Rekalibrasi
Pembangunan Infrastruktur di Masa Pandemi Bambang Susantono ; Wakil Presiden Bank
Pembangunan Asia (ADB) |
KOMPAS, 18 Mei 2021
Pandemi Covid-19 membuat
banyak negara merekalibrasi pembangunan infrastrukturnya. Berkurangnya
pendapatan pemerintah dan kian mahalnya pembiayaan dari pasar menjadi
tantangan yang jamak dihadapi oleh banyak negara. Padahal, negara-negara di
Asia dan Pasifik perlu setidaknya 1,7 triliun dollar AS per tahun untuk
membangun infrastrukturnya. Suatu angka yang fantastis, terlebih di tengah
biaya tinggi untuk menangani pandemi Covid-19. Pergeseran prioritas
pembangunan menjadi tak terhindarkan. Pembiayaan sosial dan jaminan kesehatan
yang sebelumnya kurang diperhatikan mendadak mutlak diperkuat karena
merupakan prasyarat pulihnya ekonomi dan menjadikannya lebih tangguh. Reorientasi Pembangunan ekonomi
sebagai paradigma dominan tergeser oleh kebutuhan berbasis pandeminomics.
Terjadi penyetelan ulang besar-besaran (great reset) di hampir semua aspek
kehidupan, dan hal ini berpotensi membawa keseimbangan tata ekonomi dunia
baru ke depannya. Reorientasi pembangunan
infrastruktur terutama memang dipicu oleh menipisnya kas pemerintah dan
berkurangnya dana dengan biaya terjangkau di pasar. Terbatasnya sumber dana
menyebabkan banyak negara bergantung pada pembiayaan swasta melalui pola
kerja sama pemerintah dan badan usaha. Akibatnya, timbul kompetisi untuk
mendapatkan dana dengan ongkos yang memadai. Hal tersebut menyebabkan
berlakunya hukum kelayakan proyek. Apabila sebuah proyek disiapkan secara
bankable, tingkat risiko proyek akan rendah yang lantas tecermin dari biaya
pinjamannya. Namun, apabila proyek
tidak dapat mendemonstrasikan tingkat kelayakannya, risiko menjadi tinggi.
Akibatnya, biaya bunga dan penyiapan proyeknya akan makin mahal. Enam
prinsip Selain tantangan
finansial, kebutuhan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim dan potensi
melebarnya kesenjangan mewarnai pembangunan infrastruktur ke depan. Dalam
situasi ini, setidaknya ada enam hal utama yang harus menjadi perhatian. Yang pertama adalah
prinsip infrastruktur hijau, yaitu menempatkan lingkungan sebagai elemen yang
tak terpisahkan. Selain kelayakan finansial, sosial, dan lingkungan, tiap
pembangunan infrastruktur perlu menghitung dampak terhadap perubahan iklim. Konsep climate proofing
dan adaptasi desain terhadap perubahan iklim seyogianya menjadi bagian
integral pada tahap perencanaan. Membangun infrastruktur tidak harus selalu
menghadirkan desain struktur konstruksi yang masif, tetapi perlu
mengedepankan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan alam. Di
sinilah konsep solusi berbasis alam mulai banyak diterapkan dalam pembangunan
infrastruktur di sejumlah negara. Kedua, penggunaan
teknologi digital menjadi keniscayaan dalam membangun infrastruktur.
Digitalisasi, yang sebelumnya telah dianggap sebagai kondisi normal baru,
kian terakselerasi oleh pandemi. Teknologi digital terbaur
dalam infrastruktur melalui smart energy, intelligent transport system,
climate-smart agriculture, telemedicine, serta pembelajaran daring. Bank
Pembangunan Asia (ADB) memonitor perkembangan proyek di lapangan saat pandemi
menggunakan drone dan citra satelit. Penggunaan kecerdasan
buatan dalam mengolah big data untuk transportasi juga kian umum dijumpai. Ketiga, pentingnya prinsip
inklusivitas dalam membangun infrastruktur untuk mencegah melebarnya
kesenjangan masyarakat pascapandemi. Dalam laporan Leave No
Countries Behind tahun 2021, ADB, UNDP, dan UNESCAP mengingatkan perlunya
berhati-hati dalam mengambil langkah pemulihan ekonomi agar terhindar dari
pola huruf K. Dalam pola ini, kelompok
masyarakat yang sudah sejahtera akan bertambah makmur, sedangkan kelompok
yang kurang beruntung akan semakin terpuruk. Keempat, perlunya
memastikan terbangunnya sistem jaringan. Banyak infrastruktur yang tidak akan
berfungsi dengan baik tanpa jaringan yang lengkap. Sistem pelabuhan dan
bandara dibangun dengan prinsip hub-and-spokes dan semestinya tidak saling
mematikan. Digitalisasi akan
tersendat tanpa dukungan jaringan telekomunikasi yang mumpuni. Waduk hanya
akan berfungsi optimal apabila saluran primer, sekunder, tersier, hingga
pencetakan sawahnya terkoordinasi dengan baik. Jaringan air baku dan air
bersih juga bergantung pada saluran distribusi rumah tangga. Artinya,
pembangunan sistem yang terintegrasi harus disiapkan dari hulu hingga hilir. Kelima, turunnya jumlah
pengguna dan kemampuan masyarakat untuk membayar telah mengganggu arus kas
pengelolaan infrastruktur. Pendapatan yang masuk tidak cukup untuk ongkos
pemeliharaan dan depresiasi. Sementara itu, banyak
bank, yang sebelumnya bisa menjadi sumber pendanaan, terkendala potensi gagal
bayar dari nasabahnya. Pemerintah pun sedang dihadapkan pada berkurangnya
pendapatan pajak, turunnya investasi, serta melemahnya ekspor dan impor yang
semakin mempersempit ruang gerak fiskal. Karena itu, perlu
cara-cara inovatif untuk membiayai infrastruktur, seperti memanfaatkan
obligasi hijau dan obligasi ramah iklim, peningkatan nilai lahan (land value
capture), ataupun pembiayaan campuran (blended financing). Keenam, keterhubungan
dengan pusat-pusat ekonomi. Infrastruktur tidak akan memberi manfaat maksimal
apabila pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan iklim berusaha tidak dibenahi. Infrastruktur
prioritas Penyumbang riil pada
ekonomi lokal dan nasional adalah aktivitas dari para pelaku ekonomi. Jalan,
air bersih, dan jaringan digital tidak akan memberi dampak berganda apabila
kegiatan usaha dan aktivitas masyarakat tidak terjadi. Maka, penting untuk
menentukan waktu yang tepat untuk membangun infrastruktur. Infrastruktur yang
dibangun tanpa mengindahkan bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi dapat berpotensi
merugikan negara karena penggunaannya yang suboptimal serta biaya operasi dan
pemeliharaannya akan membebani pemerintah. Lalu, bagaimana dengan
prioritisasi jenis infrastruktur yang harus dibangun? Yang harus didahulukan
adalah infrastruktur untuk membantu pulihnya kesehatan masyarakat, seperti
fasilitas air bersih, sanitasi, perbaikan pengelolaan sampah, dan akses
logistik untuk vaksin, obat-obatan, dan perangkat kesehatan. Dengan kata lain,
kesampingkan dulu infrastruktur yang menyedot biaya tinggi, baik dari dana
pemerintah maupun bukan. Prioritaskanlah infrastruktur yang mendukung
terpenuhinya kebutuhan dasar dan tertanganinya pandemi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar