”Dan”
dan ”Juga” Sori Siregar ; Cerpenis |
KOMPAS, 4 Mei 2021
Belakangan ini saya kerap menemukan kalimat yang membuat
saya bertanya-tanya. Misalnya seperti ini: Ibu dan juga ayah pergi ke pasar.
Apakah kata juga diperlukan dalam kalimat itu? Tidakkah cukup dengan
mengatakan: ”Ibu dan ayah pergi ke pasar.” Menurut KBBI Edisi V, kata ”dan” adalah
penghubung satuan bahasa yang setara, termasuk tipe sama dan memiliki fungsi
tak berbeda. KBBI juga memberi contoh amat jelas: ”Ayah dan ibu, bibi dan
paman, serta para anak cucu dan kemenakan bersama-sama merayakan 50 tahun
perkawinan nenek mereka.” Seandainya kata ”juga” disertakan dalam
kalimat itu, inilah hasilnya: ”Ayah dan juga ibu, bibi dan juga paman, serta
para anak cucu dan juga kemenakan merayakan 50 tahun perkawinan nenek
mereka.” Kata ”juga” pada kalimat kedua ini rasanya
berlebihan, apalagi jika kita mengetahui kata ”juga” berarti ’selalu demikian
halnya (kadang-kadang untuk menekankan kata di depannya)’. Apakah dirasa belum cukup kalau kata ”juga” disingkirkan dulu? Apakah kita
harus memberi tekanan tiap kali menuliskan kata ”dan”? Mungkin ini terjadi
karena orang malas memilih kata apa
yang harus dipakai. Untuk amannya gunakan saja ”dan juga”. Berlebihan atau tak perlu penjelasan.
Dengan ada kata ”juga”, pembaca tahu kata dan disertai kata juga mesti
mendapat perhatian lebih dibandingkan frasa atau kalimat yang memakai kata
”dan” saja. Untuk mendapat perhatian lebih, kalimat atau frasa perlu dibuat
berlebihan. Masuk akal juga, ’kan’? Namun, jangan lupa, kata ”juga” bisa
menyesatkan. Misalnya: ”Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamasikan
kemerdekaan kita”. Jika dalam kalimat
ini disertakan kata ”juga” setelah kata dan konotasinya bisa berbeda. Dengan kalimat ”Bung Karno dan juga Bung
Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan kita”, bisa timbul penafsiran Bung
Hatta semula tak akan disebut namanya dalam Proklamasi. Dapat berarti Bung Karno membacakan Proklamasi dengan menyertakan
Bung Hatta, lo, bukan sendirian. Kalau ada yang ingin menafsirkan lain
silakan saja. Mungkin ini disebut ”gaya” berbahasa.
Karena ini gaya, pengikutnya selalu bertambah. Karena ini gaya, media cetak,
media elektronik, dan media sosial
ikut memopulerkannya. Jika diingatkan penggunaan kata ”juga”
sebaiknya tak dipakai setelah kata ”dan”, penulis yang suka bergaya
merasa kalangan yang mengingatkan ini
tak mengikuti perkembangan bahasa. Bahasa yang hidup ialah bahasa umum
dipakai warga. Padahal, kata sebaiknya merupakan anjuran, bukan keharusan. Barangkali Pak Liek Wilardjo atau teman
saya, Eko Endarmoko, bisa memberi penjelasan lebih baik sebagai rujukan.
Kalau mereka atau salah satu di antaranya berpendapat penambahan kata ”juga”
setelah kata ”dan” boleh-boleh saja, saya akan merujuk kepada mereka. Mengapa? Karena kalimat yang memakai kata
”dan” serta ”juga” membuat saya bertanya-tanya apakah itu berlebihan atau
tidak. Saya merasa bahasa kita harus dikawal. Kita bantu para pakar bahasa kita
yang membuat ”aturan main” agar kita tak menyimpang ke mana-mana. Bahasa
harus dijaga. Jika perlu, ada ”polisi bahasa” untuk melaksanakan tugas tersebut. Sudah sering kita memakai kata secara berlebihan
contohnya, misalnya kalau, agar supaya, tak peduli pada ejaan, dan dalam
menulis kalimat tak jarang kita menabrak rambu-rambu hukum DM dan masuk
seenaknya ke dalam hukum MD. Cukuplah sudah, jangan kita tambah lagi
pelanggaran ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar