Netizen
Mahabenar Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan
Keagamaan |
KOMPAS, 23 Mei 2021
Gara-gara mengomentari tes
wawasan kebangsaan KPK, ratusan kritik
dan cacian serta dukungan mampir ke kolom ”sebutan” (mention) akun Twitter
saya. Fenomena ini sudah tak lagi mengherankan bagi saya setelah
bertahun-tahun kerap menerima banjir balasan dan sebutan, semisal saat
membandingkan FPI dengan Ma Ba Tha dari Myanmar, demikian juga saat
mengkritik Abu Janda. Pasukan pendukungnya secara militan menyatroni kolom
sebutan selama berhari-hari. Demikianlah konsekuensi
upaya untuk konsisten pada basis prinsip dalam menanggapi kasus, dengan
risiko menyenggol kelompok mana pun. Misalnya, kubu penentang ataupun
pendukung Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) sama-sama pernah menghujani saya
dengan komen-komen penghakiman atas kritik yang saya lontarkan. Para veteran pegiat media
sosial Indonesia pasti amat paham watak warganet Indonesia yang terkenal di
seantero jagat maya. Peristiwa demi peristiwa menunjukkan kekuatan pasukan
maya yang kemudian digambarkan dalam istilah netizen mahabenar. Apalagi dalam hal
peristiwa yang dianggap terkait harkat dan martabat bangsa, para warganet
bisa berbondong-bondong bahu-membahu menerjang lawan. Para pejuang papan
ketik (keyboard warrior) Indonesia sepertinya pantang mundur sampai ada hal
lain yang menarik perhatian mereka. Jangankan akun media
sosial personal, seperti GothamChess, atau akun resmi lembaga All England
atau Badminton World Federation (BWF), kapitalis sekuat Microsoft pun
bertekuk lutut. Sumber daya teknologi informasi, finansial, dan jejaring
kepemimpinan globalnya tak cukup ampuh menghadapi terjangan netizen mahabenar
Indonesia setelah mengumumkan hasil Digital Civility Index 2020 yang
melibatkan 16.000 pengguna media sosial di 32 negara. Indeks disusun dengan
berbagai kriteria, seperti penyebaran berita bohong atau hoaks, ujaran
kebencian, dan perisakan daring. Menurut Microsoft, dalam hal keberadaban
digital tahun 2020, Indonesia menempati posisi terendah di Asia Tenggara dan
posisi ketiga terbawah dari seluruh negara yang disurvei. Merasa martabat
negaranya diganggu, pejuang papan ketik
Indonesia menyerbu akun Microsoft, yang sejatinya justru memberi bukti
konkret hasil riset tentang netizen Indonesia. Keaktifan dan intensitas
warganet Indonesia memang sangat tinggi, terutama di platform Facebook,
Twitter, Youtube, dan Instagram. Ini tidak bisa dilepaskan dari watak
masyarakat Indonesia yang sosio-sentris, menempatkan kehidupan sosial sebagai
hal utama. Orang Indonesia suka berinteraksi, membangun sistem dengan
infrastruktur sosial yang kuat untuk menopang kehidupannya. Ronda, arisan,
dana sehat, paguyuban, dan berbagai inisiatif berbasis interaksi warga adalah
hal yang tidak asing. Media sosial memberikan
ruang tanpa batas untuk memperluas interaksi sosial. Orang Indonesia bisa
memiliki banyak akun Facebook karena batas 5.000 teman per akun ternyata
tidak cukup. Berbagai hal dan informasi pribadi dibagikan di media sosial
tanpa sungkan dan ekspektasi privasi. Bahkan, kebiasaan tersebut dapat
menjadi sumber penghasilan, sebagaimana dialami para influencer (pemengaruh) media sosial. Pakar psikologi budaya,
Richard Shweder, menyatakan, banyak kelompok masyarakat yang berwatak
sosio-sentris, di mana kepentingan sosial menjadi prioritas yang lebih tinggi
daripada kebutuhan individu. Watak ini membuat warga suka menggunakan norma
sosial sebagai tolok ukur menilai warganya, apa yang disebut sebagai collective
mind. Watak ini juga memberi izin kelompok masyarakat melakukan intervensi
atas perilaku anggotanya, didasari kebutuhan untuk menjaga harmoni dan
solidaritas. Akibatnya, kecenderungan
untuk menilai dan menghakimi orang lain menjadi besar. Konflik antarwarga
atas nama kepentingan bersama kerap terjadi, dipicu sikap mau tahu dan
mencampuri urusan orang lain. Dalam jagat maya, kecenderungan ini menghebat
karena anonimitas media sosial. Anonimitas memperbesar kenyamanan
berinteraksi karena jarak fisik yang besar, alter ego yang bisa dibentuk
sesuka hati, dan ketiadaan akuntabilitas sehingga tidak ada beban moral yang
menjadi rem. Dengan literasi yang
relatif rendah, masih banyak warganet yang tidak bisa membedakan antara
berpikir kritis dan perundungan. Alhasil, netizen Indonesia mudah sekali
terperangkap oleh penghakiman massal hari demi hari. Setiap kasus yang muncul
dengan cepat memicu doxing, yaitu pengumpulan data pribadi seseorang untuk
diekspos melalui media sosial. Contohnya tiga kasus perempuan bertingkah
kasar, yang dengan segera dicari dan diekspos data pribadinya. Malangnya, watak netizen
Indonesia ini terpetakan dengan baik oleh para konsultan sosial-politik.
Kecenderungan ini dimanfaatkan untuk memainkan sentimen, terutama sentimen
kebencian untuk kepentingan politik kekuasaan, sebagaimana ditemukan Cherian
George dalam penelitiannya circa pada 2015. Para profesional media
sosial membangun strategi untuk memengaruhi diskursus publik. Hashtag dalam
trending topics tidak lagi menjadi refleksi percakapan organik, tetapi
menjadi tren yang absurd. Buzzers (pendengung) dan pemengaruh menjadi pasukan
untuk membangun gimmick politik, bahkan mengintimidasi dan melakukan
pelintiran kebencian. Polarisasi pun tak terhindarkan di media sosial, dengan
contoh epik perseteruan antara para cebong dan kampret. Yang awalnya hanya sekadar
tren percakapan sosial sekarang menjadi pertempuran politik kekuasaan. Untuk
kepentingan kekuasaan, doxing dilakukan bertubi-tubi untuk mempermalukan
oposan. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting untuk direspons,
sayangnya sampai saat ini belum juga terformulasikan strategi tersebut. Sekali lagi, Gus Dur
menggambarkannya secara utuh: kehidupan (berbangsa) kita hanya dipenuhi oleh
kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, tidak lagi mengindahkan aspek moril
kehidupan kita sebagai bangsa. Sayangnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar