Menjernihkan
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Munafrizal Manan ; Wakil Ketua Internal
Komnas HAM RI, Alumnus International Human Rights Law and Criminal Justice,
Universiteit Utrecht |
KOMPAS, 15 Mei 2021
Profesor Asvi Warman Adam
mengalkulasi sisa waktu sekitar tiga tahun pemerintahan Jokowi tak cukup
untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat masa lalu, baik melalui pendekatan
yudisial maupun nonyudisial berbasiskan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
baru. Pernyataan tersebut
diungkapkan dalam artikel ”Mendesak, Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu”
di Kompas (16/4/2021). Ia berpendapat rencana
pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM
yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB) dapat dianggap sebagai
pengganti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Prof Asvi,
UKP-PPHB dapat memeriksa kasus pelanggaran HAM berat, menyatakan telah
terjadi pelanggaran HAM berat, menyebutkan instansi yang bertanggung jawab,
dan kemudian memberikan kompensasi pada keluarga korban. Peran
krusial Komnas HAM Saya sepakat penyelesaian
kasus HAM berat mendesak untuk diselesaikan. Namun, ada hal yang perlu
dijernihkan. Tak sekali pun artikel itu menyebut lembaga Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia RI (Komnas HAM). Apakah Komnas HAM dianggap tak penting atau
tak ada relevansi dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu? Hanya Komnas HAM yang
diberi mandat oleh undang-undang (UU) untuk menyatakan suatu peristiwa
sebagai pelanggaran HAM berat. Pasal 18 UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM expressis verbis mengatur bahwa ”Penyelidikan terhadap
pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Tak ada lembaga lain
diberi mandat oleh UU untuk menyelidiki (memeriksa) dugaan peristiwa
pelanggaran HAM berat. Tidak oleh aparat penegak hukum Kepolisian RI, tidak
juga Kejaksaan Agung RI, apalagi UKP-PPHB. Maka, Komnas HAM berperan
krusial dalam kasus pelanggaran HAM berat. Suatu peristiwa tak dapat
dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat tanpa didahului penyelidikan Komnas
HAM berdasarkan mandat UU No 26 Tahun 2000. Komnas HAM berada di garis depan
proses pro justitia pelanggaran HAM berat. Dalam konteks ini, Komnas HAM
secara limitatif adalah bagian dari sistem peradilan pidana terpadu. Sejauh ini ada 15
peristiwa yang telah diselidiki dan dinyatakan Komnas HAM sebagai pelanggaran
HAM berat. Dua kasus (Timor Timur dan Tanjung Priok) diproses di Pengadilan
HAM ad hoc, dan satu kasus (Abepura) diproses di Pengadilan HAM. Meskipun ada
yang menilai proses dan hasilnya mengecewakan, mekanisme yudisial ketiga
kasus itu secara hukum sudah selesai dan ditutup. Sementara 12 kasus lain
hingga kini masih belum jelas kepastian tindak lanjut penyelesaiannya oleh
Jaksa Agung. Artinya, peristiwa lain di
luar 12 kasus itu belum dapat dinyatakan pelanggaran HAM yang berat karena
belum ada hasil penyelidikan pro justitia Komnas HAM. Tegasnya, UKP-PPHB tak
memiliki mandat UU untuk menyatakan suatu peristiwa telah terjadi pelanggaran
HAM berat. UKP-PPHB tidak pula memiliki mandat UU untuk menyatakan 12 kasus
itu bukan pelanggaran HAM berat. Wewenang ini hanya
dimiliki Jaksa Agung dan Pengadilan HAM ad hoc/Pengadilan HAM. Karena
posisinya sebagai penyelidik pro justitia, Komnas HAM seyogianya tidak dalam
kapasitas setuju ataupun tidak setuju dengan penyelesaian nonyudisial. Jika
kasus diselesaikan secara nonyudisial, lantas untuk apa Komnas HAM dahulu
melakukan penyelidikan pro justitia? Penyelesaian
nonyudisial Mengapa tidak dari sedari
awal diambil langkah penyelesaian nonyudisial? Sungguh tidak logis dan tidak
legal apabila Komnas HAM menganulir hasil penyelidikan pro justitia sendiri.
Apalagi UU No 26 Tahun 2000 memang tidak mengatur hal itu. Namun, penyelesaian
melalui jalan nonyudisial tetap terbuka ditempuh. Pasal 47 UU No 26 Tahun
2000 mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU
a quo tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya oleh KKR. Syaratnya adalah
basis legalitasnya harus dalam bentuk UU. Begitulah skema penyelesaian
nonyudisial menurut UU No 26 Tahun 2000 yang sekarang masih berlaku. Itulah sebabnya, dahulu
dibentuk UU KKR kendati kemudian dibatalkan keseluruhan UU a quo oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/ PUU-IV/2006. Langkah pertama menuju
penyelesaian nonyudisial kasus pelanggaran HAM berat masa lalu adalah dengan
pembentukan UU KKR. Apabila ingin rute lebih
cepat, Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu). Jika UKP-PPHB hendak dikonstruksi sebagai penjelmaan KKR, payung
hukumnya harus dalam bentuk UU/perppu agar eksistensi dan hasil kerjanya
memiliki legalitas kuat. Lagi pula, pertimbangan
putusan MK a quo menempatkan ”kebijakan hukum (UU) yang serasi dengan UUD
1945 dan instrumen HAM yang berlaku universal” sebagai opsi pertama.
Sekiranya UU/perppu KKR nanti terbentuk, bukan berarti penyelesaian
nonyudisial dapat mengabaikan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hasil penyelidikan itu
berstatus dokumen hukum pro justitia dan akan tetap begitu sampai ada
kesimpulan hukum akhir oleh Jaksa Agung, yaitu melanjutkan ke tahap
penyidikan atau mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kesimpulan hukum akhir
mana pun yang diambil Jaksa Agung (penyidikan atau SP3) harus dihormati
karena merupakan wewenangnya. Yang penting adalah tidak mengambangkan
terus-menerus hasil penyelidikan Komnas HAM tanpa kesimpulan hukum bersifat
final. Apa pun penilaian yang
disematkan terhadap hasil penyelidikan pro justitia Komnas HAM, sepanjang UU
No 26 Tahun 2000 tetap merupakan hukum positif (ius constitutum), hasil
penyelidikan itu tidak kedaluwarsa. Penyelesaian nonyudisial yang menegasikan
hasil penyelidikan Komnas HAM adalah jalan meloncat yang tergesa-gesa dan
ceroboh. Alih-alih tercapai penyelesaian final, justru berpotensi terjadi
kompleksitas permasalahan baru. Baik melalui mekanisme
yudisial maupun nonyudisial, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus
bertitik tolak dari kesimpulan hukum akhir atas hasil penyelidikan Komnas
HAM. Untuk menuju penyelesaian yang
komprehensif, sistematis, dan tuntas, lembaga-lembaga negara pemangku
kepentingan perlu segera menyusun dan menyepakati peta jalan penyelesaian
pelanggaran HAM yang berat. Peta jalan inilah sebagai pedoman tertulis
bersama yang bersifat mengikat dan eksekutorial untuk mengakhiri beban
sejarah bangsa yang berlarut-larut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar