”Quo
Vadis” Bank Tanah Usep Setiawan ; Ketua Dewan Eksekutif Ikatan
Kekerabatan, Alumni Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung |
KOMPAS, 29 Mei 2021
Presiden Jokowi telah mengesahkan
Peraturan Pemerintah (PP) No 64/2021 tentang Badan Bank Tanah pada 29 April
2021. Ini menyusul dikeluarkannya 49 peraturan pelaksana UU No 11/2020
tentang Cipta Kerja (CK), dengan rincian 44 PP dan lima peraturan presiden,
pada 17 Februari 2021. PP Bank Tanah termasuk
regulasi yang ditetapkan terlambat dua bulan dibanding PP lainnya.
Tertundanya penerbitan PP ini melahirkan beragam spekulasi. Misalnya, karena
potensi komplikasi politik-hukum regulasi dan kelembagaan. Atau karena
ketidaksiapan pendanaan awal Bank Tanah yang menurut UU CK dan Rancangan
Peraturan Pemerintah Bank Tanah (RPP-BT) sebesar Rp 5 triliun, dan Rp 2,5
triliun dalam PP. Ataukah ada hal lain yang mengadangnya? Lepas dari itu, eksistensi
Bank Tanah dipandang berpotensi menguatkan kebijakan reforma agraria sebagai
komitmen Presiden Jokowi sejak 2014. PP Bank Tanah merupakan rancangan
peraturan yang penting diperhatikan dalam kluster pertanahan, mengingat
dampaknya luas dan besar pada kebijakan dan kelembagaan pemerintah di bidang
pertanahan atau agraria. Problem krusial PP Bank
Tanah terletak pada paradigma “pembangunanisme” dan paradigma “penataanisme”
yang berpadu dalam satu keranjang. Paradigma pembangunan berorientasi
memfasilitasi percepatan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi. Sementara
paradigma penataan bermaksud menata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah untuk keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Untuk
siapa? Isi PP Bank Tanah terdiri
dari 51 pasal. Pada ketentuan perencanaan, akuntabilitas proses perencanaan
jangka panjang selama 25 tahun yang akan melewati 3-5 kali pergantian
presiden (Pasal 5) penting diperhatikan. Pengelola Bank Tanah harus mampu
membuat perencanaan dengan mempertimbangkan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2000-2025 yang berlaku, dengan visi presiden dan wakil
presiden sekarang, dan mengantisipasi visi presiden dan wakil presiden
mendatang. Terkait pengaturan
pemanfaatan tanah (Pasal 14), perlu diperjelas untuk kebutuhan apa dan
kepentingan siapa? Pemanfaatan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat
miskin di pedesaan, terutama buruh tani, petani penggarap dan petani gurem
yang menjadi subyek reforma agraria harus diprioritaskan merujuk Perpres No
86/2018 Reforma Agraria. Perlu dilihat hubungan
ketentuan pendistribusian tanah dengan reforma agraria (Pasal 15). PP tak
menjelaskan proses yang nantinya akan berjalan. Perlu dibuat uraian utuh
mengenai konsep redistribusi tanah dalam reforma agraria, agar nyata hubungan
keduanya. Cakupan tugas dan fungsi
Bank Tanah yang sangat luas (Pasal 16) perlu diantisipasi. Potensi tumpang
tindih wewenang bisa melahirkan konflik antar lembaga. Wewenang, tugas dan
fungsinya dengan Kementerian ATR/BPN agar saling mendukung peran
masing-masing. Ketentuan ketersediaan
tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara oleh
Bank Tanah (Pasal 22) cukup problematik. Alokasi tanah untuk reforma agraria
persentase idealnya mesti lebih luas di banding kebutuhan lain. Mengingat
reforma agraria jadi program prioritas Presiden Jokowi, pengaturan
ketersediaan tanah mutlak harus mengacu arahan Presiden. Pada bagian membantu
memberikan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan (Pasal 23), perlu
mekanisme dan kode etik pejabat BT untuk menghindari kolusi pengurusan izin
dan menutup peluang korupsi dalam kewenangan perizinan dan penentuan tarif. Butuh
rincian Struktur BT terdiri dari
Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana (Pasal 31). Perlu pengaturan
rinci mekanisme pembentukan dan pengambilan keputusan di dalam dan di antara
organ-organ ini. Hindari kerumitan dan tiadanya arah pengaturan lebih lanjut.
Di BT, dibutuhkan sosok-sosok yang mengerti kompleksitas masalah agraria dan
punya komitmen kuat untuk menata ulang keagrariaan secara mendasar, holistik,
dan berkeadilan sosial. Hak pengelolaan BT dengan
hak masyarakat yang sudah mendiami tanah tersebut paling singkat 10 tahun
(Pasal 41), berpotensi memicu konflik. Bagaimana dengan warga yang menguasai
sembilan tahun? Pemerintah hendaknya menetapkan ketentuan “menurut kajian
komprehensif dari aspek historis dan sosio-kultural” maka hak atas tanah
dapat diberikan kepada masyarakat. BT dapat melakukan
pinjaman (Pasal 44). Perlu diatur mekanisme pinjaman yang bisa dilakukan dan
pertanggungjawabannya dalam pengelolaan keuangan/kekayaan negara. Ketentuan
ini, serta Pasal 27, 28, 37, 42, dan 43 harus memastikan BT tidak menjadi
lembaga profit, karena sifatnya yang non-profit (Pasal 4). Terkait diskresi menteri
(Pasal 50) perlu dibuat rambu-rambu agar menteri tak mudah menyelewengkan
kewenangan di luar ketentuan. Menteri tak boleh sewenang-wenang. Karenanya,
kewenangan menteri untuk memberikan diskresi berlaku sepanjang tak
bertabrakan dengan visi, misi dan program aksi Presiden untuk jalankan
reforma agraria. Idealnya, BT ditempatkan
sebagai badan yang bisa mempercepat pelaksanaan reforma agraria dalam
kerangka ekonomi berkeadilan guna menjamin terciptanya lapangan kerja dan
penghidupan yang layak. Jalannya melalui penyediaan tanah untuk kepentingan
rakyat, pemerataan ekonomi, dan pembangunan nasional. Kita semua harus teguh
dalam keyakinan dan konsisten dalam tindakan untuk menjalankan amanat UUD
1945 dan isi UU No 5/1960 tentang Pokok Agraria, bukan yang lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar