Dilema
“Pekerjaan Kaki” untuk Hadirkan Apa Adanya Tri Agung Kristanto ; Wartawan senior
Kompas |
KOMPAS, 17 Mei 2021
“Datang
dan lihatlah. Pesan ini sebagai inspirasi bagi setiap bentuk komunikasi yang
ingin makin jelas dan jujur: dalam dunia jurnalistik, di internet, khotbah
harian Gereja, dan dalam politik, atau komunikasi sosial. Datang dan
lihatlah.” (Paus
Fransiskus pada Peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55, 16 Mei 2021) Bulan Mei tahun ini
seharusnya menjadi bulan yang menguatkan bagi mereka yang berkarya di bidang
komunikasi sosial, dan terutama yang berkarya di bidang media massa:
jurnalistik. Bulan ini, peringatan tiga momen internasional terkait dengan
jurnalisme dan komunikasi berlangsung di seluruh dunia. Pandemi covid-19 yang
masih melanda nyaris seluruh dunia tidak menghalangi kegairahan masyarakat
dunia merayakan ketiga hari istimewa itu, meskipun dengan situasi yang lebih
terbatas. Tanpa kerumunan massa, dan tentu tetap memperhatikan protokol
Kesehatan. Pada 1 Mei lalu, nyaris
seluruh pekerja di dunia merayakan hari buruh internasional atau May Day.
Sebagian pekerja media, termasuk wartawan adalah buruh, bukan pemilik media.
Mereka pun ikut merayakan hari butuh itu, termasuk di Indonesia. Direktur
Jenderal Organisasi Buruh Internasional (ILO) Guy Ryder pada peringatan May
Day 2021 menyerukan kepada pekerja, pengusaha, pemerintah, organisasi
internasional, dan semua pihak yang berkomitmen untuk membangun kembali
dengan lebih baik, bekerja sama dalam mewujudkan dunia kerja yang adil dan
bermartabat bagi semua. “Tidak ada yang aman sampai semua orang aman,” ujar
Guy Ryder. Dia menambahkan, pada masa
pandemi ini tidak ada yang bisa menjadi tak peduli terhadap situasi orang
lain, dalam menghadapi kerapuhan dunia yang saling bergantung. Solidaritas
menjadi kunci untuk kelangsungan hidup dan kemakmuran bersama, di dalam
perbatasan atau lintas batas. Saat menghadapi krisis
hari ini dan melihat ke masa depan, pemulihan seharusnya berpusat kepada
manusia, dengan keadilan dan kesetaraan, pemulihan yang berkelanjutan dan
inklusif untuk semua. Tentu pekerja media, khususnya wartawan mempunyai peran
yang signifikan untuk mewujudkan keterbukaan, kesetaraan, dan keadilan bagi
semua warga dunia, khususnya saat menghadapi Covid-19 dan distribusi vaksin.
Inklusif untuk semua. Dua hari kemudian, pada 3
Mei, pekerja media merayakan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia. Perayaan ini
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1993, setelah
Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO)
mengusulkannya tahun 1991. Tema Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press
Freedom Day) tahun 2021 ialah “Information as a Public Good”. Informasi
merupakan barang publik, sehingga tidak boleh ada siapapun yang menguasainya
demi keuntungannya semata atau kelompoknya. Dalam konteks jurnalisme,
tema ini juga mengingatkan pada pesan “Sepuluh Elemen Jurnalisme” (Bill
Kovack dan Tom Rosentiel), bahwa jurnalisme bertanggungjawab kepada publik.
Berpihak pula kepada kepentingan publik, dan bukan pada pemilik modal,
penguasa, atau pimpinan partai politik. Sekalipun di dunia ini, banyak media
massa yang kali pertama didirikan oleh tokoh partai atau dimiliki oleh partai
atau pimpinan parpol. Menurut Direktur Jenderal
UNESCO Audrey Azoulay, informasi sebagai barang publik menegaskan pentingnya
informasi yang terverifikasi dan andal, tak terbantahkan. Jurnalis yang bebas
dan profesional berperan penting dalam memproduksi dan menyebarkan informasi
ini, dengan menangani misinformasi dan konten berbahaya lainnya. Jurnalisme
penting diperkuat, sehingga bisa memajukan transparansi dalam masyarakat dan
pemberdayaan publik, tanpa meninggalkan siapapun. Dalam tema informasi sebagai
barang publik, juga terkandung maksud adanya kesetaraan dan keadilan dalam
mengolah dan mendistribusikan informasi. Berubahan berkomunikasi saat ini
jelas mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk dalam demokrasi,
keterbukaan, perekonomian, hak asasi manusia (HAM), dan berbagai sendi
kehidupan publik. Lalu, pada Minggu
(16/5/2021), warga dunia merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, yang
diprakarsai Gereja Katolik dan ditetapkan oleh Paus Paulus VI pada 1963.
Perayaan ini digelar bersamaan dengan perayaan Paskah minggu ketujuh,
sehingga setiap tahun tanggalnya berubah. Tahun 2021 bisa beriringan dengan
Hari Buruh Internasional dan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, yang juga
memiliki perhatian pada persoalan yang sama: publik, keterbukaan, solidaritas,
keadilan, HAM, dan komunikasi. Tahun ini, tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia
bertemakan “Datang dan Melihat”. Paus Fransiskus
mengingatkan, tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun ini diharapkan bisa
menginspirasi siapapun yang bergerak di bidang komunikasi, terutama yang
bergelut dengan realitas informasi di masyarakat, khususnya pekerja media.
Bahkan, dalam pesannya, Paus menegaskan peran penting jurnalis dan media
massa (penerbitan) dalam komunikasi sosial. “Kita perlu bergerak,
pergi melihat sendiri, tinggal bersama orang-orang, mendengarkan kisah
mereka, dan mengumpulkan pelbagai pendapat atas realita yang akan selalu
mengejutkan kita dalam beberapa aspek,” jelas Paus. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mengartikan komunikasi sebagai (1) pengiriman dan pemerimaan
pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud
dapat dipahami; hubungan kontak, dan (2) perhubungan. Kata komunikasi berasal
dari kata comunicare, dalam Bahasa Latin, yang berarti membuat kesamaan
pengertian, atau kesamaan persepsi. Dalam komunikasi ini, ada
“perjumpaan”antarpribadi, yang seharusnya tak bisa digantikan oleh algoritma,
kecerdasan buatan (artificial intelligent), robot, mesin, atau teknologi.
“Dalam komunikasi, tak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan “melihat” secara
pribadi. Beberapa hal hanya dapat dipelajari dengan mengalami. Kita tidak
berkomunikasi hanya dengan kata-kata, tetapi dengan mata, nada suara, dan
Gerakan,” ungkap Paus Fransiskus. Praktisi kehumasan Agung
Laksamana dalam buku Adapt or Die: Navigating a New World of PR (Orbit
Indonesia, 2020) mengingatkan, pelaku komunikasi sosial tak bisa hanya
menggantungkan pada teknologi informasi dan internet. “Tidak ada gunanya
membanjiri jutaan konten, mendapatkan jutaan klik, tetapi tidak bisa mengubah
citra dan persepsi publik terhadap reputasi perusahaan,” tulis Agung.
Kredibilitas media, yang tercermin dari profesionalitas pekerja media, tetap
dibutuhkan. Pekerjaan
kaki Dalam situasi pandemi,
Paus Fransiskus menyoroti peran besar dari pekerja media, khususnya wartawan.
“Mari kita renungkan persoalan besar dalam pemberitaan. Ada suara yang sejak
lama prihatin atas risiko digantikannya liputan investigatif yang orisinil
dalam koran, televisi, radio, dan website menjadi liputan berisi narasi
tendensius. Pendekatan ini semakin kurang mampu menangkap kebenaran dari
pelbagai hal dan kurang memahami kehidupan kongkrit banyak orang, apalagi
mengerti fenomena sosial yang lebih serius atau gerakan positif di akar
rumput,” kata Pemimpin Gereja Katolik sedunia itu. Krisis industri
media-–akibat pandemi dan disrupsi digital-–saat ini berisiko mengarahkan
pemberitaan yang hanya dirancang di ruang redaksi, di depan komputer, di
pusat berita, di jejaring sosial, tanpa pernah turun ke lapangan. Tanpa “menghabiskan
sol sepatu”, tanpa bertemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi
situasi tertentu dengan mata kepala sendiri. Jika kita tidak membuka diri
pada perjumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar, meskipun
inovasi teknologi mampu membuat kita seolah-olah tenggelam dalam sebuah
realitas secara langsung. Banyak hal yang tidak akan diketahui, jika wartawan
tidak pergi ke lapangan. GP Sidhunata SJ, wartawan
senior, dalam buku Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga
Sebuah Visi (PT Gramedia Pustaka Utama, 2019) menuliskan, “Hidup wartawan
bukanlah di kantor, tapi di jalanan. Hidup wartawan sesungguhnya ada di
jalanan. Wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan
otak. Wartawan itu harus mencari obyek beritanya dengan menggunakan kakinya,
dengan berjalan terlebih dahulu, sebelum ia menggunakan otak dan pikirannya.
Secemerlang apapun otak seorang wartawan, kalau ia malas menggunakan kakinya,
ia tidak akan memperoleh berita yang autentik.” Saat worldometer.info,
Minggu (16/5), mencatat virus korona baru sudah menginfeksi 163,21 juta
warga, dengan tidak kurang 3,38 juta kematian, di 220 negara/kawasan di
dunia, pasti tidak mudah bagi wartawan untuk menghasilkan informasi langsung
dari lapangan. Teramat berisiko bagi jurnalis untuk tetap melakukan
“pekerjaan kaki”, mendatangi lokasi pandemi misalnya, dan bisa membuat
laporan secara langsung. Teknologi dan dukungan
warga secara langsung bisa membantu, tetapi tetap yang utama ialah kejujuran
dan kebenaran apa adanya. Pasal 4 Kode Perilaku Wartawan Indonesia antara
lain menegaskan, wartawan memiliki kewajiban mengutamakan keselamatan nyawa
dibandingkan kepentingan pemburuan berita. Namun, wartawan juga berkewajiban
mengutamakan kepentingan publik. Memberikan informasi yang benar tentang
pandemi, termasuk dari lapangan, sesungguhnya bertujuan memenuhi kepentingan
publik, sejalan dengan tema Hari Kemerdekaan Pers Sedunia 2021: Informasi
Sebagai Barang Publik. Dilema bagi wartawan dalam
menjalankan panggilan tanggung jawab ini dijawab beragam oleh pengelola
media, pemerintah, organisasi internasional, dan khalayak. Sejumlah media tak
mengizinkan wartawannya pergi ke lapangan langsung selama pandemi. Sebagian
media lain membekali wartawannya dengan berbagai perangkat dan protokol
perlindungan diri. Pemerintah di sejumlah negara pun beragam sikapnya.
Pemerintah Indonesia menempatkan wartawan dan pekerja media sebagai garda
terdepan dalam penanggulangan penyebaran Covid-19, sehingga diprioritaskan
untuk mendapatkan vaksin anticovid. Namun, sesuai laporan
Press Emblem Campaign (PEC)-–organisasi berbasis di Swiss yang menangani hak
dan keselamatan pekerja media-–hingga 11 Mei lalu, tak kurang dari 1.302
pekerja media, sebagian besar wartawan dari 76 negara, meninggal akibat
terinfeksi Covid-19. Negara dengan jumlah kematian pekerja media terbanyak
ialah Brasil dengan 191 orang, India (173 orang), Peru (140 orang), Meksiko
(109 orang), dan Kolombia dengan 57 kematian wartawan. Dari Indonesia,
tercatat ada dua wartawan meninggal terinfeksi virus korona baru, meskipun
faktanya bisa saja lebih banyak daripada data yang disampaikan PEC. “Jurnalisme yang juga
menceritakan realitas, menuntut kemampuan untuk pergi ke tempat di mana tak
seorangpun pergi. Suatu gerak dan keinginan untuk pergi melihat sendiri.
Sebuah rasa ingin tahu, keterbukaan, dan gairah. Kita harus berterima kasih
atas keberanian dan komitmen dari begitu banyak pekerja profesional:
wartawan, pekerja film, editor, dan sutradara yang kerap bekerja dengan penuh
risiko. Banyak realitas yang terjadi di dunia, terlebih pada masa pandemi
semakin menguatkan ajakan pada dunia komunikasi sosial untuk “datang dan
melihat. Sungguh ada risiko,” tegas Paus Fransiskus. Keberanian jurnalisme
melawan dilema akan risiko kerjanya itu membuat publik mengetahui penderitaan
kaum minoritas, penindasan dan ketidakadilan atas orang miskin, perang yang
terlupakan, maupun pemiskinan atas kemanusiaan. Namun, pada saat yang sama,
terkabarkan pula bahwa masih ada harapan untuk kebersamaan dan kemanusiaan
yang lebih baik lagi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar