikasi belaka.

 

Dimensi ekonomi

 

Di sisi lain, mudik juga punya dimensi ekonomi yang menonjol. Triwulan yang bertepatan dengan mudik Idul Fitri biasanya berkontribusi sekitar 25 persen, atau bahkan lebih, terhadap total produk domestik bruto (PDB) tahun berjalan.

 

Sudah lazim diketahui bahwa sepanjang bulan Ramadhan hingga Idul Fitri, konsumsi masyarakat biasanya memang meningkat. Pada momen tersebut, penjualan sektor ritel rata-rata meningkat 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lain.

 

Sebagai catatan, konsumsi domestik merupakan penyumbang PDB terbesar. Porsinya berkisar 54-56 persen PDB, jauh lebih besar dari sumbangan investasi (32 persen), belanja negara (9-10 persen), dan juga ekspor. Tak heran, setiap menjelang Idul Fitri, Bank Indonesia biasanya selalu menyiapkan uang tunai ekstra untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

 

Tahun ini, misalnya, meskipun masih berada di tengah pandemi Covid-19 dan ada kebijakan larangan mudik, BI menyiapkan uang tunai Rp 152,14 triliun. Jumlah ini naik 39,33 persen dibandingkan dengan tahun 2020.

 

Melalui tradisi mudik, perputaran uang yang semula hanya terkonsentrasi di kota-kota besar di Jawa, khususnya Jakarta, juga jadi terdistribusi ke berbagai pelosok Tanah Air. Dengan demikian, dari momen ritual mudik, kita bisa menggerakkan semua sektor ekonomi hingga ke pelosok daerah.

 

Menariknya, sebagai hari raya, Idul Fitri juga memiliki dimensi sosial yang melekat. Sebab, sebelum hari itu tiba dan dirayakan, umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat, baik berupa beras, makanan, maupun uang, kepada mereka yang membutuhkan.

 

Kewajiban untuk membayar zakat ini bisa menjadi instrumen sosial penting, apalagi secara kumulatif bisa menghimpun dana masyarakat dalam jumlah besar. Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), pada periode Ramadhan tahun ini penerimaan zakat diperkirakan Rp 6 triliun. Angka ini 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan zakat nasional pada Ramadhan tahun lalu, yang mencapai Rp 4,2 triliun.

 

Angka Rp 6 triliun ini setara dengan 50 persen anggaran Bantuan Sosial Tunai (BST) tahun 2021, yang oleh negara dianggarkan sebesar Rp 12 triliun dan menyasar 10 juta keluarga.

 

Dengan kata lain, melalui ibadah Ramadhan dan perayaan Idul Fitri, umat Islam tidak hanya telah berkontribusi menggerakkan perekonomian, tetapi juga berkontribusi dalam mendistribusikan kemakmuran lewat instrumen zakat.

 

Timbangan yang rusak

 

Sayangnya, meski punya kontribusi besar, umat Islam kadang dicurigai dan menjadi obyek stigmatisasi. Di sini saya jadi teringat kembali Surat Al-Isra Ayat 35: ”Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

 

Ada banyak hal yang kini berlangsung di sekitar kita tidak lagi ditakar dengan cara yang benar, atau tidak ditakar dengan alat yang benar. Buntutnya, banyak nilai dan tatanan jadi jungkir balik tak karuan.

 

Misalnya, seorang tokoh yang sebenarnya tidak kompeten, tetapi hanya karena populer, hari ini bisa tiba-tiba dijadikan pemimpin. Orang yang tidak mengerti Pancasila, bahkan pernah menghina Pancasila, tiba-tiba bisa dijadikan sebagai duta Pancasila.

 

Atau, orang yang tidak pernah melakukan riset, atau menulis publikasi ilmiah, tiba-tiba bisa dijadikan penguasa atas badan riset nasional. Semua itu menunjukkan kacaunya timbangan yang kita gunakan.

 

Di hari raya Idul Fitri ini, saat emak-emak biasanya sibuk memeriksa timbangan berat badan mereka, kita berharap agar timbangan nilai-nilai yang kita yakini bisa kembali normal. Selamat Idul Fitri 1442 H. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar