Hindari
Jalur Pertumbuhan Lambat Muhamad Chatib Basri ; Pengajar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia |
KOMPAS, 28 Mei 2021
Luka adalah pengalaman. Ia
bukan pengetahuan. Mereka yang menonton drama Romeo and Juliet karya William
Shakespeare mungkin ingat sebuah dialog dari Romeo: ”He jests at scars that
never felt a wound.” Romeo ingin mengatakan:
mudah untuk memperolok rasa sakit seseorang jika kita tak mengalaminya. Ia benar.
Kita mungkin punya pengetahuan mengenai pandemi sebelumnya, tapi kita baru
paham setelah mengalaminya. Covid-19 meninggalkan parut di wajah kita. Kita
merasakannya. Bekas luka itu akan terbawa entah sampai kapan. Ia akan tinggal
pada perilaku kita, juga pada ekonomi kita. Optimisme memang mulai
terbangun. Orang mulai bicara pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 bisa di
atas 6 persen. Pemerintah bahkan menyebut 7 persen. Tak berlebihan. Ada dua
alasan untuk itu. Yang pertama, pertumbuhan triwulan II-2021 akan relatif
tinggi karena berangkat dari basis yang rendah. Produk domestik bruto
(PDB) kita berdasarkan harga konstan 2010 (HK 2010) pada triwulan II-2020,
tercatat Rp 2.589,6 triliun. Sedangkan PDB pada triwulan I-2021 sudah
mencapai Rp 2.683,1 triliun. Artinya, untuk memperoleh angka pertumbuhan 6-7
persen pada triwulan II-2021, PDB (HK 2010) hanya perlu mencapai Rp 2.744,9
triliun-Rp 2.770,8 triliun. Cukup dengan pertumbuhan 2,3-3,2 persen dari
triwulan pertama ke kedua 2021. Ini sangat mungkin. Perbaikan
ekonomi berjalan seiring dengan perbaikan mobilitas. Data dari Office Chief
Economist Bank Mandiri menunjukkan, indeks belanja sudah kembali, bahkan
sudah lebih tinggi dibandingkan dengan periode pra-Covid-19. Kita perlu
memberikan apresiasi bahwa stimulus yang dilakukan pemerintah mampu
mengurangi kontraksi dan membawa ekonomi kembali dalam jalur pertumbuhan
positif. Dampak
Covid-19 ke pertumbuhan Saya sadar, jika ekonom
melakukan proyeksi angka pertumbuhan ekonomi, sebenarnya ia ingin menunjukkan
rasa humornya. Mengapa? Karena ada variabel penting yang amat menentukan,
tetapi tak bisa kita ketahui: pandemi. Akankah ada gelombang kedua? Berapa
lama situasi ini akan terjadi? Saya tak pandai
menjawabnya. Soal kita sebenarnya bukanlah apakah bisa tumbuh 7 persen atau
tidak pada triwulan II-2021? Ada hal yang jauh lebih penting dari itu:
bagaimana bekas luka akibat Covid-19 tersisa pada perekonomian kita?
Bagaimana dampak jangka panjang dari pandemi ini pada jalur pertumbuhan
ekonomi (growth path) kita? Kontraksi sebesar minus 2,07 persen pada 2020
akan menurunkan growth path ke depan. Jika pada 2021 ini
Indonesia bisa tumbuh 5,3 persen—seperti target pemerintah—lalu ke depan
tetap tumbuh 5 persen, rata-rata pertumbuhan ekonomi (compound annual growth
rate) sepanjang 2019-2025 hanya akan mencapai 3,8 persen. Atau bahkan jika
dari 2022-2025 kita bisa tumbuh 6 persen rata-rata per tahun, growth path
kita hanya akan mencapai rata-rata 4,5 persen sepanjang periode 2019-2025.
Covid-19 telah menurunkan jalur pertumbuhan kita. Ia meninggalkan parut yang
dalam pada ekonomi kita. Jika kita ingin
mengembalikan growth path kembali ke 5 persen, seperti yang kita miliki
sepanjang periode 2014-2019, maka ekonomi 2021-2025 harus tumbuh minimal 6,75
persen setiap tahun. Padahal, kita tahu: dengan pertumbuhan rata-rata 5
persen saja, tak mudah untuk mengatasi jebakan kelas menengah (middle income
trap). Apalagi jika pertumbuhan rata-rata sepanjang 2019-2025 berada di bawah
4 persen. Beberapa
langkah Lalu, apa yang harus
dilakukan? Untuk menjawab ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Perlu diingat: analisis ini bersifat jangka menengah dan panjang serta
mengasumsikan bahwa pandemi bisa diatasi. Pertama, jika kita ingin
ekonomi tumbuh rata-rata di atas 6,75 persen dalam periode 2022-2025,
konsumsi rumah tangga harus tumbuh di atas 5,3 persen, investasi tumbuh di
atas 8 persen, pengeluaran pemerintah tumbuh 5 persen, dan ekspor tumbuh di
atas 10 persen. Tentu ada banyak variasi di sana, misalnya jika pertumbuhan
konsumsi rumah tangga lebih rendah, ia harus dikompensasi oleh pertumbuhan
investasi atau ekspor yang lebih tinggi. Kedua, ada potensi
konsumsi rumah tangga tumbuh tinggi pada 2022 akibat adanya pent up demand
(permintaan tertunda). Pembukaan kembali ekonomi di 2022 (dengan asumsi
vaksinasi selesai dan pandemi bisa diatasi) memiliki potensi mendorong
pertumbuhan konsumsi rumah tangga relatif tinggi. Jika pandemi bisa diatasi,
kelompok menengah atas akan kembali membelanjakan uangnya untuk leisure,
entertainment, traveling, serta konsumsi barang tahan lama, seperti mobil dan
rumah. Untuk kelompok menengah
bawah, bantuan sosial dan stimulus pemerintah bisa membantu menjadi
pendorong. Selain itu, kita juga melihat bahwa perusahaan yang bisa bertahan
dalam pandemi adalah mereka yang bisa melakukan transformasi digital. Karena
itu, dukungan infrastruktur digital menjadi sangat penting. Transaksi digital
ke depan akan semakin meningkat. Jika hal ini dilakukan, kita mungkin akan
melihat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tinggi pada 2022 sebelum
akhirnya kembali ke tingkat normal. Kita ingat dalam periode
2010-2014, konsumsi rumah tangga bisa tumbuh rata-rata 5,3 persen. Namun,
jatuhnya harga komoditas sejak 2013 menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga ke rata-rata 5 persen dalam periode 2014-2019. Kita harus
mengembalikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga kembali ke rata-rata 5,3
persen atau lebih. Tingkat bunga yang relatif rendah juga membantu untuk
mendorong konsumsi karena insentif untuk menabung menjadi relatif kecil. Ketiga, anatomi
pertumbuhan ekonomi Indonesia pra-Krisis Keuangan Asia menunjukkan: motor
pertumbuhan ekonomi adalah investasi dan ekspor. Dalam periode sebelum Krisis
Keuangan Asia, investasi bisa tumbuh rata-rata 9,4 persen. Boom komoditas
yang terjadi sampai 2013 memungkinkan investasi tumbuh rata-rata 8,3 persen
pada 2000-2012 dan mencapai puncaknya pada 2012, yaitu 9,8 persen. Setelah berakhirnya boom
komoditas, pertumbuhan investasi 2014-2019 turun ke rata-rata 5,3 persen. Bagaimana cara
meningkatkan investasi dan ekspor? Kuncinya adalah peningkatan produktivitas.
Pada 2019, incremental output ratio (ICOR) sekitar 6,8 persen (saya tak
menggunakan angka 2020 karena ada bias akibat pandemi). Artinya, 1 persen
pertumbuhan ekonomi membutuhkan rasio investasi/produk domestik bruto (PDB)
sekitar 6,8. Jika kita ingin tumbuh
6,75 persen, kita membutuhkan rasio investasi/PDB sebesar 45,9 persen (6,75
persen x 6,8). Investasi ini tentu harus dibiayai oleh tabungan domestik.
Data menunjukkan: rasio tabungan domestik/PDB saat ini sekitar 35 persen dari
PDB. Padahal kebutuhan investasi adalah 46 persen dari PDB. Jika kita ingin
mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 6,75 persen, ada defisit antara
tabungan dan investasi lebih dari 10 persen. Defisit ini mencerminkan defisit
dalam transaksi berjalan. Dengan defisit transaksi
berjalan sebesar itu, ada risiko pasar keuangan akan menghukum kita dengan
nilai tukar yang melemah dan pasar keuangan yang bergejolak. Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terperangkap pada masalah defisit
transaksi berjalan. Untuk mengatasinya ada
beberapa pilihan atau kombinasi: menarik arus modal asing langsung. Saya
pernah menulis di harian ini, pemerintah sebenarnya tak perlu terlalu
khawatir dengan defisit transaksi berjalan, selama itu dibiayai melalui
penanaman modal asing (PMA) di sektor ekspor dan bukan portofolio. Jika
pembiayaan defisit dalam bentuk PMA, modal tak mudah bergejolak. Untuk itu
langkah penting yang perlu dilakukan adalah implementasi UU Cipta Kerja (UU
CK), keberhasilan sovereign wealth fund (SWF). Berbagai peraturan
pelaksanaan, seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri, memang sudah
rampung. Namun, saya ingin mengingatkan: rampungnya peraturan adalah satu
hal, tetapi implementasi adalah hal lain. Kita punya pengalaman: ada senjang
antara peraturan dan eksekusi. Mengambil analogi dari
pesan di telepon seluler, Presiden Jokowi menyebutnya sent, tapi belum
delivered. Ungkapan ini tepat sekali. Untuk memastikan delivered, bukan
sekadar sent, dibutuhkan uji lapangan, misalnya dengan focus group discussion
(FGD). Saya ingat pengalaman sebagai Kepala BKPM sekitar 2012. BKPM membuat
formulir yang harus diisi investor untuk permohonan izin investasi. Semuanya
terlihat baik di atas kertas. Namun, saya meminta
dilakukan FGD. Saya meminta investor mengisi formulir itu di depan saya.
Ternyata formulir itu masih menyulitkan investor. Kasusnya sederhana: di
dalam formulir ada pertanyaan volume produksi barang. Ada investor yang produksi
barangnya terdiri dari benda padat dan benda cair, yang satuannya berbeda.
Sayangnya, kolom yang ada di komputer hanya satu. Ia menanyakan apakah harus
dikonversi dalam satu satuan atau bagaimana? Birokrasi tak seragam
menjawabnya karena kita tak mengantisipasi soal ini. Investor kesulitan
mengisi aplikasi izin investasinya. Ini contoh yang sangat remeh, tapi riil.
Intinya: semua peraturan yang sudah dibuat harus diuji di lapangan apakah
berjalan. Tanpa itu, UU Cipta Kerja tetap sulit dijalankan. Apa lagi? Tingkatkan
ekspor manufaktur kita serta meragamkan produk dan tujuan ekspor kita. Kita
juga harus jadi bagian dari jaring produksi (global production net-work).
Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan, pendorong utama ekspor kita adalah
produk dan pasar lama. Penemuan baru? Kurang dari 5 persen. Bahkan,
kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita
nyaris tak ada. Inovasi memegang peranan
penting. Saya jadi teringat diskusi dengan ekonom Dani Rodrik di Harvard,
beberapa tahun lalu. Rodrik menekankan pentingnya inovasi produk baru. Untuk
itu, wiraswasta harus mengadopsi teknologi dari luar untuk keperluan lokal.
Sebuah proses yang disebutnya self-discovery. Namun, ada persoalan: jika
pengusaha gagal dalam eksperimen ini, ia akan menanggung seluruh kerugiannya,
sementara jika berhasil, produsen lain akan menirunya dan masuk dalam
aktivitas ini. Akibatnya, praktis tak ada yang berminat untuk self-discovery.
Di sini perlu peran pemerintah. Sayangnya, litbang (R&D) kita lemah. Teknologi
tidak dapat begitu saja diperoleh dari negara maju. Karena itu, dibutuhkan
R&D yang dibiayai oleh publik. Dan, yang paling penting,
meningkatkan produktivitas. Bagaimana untuk menghasilkan output yang sama
dibutuhkan investasi atau modal yang lebih kecil (menurunkan ICOR). Jika ICOR
bisa diturunkan, misalnya menjadi 4 atau 5, untuk pertumbuhan ekonomi 6,75
persen, hanya dibutuhkan rasio investasi/PDB 27,0-33,5 persen. Dengan demikian, kita
mampu mendorong pertumbuhan tanpa khawatir defisit transaksi berjalan.
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan kombinasi peningkatan
investasi fisik, penyederhanaan perizinan, dan perbaikan kualitas SDM.
Lakukan pelatihan, re-training, dan perbaikan keterampilan. Untuk
penyederhanaan perizinan, implementasi UU CK menjadi amat penting. Pengakhiran
stimulus Keempat, kondisi di atas
menyiratkan bahwa baik pemerintah maupun Bank Indonesia harus melihat benar
waktu yang tepat untuk mengakhiri stimulusnya. Tidak bisa terlalu cepat.
Sayangnya, normalisasi kebijakan di AS mungkin sudah akan terjadi setelah
2023. Ini akan berpengaruh pada stabilitas pasar keuangan dan pemulihan
ekonomi kita. Tidak mudah memang, tapi
ada harapan di sana. Covid-19 memang menimbulkan luka di wajah ekonomi kita.
Ia akan membekas. Luka adalah pengalaman, bukan pengetahuan. ”Luka
dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri.”
Begitu tulis Chairil Anwar dalam sajaknya. Ia benar: kita akan membawanya
hingga hilang pedih peri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar