Diskursus
”Guns” Vs ”Butter” dalam Tragedi KRI Nanggala-402 Herindra ; Wakil Menteri
Pertahanan RI |
KOMPAS, 4 Mei 2021
Tenggelamnya KRI Nanggala-402 merupakan
sebuah dukacita yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Duka mendalam karena
kita harus ikhlas melepas berpulangnya 53 personel TNI Angkatan Laut (TNI
AL), yang adalah juga bagian dari putra-putra terbaik bangsa ini. KRI
Nanggala-402 sendiri bagian yang telah melekat dalam tubuh TNI AL dengan masa
bakti yang panjang: 41 tahun. Sebagai wujud penghormatan, pemerintah
memberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat kepada 53 awak KRI
Nanggala-402 yang dinyatakan gugur dalam tugas serta memberikan tiga bintang
jasa atas dedikasi mereka dalam menjaga ketahanan negara. Ketiga bintang jasa
itu adalah Satyalencana Ksatria Yudha, Satyalencana Jalasena Narariya, dan
Satyalencana Dharma Samudra. Presiden Jokowi pun menyediakan beasiswa
bagi anak-anak para awak korban KRI Nanggala-402 sehingga mereka dapat
menuntaskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan,
Kementerian Pertahanan memberikan jaminan kepada mereka untuk dapat masuk ke
SMA Taruna Nusantara dan Universitas Pertahanan, dua institusi pendidikan
yang berada dalam lingkup Kementerian Pertahanan. Pascamusibah tenggelamnya KRI Nanggala-402,
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berharap peremajaan alat utama sistem
persenjataan (alutsista) dapat segera dilakukan. Menhan menjanjikan untuk
segera mengajukan skema dan langkah strategis guna percepatan peremajaan
alutsista. Selain akan dipresentasikan kepada Presiden, skema ini juga akan
disampaikan kepada DPR agar mendukung kebijakan anggaran alutsista ke angka
yang ideal. Di kalangan masyarakat sendiri terekam
ekspresi beragam dalam merespons musibah ini, termasuk aksi penggalangan
dana; walaupun sebenarnya ini tidak perlu karena pembelian alutsista
bersumber dari APBN, yang juga merupakan uang rakyat. Fenomena penggalangan
dana ini kembali menyegarkan ingatan kita pada diskursus tentang teori yang
terkait erat dengan faktor kualitas pertahanan: Guns vs Butter. Teori ini sebenarnya mengungkap perdebatan
lama tentang mana yang lebih utama bagi sebuah bangsa: pembelanjaan di sektor
pertahanan (defense spending) atau penguatan alokasi anggaran di sektor
kesejahteraan masyarakat (welfare expenditures), khususnya sektor pendidikan
dan kesehatan. Kondisi spesifik tiap-tiap negara
berpengaruh besar pada kebijakan terkait alokasi anggaran. Sejarah
membuktikan bahwa kenaikan belanja di sektor pertahanan akan meningkat
manakala potensi perang atau konflik militer hadir di depan mata. Sebaliknya,
anggaran belanja di sektor pertahanan akan otomatis menurun di masa
damai—kebijakan ini akan dibarengi dengan naiknya alokasi pembelanjaan di sektor
investasi publik dan kesejahteraan sosial masyarakat. Perdebatan terkait alokasi anggaran
sebenarnya tidak pernah mudah karena mekanisme pengelolaan anggaran negara
akan masuk pada diskursus yang lebih luas tentang bagaimana kualitas dari
aset manusia (human capital) akan memengaruhi kualitas dari sistem
pertahanan; dan karena kedua sektor ini merupakan sektor publik, keseimbangan
alokasi anggaran menjadi dilematis. Kualitas manusia yang tinggi tanpa dukungan
alat pertahanan hanya akan membawa kita pada konsepsi klasik tentang
pertahanan fisik semata. Sebaliknya, alat pertahanan yang canggih tanpa
dibarengi kualitas SDM yang cakap adalah mubazir. Anggaran
pertahanan Untuk pagu anggaran 2021, pemerintah
mengalokasikan Rp 134.254 triliun untuk Kemenhan, naik 14,12 persen
dibandingkan pagu tahun lalu. Anggaran Kemenhan tahun ini sekaligus menjadi
yang terbesar satu dekade terakhir. Namun, harus dipahami, mayoritas anggaran
Kemenhan 2021 ini dialokasikan untuk program dukungan manajemen. Jumlahnya
mencapai Rp 74,983 triliun atau 55,2 persen dari total anggaran. Adapun alokasi untuk program modernisasi
alutsista, non-alutsista, dan sarana serta prasarana pertahanan menyusul
dengan nilai Rp 39,02 triliun atau 29,06 persen dari total anggaran. Sisanya
untuk kebutuhan lain berupa operasi, latihan, dan pendidikan. Meski Kemenhan salah satu kementerian yang
menerima anggaran terbesar dari APBN, anggaran pertahanan yang ada saat ini
belum ideal karena berada pada kisaran 0,78 persen terhadap rasio produk
domestik bruto (PDB). Itu pun bagian terbesar dari alokasi ini untuk dukungan
manajemen, termasuk belanja pegawai. Akibatnya, Kemenhan tak banyak memiliki
ruang fiskal untuk modernisasi alutsista, yang berarti pula TNI tak memiliki
kemewahan untuk mengoperasikan alutsista terbaik. Keterbatasan mata anggaran
untuk modernisasi alutsista ini akan berdampak pula pada proses maintenance
alutsista (perawatan rutin dan berkala) dan kesiapan tempur TNI dalam menjaga
kedaulatan negara. Merujuk data Bank Dunia per 2019,
dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan regional saja, anggaran
pertahanan Indonesia termasuk yang terendah. Malaysia mengalokasikan 1 persen
dari PDB, Singapura 3,2 persen, Thailand 1,3 persen, bahkan Timor Leste juga
1 persen dari PDB. Pertaruhan
ruang kedaulatan Anggaran Pertahanan RI sewajarnya besar
karena wilayah yang luas dan kekayaan alam yang harus dijaga. Kekuatan
militer yang lemah akan melemahkan posisi tawar dalam diplomasi, terutama
jika menyangkut pelanggaran wilayah dan kedaulatan negara. Situasi keamanan
Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh kondisi geopolitik dan geostrategis
di kawasan regional; salah satunya adalah menajamnya potensi konflik di Laut
China Selatan (LCS). Pembelian alutsista ini tentu harus
menyesuaikan dengan tren keamanan yang berkembang dalam lingkup geopolitik
dan geostrategis. Dalam artian, sistem pertahanan kita sebagai sebuah bangsa
hendaknya memafhumkan realitas hubungan internasional, di mana relasi
antarnegara itu bersifat anarki, sehingga kesiapan sistem pertahanan dan
ketahanan kita adalah pertaruhan atas ruang kedaulatan kita karena potensi
konflik senantiasa di depan mata. Kita tentu tidak ingin mengulang beban
sejarah ketika kapasitas pertahanan dan ketahanan kita berada pada titik nadir
sebagai efek embargo militer yang dijatuhkan kepada Indonesia. Kesiapan
alutsista TNI yang sangat minim kala itu bahkan tak membuka peluang bagi
personel militer kita untuk mengambil porsi besar dalam bantuan kemanusiaan
kepada rakyat Aceh yang jadi korban keganasan tsunami Desember 2004. Kemandirian
alutsista Di dalam ruang-ruang kedaulatan ini pula
problematik pengadaan dan modernisasi alutsista mengemuka dan tentunya sangat
diwarnai oleh konteks global. Terlepas dari ini semua, modernisasi
alutsista hendaknya berfokus pada kemandirian alutsista pertahanan, karena
itu dukungan rakyat—baik dari kalangan DPR maupun masyarakat luas—dalam
mengatasi masalah anggaran pertahanan menjadi salah satu kunci. Selain itu, sangat diperlukan juga dukungan
dunia usaha untuk membuka investasi dalam industri pertahanan seperti yang
terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Kerja sama badan usaha industri strategis
dengan swasta, misalnya dalam pengembangan R&D, layak dipertimbangkan
selama APBN tidak mencukupi anggaran pertahanan yang ideal. Di negara-negara Barat, kalangan swasta
inilah yang menjadi tulang punggung industri pertahanan karena terbukti mampu
menciptakan dampak berganda pada sektor perekonomian nasional. Adapun
keberadaan UU Cipta Kerja merupakan landasan hukum bagi partisipasi swasta
dalam industri pertahanan ini. Perbaikan manajemen anggaran pertahanan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran menjadi
kunci lainnya dalam mengatasi masalah anggaran. Kemenhan akan berusaha
semaksimal mungkin memenuhi prinsip-prinsip good governance dan clean
government; dalam artian, transparansi dan akuntabilitas terjaga. Kunci berikutnya adalah pemeliharaan
kesejahteraan prajurit dan keluarganya demi pengembangan profesionalisme.
Kesempatan belajar—selain untuk jalur kepemimpinan—harus dibuka
selebar-lebarnya agar TNI memiliki banyak pakar (pool of experts) dalam
berbagai bidang untuk antisipasi kemungkinan peperangan di masa depan (future
warfare). Berjalan simultan dengan langkah ini adalah
konsentrasi perekrutan para profesional yang dapat mendukung tugas TNI
sebagai bagian dari Program Komponen Cadangan sesuai UU No 23 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar