Memaafkan
dan Membangun Peradaban Zuly Qodir ; Ketua Program Doktor
Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta |
KOMPAS, 10 Mei 2021
Kemarin
aku merasa pintar, maka aku akan mengubah dunia. Sekarang aku lebih
bijaksana, maka aku akan mengubah diriku sendiri. Jalaluddin Rumi Tak satu pun umat manusia
tanpa dosa. Inilah noda yang telah melanda setiap umat manusia di muka bumi
sejak Adam-Hawa di hadapan Tuhan. Orang paling saleh itu bukanlah orang yang
tak pernah berbuat dosa, karena itu tak punya dosa, tetapi mereka yang dengan
sadar diri mengaku pernah berbuat salah. Kesadaran inilah yang
menjadikan seseorang bersedia berkhidmat untuk bersimpuh di hadapan Tuhan
Sang Khalik untuk memohon ampunan. Dalam tradisi agama-agama,
dosa itu bawaan umat manusia. Menghapus dosa pun tradisi yang sama tuanya
dengan dosa itu muncul. Tragedi Raja Midas yang dihukum umatnya karena dosa
adalah bentuk paling nyata dari adanya para pendosa yang terjadi di sebuah
negeri. Kerajaan Tuhan pun penuh
dengan para pendosa karena itu membutuhkan penyucian agar dunia ini tak penuh
dengan angkara murka yang dapat berdampak pada adanya pertumpahan darah dan
kehancuran hubungan sosial. Di sinilah orang yang berbuat dosa biasanya
bersimpuh di hadapan Tuhan untuk berdoa memohon ampun melalui berbagai ritual
doa-doa suci yang dipanjatkan. Doa dipanjatkan baik
secara pribadi maupun kolektif. Di masyarakat dipercaya doa kolektif lebih
mujarab daripada doa individual karena itu sering dipanjatkan secara
kolektif-kolegial (istighotsah). Kekuatan doa memohon ampun adalah kekuatan
umat beragama mengharap (roja) pengampunan Tuhan yang Maha Pengampun. Tak ada
dosa yang tak diampuni Tuhan jika Tuhan berkehendak mengampuninya. Tak ada yang berhak
mengklaim bahwa doanya paling diterima di hadapan Tuhan sebab posisi semua
hamba itu sama di hadapan Tuhan. Jika kamu berdoa, (maka) Aku akan kabulkan,
demikian Tuhan berfirman. Doa-doa, karena itu
penting dilakukan. Doa sendiri menjadi pertanda seorang hamba atau komunitas
tak sombong dengan kehidupannya. Doa itu berharap agar Sang Khalik
mendengarkan apa yang jadi pengharapan dan permintaan. Tuhan berfirman, hanya
orang-orang yang menyombongkan diri saja yang tidak berkenan memohon
kepada-Nya. Setiap manusia beriman,
dengan caranya, akan berdoa sebagai ungkapan syukur dan berharap Tuhan
mengabulkan permohonannya. Doa yang dipanjatkan, dikatakan Rabiah Adawiyah,
merupakan kekuatan spiritual seseorang yang tak takut neraka, tetapi juga tak
melulu berharap surga. Doa dan dosa selalu
seiring sejalan dengan kehidupan umat manusia. Hanya mereka yang sadar akan
dosa-dosa yang diperbuatnya akan merunduk di hadapan Tuhan. Semakin banyak
berdoa dan berharap diampuni, semakin seseorang bersih dari noda. Bukan tak
pernah berbuat dosa, melainkan sadar karena berbuat dosa, maka segera berdoa
dan berharap diampuni Tuhan. Rekonsiliasi
diri Jiwa-jiwa yang bersih
merupakan jiwa yang tak angkuh. Keangkuhan hanya akan menjadikannya menepuk
dada. Dalam keangkuhan, seseorang merasa paling berhak menghukum orang lain.
Karena keangkuhan juga merasa paling bersih dari segala kejahatan. Merasa
paling berhak mengutip teks kitab suci untuk menuduh orang lain dengan
berbagai ungkapan kasar, kotor, tak bermartabat serta menghujat. Keangkuhan
itu tumbuh karena menganggap orang lain lebih rendah. Keangkuhan seseorang itu
sejatinya tumbuh karena tidak pernah merasa pada dirinya itu ada kekurangan.
Jika ada kegagalan yang dialami, akan senantiasa menuduh orang lain yang
culas. Jika mengalami kekalahan dalam pertandingan, akan menuduh ada
pihak-pihak yang curang. Jika terjadi kegaduhan publik, akan menganggap
lawan-lawannya yang berbuat kegaduhan. Pendek kata, keangkuhan itu tidak
pernah bisa menempatkan diri dalam kekurangan apalagi kesalahan. Oleh sebab itu, keangkuhan
sebenarnya bentuk kekufuran paling nyata sekalipun seseorang lihai mengutip
teks kitab suci dalam setiap pidatonya. Seperti dikemukakan ahli
tafsir M Quraish Shihab, kekufuran itu datangnya dari kesombongan. Dengan
kesombongan seseorang tak bersedia melakukan koreksi dirinya sendiri. Segala
sesuatu akan ditimpakan pada orang lain yang berbuat aniaya (dhalim) pada
kelompoknya dan keluarganya. Tidak pernah seseorang
yang dalam dirinya tebersit kesombongan akan mampu melihat kebajikan pada
pihak lainnya. Oleh sebab itu, sesungguhnya kekafiran paling nyata adalah
karena kesombongan itu sendiri, bukan karena seseorang tidak beribadah kepada
Tuhan. Seseorang boleh saja tampak beribadah kepada Tuhan, tetapi hatinya
penuh dengan kebencian dan syahwat Rahwana. Syahwat Rahwana merupakan
syahwat yang menggiring seseorang pada keinginan-keinginan yang berlebihan.
Keinginan tak pernah puas dengan apa yang telah diraih selama ini, baik
secara pribadi, keluarga, maupun sanak saudaranya. Syahwat Rahwana menjadikan
seolah seisi dunia harus menjadi miliknya. Dunia itu harus terpegang dalam
genggamannya. Orang lain haruslah menjadi pengikutnya. Tak boleh ada orang
lain berada di depannya. Sungguh berbahaya syahwat
Rahwana jika terus hinggap di dalam hati seseorang. Apalagi di hati sanubari
tokoh politik, tokoh agama, dan pemimpin ormas keagamaan sebab akan berdampak
pada munculnya kerusakan publik. Syahwat Rahwana tak akan mampu menciptakan
kebajikan publik (public virtue) yang sangat diharapkan oleh semua warga
negara yang ada di negeri ini. Public virtue hanya akan tumbuh pada
pribadi-pribadi yang penuh ketundukan jiwa. Ketundukan jiwa inilah
yang dapat kita sebut sebagai rekonsiliasi antara keinginan dan nurani. Nurani
akan membimbing umat manusia dari segala bentuk syahwat Rahwana. Manusia tak
akan pernah mampu menghilangkan nafsu (keinginan). Namun, manusia akan mampu
mengelola keinginan tatkala nurani dapat membimbingnya. Mereka yang dibimbing
nurani merupakan manifestasi dari manusia yang memiliki kesalehan individual
(personal piety) dan memiliki public virtue. Ini pula yang sebenarnya oleh
Tuhan dinyatakan sebagai seorang yang tidak mengkhianati agama. Oleh sebab itu, kini
saatnya kita secara individual dan kolektif melakukan rekonsiliasi antara
kesombongan sebagai kekafiran dan kesalehan sehingga memunculkan manusia yang
fitri, manusia yang terlahir kembali dalam kesucian jiwa dan pikiran karena
angkara murka dan kebencian. Kesalehan yang nyata
adalah kesalehan yang dapat dirasakan dampaknya pada manusia lain, tidak
hanya dinikmati dirinya sendiri sehingga ibarat lilin dia akan memakan
dirinya sendiri sekalipun orang lain mendapatkan sinar terang. Kita harus menjadi pohon
yang rimbun daunnya sekaligus mampu merimbunkan sekitarnya sehingga orang
nyaman berada di bawahnya. Memupuk
jejak Momentum Idul Fitri pekan
ini kita gunakan untuk memupuk jejak membangun negeri. Jangan jadikan negeri
yang subur, indah, dan beragam ini hancur karena syahwat Rahwana. Kita perlu
menjadikan negeri ini baldatun tayyibatun wa rabun ghafur (adil, makmur,
sejahtera dalam limpahan karunia Tuhan). Oleh sebab itu, kita perlu
menumbuhkan sikap-sikap optimistis dalam membangun peradaban dan kedamaian di
Indonesia. Kita butuh jiwa-jiwa yang
kuat memupuk kebersamaan. Kita butuh pribadi-pribadi yang kuat mendidik
masyarakat dari keculasan. Kita butuh pribadi-pribadi yang optimistis dalam
menapaki hidup dengan berbagai tantangan serius seperti Covid-19. Kita butuh pemimpin yang
jujur, adil, dan mampu membawa bangsa ini lebih baik setiap saat. Pemimpin
semacam inilah yang kita dapat katakan sebagai pemimpin transformatif. Kita
tak butuh sosok pemimpin politik yang ingin menang sendiri. Di sinilah jejak peradaban harus dibangun,
sebab seperti dikatakan Sherif Haramain, Indonesia negeri tempat bermukim
seperlima penduduk Muslim dunia dengan segala kekayaan alamnya, terlalu
penting untuk dilupakan dan terlalu menjanjikan untuk disia-siakan. Inilah
pesan Idul Fitri bagi kita sebagai caring
society. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar