Perang
Abadi atau Perdamaian Smith Alhadar ; Dosen American Studies FIB UGM |
KOMPAS, 24 Mei 2021
Setelah perang brutal 11
hari, pada 21 Mei Israel dan Hamas menyetujui gencatan senjata tanpa syarat.
Beberapa jam kemudian, gencatan senjata yang rapuh itu langsung diuji ketika
aparat Israel mengambil tindakan keras terhadap warga Palestina di Yerusalem
Timur dan Tepi Barat untuk membubarkan massa yang merayakan "kemenangan"
Hamas. Padahal, perang
Hamas-Israel dipicu bentrokan aparat Israel dengan warga Palestina di
kompleks Masjid Al Aqsa, Yerusalem Timur. Sementara, 70 persen warga Israel
tak puas dengan hasil perang. Pemerintah dianggap terlalu cepat mengakhiri
ketika target perang, yaitu menghancurkan seluruh infrastruktur militer
Hamas, belum dicapai. Ini berarti mereka harus menghadapi hujan roket lagi
dari Jalur Gaza di masa mendatang. Militer Israel sendiri
mengakui, Hamas masih memiliki 8.000 roket, dua kali lebih banyak dari yang
telah ditembakkan ke kota-kota Israel dalam perang lalu. Artinya, perang
kelima Hamas-Israel berpotensi besar terjadi lagi bila Israel tetap enggan
berdamai dengan Palestina dengan berpijak pada prinsip solusi dua negara
sesuai resolusi DK PBB yang relevan. Potensi
meluas Perancis sempat
mengemukakan kekhawatirannya terhadap kemungkinan meluasnya perang ke seluruh
Timteng. Ini terutama setelah Iran, sambil mengecam Israel, terus
menyemangati Hamas dan Jihad Islam untuk terus melawan dan dengan bangga
mengaku roket-roket kedua faksi Islam Palestina itu berasal dari Iran. Tak
heran, Perancis paling gencar mendesakkan gencatan senjata segera. Kekhawatiran Perancis
beralasan karena ketika perang sedang bereskalasi, tiga rudal ditembakkan
dari Lebanon selatan, markas Hezbullah pro-Iran, ke wilayah Israel. Kendati
rudal-rudal itu jatuh di wilayah kosong, itu sudah cukup sebagai peringatan
ke Israel untuk segera menghentikan pengeboman atas Gaza. Bagaimanapun, Hamas
dan Jihad Islam punya hubungan kerja sama dengan Hezbullah. Sebagai “pelindung”
Lebanon, Perancis tentu punya informasi sensitif terkait sikap Hezbullah soal
perang Hamas-Israel. Lagi pula, perang Hamas-Israel terjadi di tengah kian
buruknya hubungan Iran-Israel. Untuk mengganggu perkembangan program nuklir
Iran dan mencegah pemerintahan Biden kembali ke Rencana Aksi Komprehensif
Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran, Israel melakukan berbagai macam
cara. Saat perundingan
negara-negara penandatangan JCPOA yang dimulai awal April di Wina mengalami
kemajuan pesat, Israel terus berusaha menggagalkannya. Pada 3 Mei, kepala
badan intelijen Israel, Mossad, Yossi Cohen, bertemu Biden di Gedung Putih
untuk mendesak presiden AS itu membatalkan rencana kembali ke JCPOA. Namun, Biden tak menggubris.
Pada Maret, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz menyatakan ke publik
internasional, negaranya telah membuat rencana untuk menyerang target-target
Iran. Israel tidak hanya melakukan diplomasi dan ancaman terbuka, tetapi juga
melakukan operasi klandestin. Saat perundingan JCPOA
dimulai, situs nuklir Natanz di Iran mengalami gangguan pada jaringan
distribusi listriknya. Peristiwa ini terjadi beberapa jam setelah Iran
menggunakan sentrifugal canggih yang lebih cepat dalam memperkaya uranium. Sebagaimana
insiden serupa di tempat sama Juli 2020, Iran kembali menuduh Israel berada
di balik serangan siber itu. Israel tak membantah. Memang Israel selama ini
dikenal aktif menggagalkan dan membunuh ilmuwan nuklir Iran. Akhir November, ilmuwan
nuklir terkemuka Iran, Mohsen Fakhrizadeh, dibunuh. Biden merasa harus
kembali ke JCPOA karena kesepakatan ini terbukti mampu mencegah Iran membuat
bom atom. Perang dengan Iran, yang didukung Israel, dipandang bukan opsi
realistis dalam menjaga perdamaian dan stabilitas Timteng. Lagi pula, Iran
punya berbagai rudal balistik yang bisa menyasar semua kepentingan AS di
Timteng dan Laut Tengah, termasuk Israel. Israel tak hanya fokus
pada upaya menghancurkan program nuklir Iran, tapi juga menyerang sasaran
lain, termasuk kapal-kapal kargo Iran. Tujuannya melemahkan rezim mullah itu
atau, bila perlu, terjadi konflik terbuka dengan Israel yang diharapkan bisa
menggagalkan rencana Biden. Jauh sebelum Biden
berkuasa pun, ratusan kali Israel menyerang situs-situs militer Iran di
Suriah. Kehadiran militer Iran di negara tetangga Israel yang sementara ini
digunakan untuk membantu rezim Bashar al-Assad memerangi kaum pemberontak
itu, dipersepsikan sebagai ancaman masa depan terhadap Israel. Melalui Suriah, Iran juga
memasok senjata ke Hezbullah. Iran membalas serangan Israel atas
kapal-kapalnya. Serangan misterius di laut terakhir dialami kapal milik
Israel berbendera Bahamas, MV Helios Ray, di Teluk Oman, 26 Februari. Kurang
dari dua minggu kemudian, serangan juga menimpa kapal kargo Iran, MV Shahr
E-Kord, di Laut Tengah. Pasca-gencatan
senjata Perang Gaza dipicu
sengketa tanah antara orang Yahudi dan Palestina di Sheikh Jarrah, Yerusalem
Timur. Kasus ini mulai bereskalasi April saat pengadilan Israel memerintahkan
pengusiran paksa empat keluarga Palestina dari rumah mereka. Ini puncak
perselisihan orang Yahudi dan Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun. Pada 1970-an,
organisasi-organisasi pemukim Yahudi mengajukan tuntutan perkara yang
mengklaim area itu sebagai milik orang Yahudi, dan menuntut pengusiran
keluarga Palestina yang hidup di sana sejak 1956. Keluarga-keluarga ini,
yakni pengungsi Palestina yang terusir dari kampung halaman di Israel saat
negara Yahudi itu didirikan pada 1948, bermukim di Sheikh Jarrah berdasar
perjanjian antara Yordania dan badan pengungsi PBB. Pengadilan Israel setempat
memutuskan empat keluarga Palestina itu harus meninggalkan rumah mereka untuk
diambil alih pemukim Yahudi, atau mencapai kesepakatan dengan
organisasi-organisasi pemukim Yahudi dengan membayar uang sewa dan mengakui
mereka sebagai pemilik tanah. Mereka menolak.
Bagaimanapun, Yerusalem Timur di mana Sheikh Jarrah adalah bagiannya, adalah
wilayah Palestina yang diduduki sesuai Resolusi Liga Bangsa-Bangsa No 181 dan
Resolusi DK PBB No 242 dan 338. Dengan demikian, minoritas pemukim Yahudi di
Sheikh Jarrah adalah pemukim ilegal. Kenyataannya, orang- orang Yahudi terus
merampas tanah-tanah Palestina dan hampir selalu didukung negara. Setelah menimbang protes
komunitas internasional, Mahkamah Agung Israel menunda eksekusi keputusan
pengadilan selama sebulan ke depan. Penangguhan ini tentu hanya taktik Israel
mengulur waktu. Karena itu, Yerusalem Timur tetap mendidih. Juga timbul
bentrokan warga Palestina dan aparat Israel di Tepi Barat serta konflik
horizontal warga Yahudi dan Palestina di Nazareth, Israel. Reaksi internasional,
regional, dan lokal di tengah runyamnya politik domestik Israel, dimanfaatkan
Hamas untuk raih simpati Palestina, dukungan regional, dan memaksa Israel
merundingkan kembali status Gaza. Sebagaimana diketahui, sejak 2007, saat
Hamas memenangkan pemilu Palestina yang diberangus Fatah yang menguasai Tepi
Barat, Israel membantu Fatah dengan menerapkan blokade ketat atas Gaza.
Akibatnya, terjadi tragedi kemanusiaan luar biasa di sana. Perang Hamas-Israel
terakhir ini seharusnya menyadarkan Israel, politik apartheidnya dengan
harapan akan melemahkan perjuangan Palestina sehingga akhirnya menerima
perdamaian dengan syarat-syarat yang didikte Israel, tak mungkin berhasil
selama Palestina tak mendapatkan kemerdekaan penuh dengan wilayah Yerusalem
Timur, Tepi Barat, dan Gaza. Pengalaman membuktikan,
semakin ganas Israel berusaha menghancurkan musuhnya semakin kuat determinasi
Palestina melawannya. Dalam perang 2014, selain infrastruktur vital, lebih
dari 2.000 warga Palestina tewas dan sekitar 10.000 cedera. Nyatanya Hamas
tak menyerah, bahkan kini lebih nekat dan siap perang panjang dengan ongkos
berapa pun. Gencatan senjata di perang
kali ini yang diterima Israel tanpa syarat, justru kian meningkatkan
kepercayaan diri Hamas dan memberi impresi bahwa Israel bisa dikalahkan. Apa yang mesti dilakukan
untuk menghentikan semua ini? Harapannya, Washington menggunakan momentum ini
untuk menggulirkan proses perdamaian Israel-Palestina yang macet sejak 2014.
Hanya dengan perdamaian yang adil dan bermartabat konflik ini bisa diakhiri.
Dengan demikian, menyelesaikan induk dari semua persoalan Timteng saat ini. Israel harus disadarkan,
kebijakan perang, aneksasi tanah, pengusiran paksa, penindasan dan perlakuan
diskriminatif, serta memusnahkan aspirasi kemerdekaan Palestina, yang sudah
dijalankan puluhan tahun tak akan berhasil. Sebaliknya, yang akan terjadi
perang tak berkeputusan yang sia-sia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar