Ekonomi
Kreatif Era Budaya Layar Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual dan
Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta |
KOMPAS, 29 Mei 2021
Harian Kompas edisi 26
April 2021 menurunkan liputan bertajuk ”Bangkit di Tahun Ekonomi Kreatif”.
Tim Redaksi berikut reporter harian ini secara gegap gempita menuliskan serta
menarasikan keberadaan ekonomi kreatif yang diposisikan sebagai lokomotif
kehidupan. Karena disematkan peran sebagai mesin penggerak, keberadaan
ekonomi kreatif diberi tugas negara guna memutar roda perekonomian di jagat
raya. Selain itu, harian Kompas
menilai, ”Ekonomi kreatif memiliki daya lenting yang tinggi. Sektor yang
mampu menyerap jutaan tenaga kerja ini pun dipakai sebagai kendaraan
pemilihan ekonomi global’’. Sementara itu, pada
halaman Opini, Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya cum
Deputi Ekonomi Setwapres, menuliskan pemikirannya yang berpilin-pilin dan
berkaitan dengan liputan harian Kompas. Di bawah judul ”Etalase Ekonomi
Kreatif”, Ahmad Erani Yustika menorehkan pendapatnya, ”Dunia yang semakin
padat pengetahuan inilah yang menjadi hulu dari pergeseran pembangunan menuju
ekonomi kreatif”. Dia menegaskan, ”Informasi, internet, digitalisasi, dan
aplikasi merupakan sebagian perkakas yang memungkinkan pengetahuan menjelma
menjadi komoditas/jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh massa.” Strategi
kebudayaan Liputan harian Kompas dan
guratan pemikiran Ahmad Erani Yustika sejatinya mengajak kepada kita untuk
menjadi bagian dari warga penggerak ekonomi kreatif. Ajakan mulia seperti itu
wajib ditindaklanjuti. Mengapa demikian? Harus diakui, pada era budaya layar
dengan panglimanya generasi digital dan internet, keberadaan ekonomi kreatif
menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan demikian, membangun,
menyusun, serta menjalankan strategi kebudayaan dalam konteks investasi
ekonomi kreatif perlu disegerakan. Hal ini menjadi penting.
Sebab atas nama membangun fondasi perikehidupan berbangsa dan bernegara,
seperti diamanatkan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
dan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Maka, membangun kesadaran
menjalankan strategi kebudayaan dalam konteks investasi ekonomi kreatif lewat
pemberdayaan ekonomi kreatif wajib diprioritas. Terpenting, penyediaan sumber
daya manusia bersendikan pendidikan kreatif yang mampu memanusiakan manusia
agar menjadi manusia bermartabat. Semuanya ini harus menjadi keputusan
politik yang tidak bisa ditawar lagi. Selain itu, membangun
strategi kebudayaan dalam konteks investasi ekonomi kreatif berbasis
kerakyatan perlu segera dikumandangkan. Hal itu layak dilaksanakan agar
segera dapat memperbaiki kesalahan sosial masa lalu. Dosa sosial yang
membuncah di dalam sanubari bansa Indonesia adalah ketakutan menunjukkan jati
diri sebagai bangsa merdeka. Bangsa gemah ripah loh jinawi yang memiliki
kekayaan kebudayaan melimpah ruah. Kekayaan kebudayaan warisan kultural nenek
moyang atau akulturasi hasil bergaul dengan bangsa yang lain. Sebaliknya, bangsa
Indonesia seakan bangga ketika jati dirinya dilenyapkan bangsa asing. Mereka
memosisikan dirinya sebagai negara produsen. Ironisnya, bangsa Indonesia
justru merasa bahagia ketika ditahbiskan sebagai bangsa konsumen. Pada titik
inilah harkat dan martabat kemerdekaan bangsa Indonesia hablur jadi debu. Kolaborasi
kreatif Sebagai bangsa merdeka dan
kreatif yang mendaraskan dirinya di bawah payung kehidupan ekonomi kreatif,
sudah saatnya tidak memilih gaya hidup mager (malas gerak). Hanya berpangku
tangan menunggu peluang yang diberikan Sinterklas. Kita seyogianya merapatkan
barisan untuk meraih peluang secara bermartabat. Sang Maha Pencipta dengan
program cinta kasih-Nya memberi talenta akal pikiran. Kita juga dianugerahi
nalar perasaan. Lewat kedua hadiah istimewa tersebut dapat digunakan untuk
memperoleh peluang yang ditebarkan-Nya di pangkuan kita. Upaya meraih peluang dapat
diwujudkan lewat upaya menumbuhkan budaya kolaborasi kreatif. Hal ini sangat
penting untuk ditindaklanjuti mengingat ikhtiar mendapatkan peluang
seyogianya mengedepankan kreativitas yang bermartabat dalam proses interaksi
sosial bersama makhluk sosial lainnya. Salah satu strateginya, senantiasa
membangun jaringan sosial yang kuat. Selanjutnya melibatkan diri secara total
dalam kerja kolaborasi kreatif. Siapakah yang layak diajak
kerja kolaborasi kreatif? Tentu saja para pihak yang tergabung dalam
pentahelix (pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas/asosiasi, industri
kreatif, dan media). Mereka diyakini menjadi penjuru sekaligus pengarah
perputaran roda sektor industri kreatif dan ekonomi kreatif. Budaya kolaborasi kreatif
penting dilakukan karena membangun jaringan sosial yang kuat dalam ekosistem
kerja kolaborasi kreatif adalah hal utama. Kemudian dilanjutkan proses
meleburkan diri secara aktif dalam perputaran roda sektor industri kreatif
dan ekonomi kreatif. Jika semuanya itu dapat dijalankan dengan cantik,
diyakini mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat di dalam menggerakkan
roda ekonomi kreatif. Sejujurnya harus diakui,
industri kreatif yang bertebaran di wilayah ekonomi kreatif senantiasa
kekurangan SDM kreatif. Mengapa demikian? Selama manusia sebagai makhluk
hidup masih membutuhkan komunikasi sosial sebagai sarana komunikasi di antara
kedua pihak. Maka, lapangan kerja yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang
berkaitan dengan jagat kreativitas, komunikasi visual, dan desain digital
tidak pernah habis. Hal tersebut diperkuat dengan
kenyataan sosial yang menyebutkan manusia sebagai makhluk sosial senantiasa
melakukan proses interaksi sosial yang berujung pada kerja kolaborasi
kreatif. Puncak dari dogma sosial tersebut, ketika manusia melakukan
interaksi sosial secara horizontal, siapa pun akan memanfaatkan medium
komunikasi visual sebagai proses interaksi sosial. Dengan demikian, sudah
saatnya industri kreatif di bawah payung ekonomi kreatif maupun industri
pendidikan tinggi yang mengajarkan jagat kreativitas, komunikasi visual dan
desain digital, untuk tidak lagi berpikir perihal persaingan dalam makna
sempit. Perspektif egoisme sektoral harus didekonstruksi secara menyeluruh. Di dalam kerja kolaborasi
kreatif, semuanya harus mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi tanpa takut
tersaingi. Kalau kemudian atas nama satu dan lain hal terjadi persaingan,
fenomena tersebut harus disepakati serta dibaca sebagai dinamika kolaborasi
kreatif yang dinamis dalam konteks industri kreatif dan ekonomi kreatif.
Sepakat? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar