Bipang
Ambawang, Sensitivitas Konteks, dan Distorsi Pesan Cyprianus Anto Saptowalyono ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 8 Mei 2021
Pidato Presiden Joko
Widodo saat mengajak masyarakat yang rindu kuliner khas daerah atau yang
biasanya mudik membawa oleh-oleh agar tidak ragu memesannya secara daring
menuai keriuhan di media sosial. Perhatian warganet terutama terarah pada
penyebutan salah satu menu dalam pidato tersebut, yakni bipang ambawang.
Manajemen komunikasi, terutama dalam melakukan pengecekan dan pengecekan
ulang materi sambutan yang hendak disampaikan, dinilai penting, terutama
menyangkut sensitivitas pesan di publik. Sebagai gambaran, sambutan
lengkap Presiden Joko Widodo yang menyebut soal bipang ambawang tersebut
dapat dilihat di akun Youtube Kementerian Perdagangan yang mengunggah
tayangan berjudul 05.05 Hari Bangga Buatan Indonesia. ”Produk lokal apa yang
digunakan Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semua hari ini? Tas, sepatu, jaket,
atau apa? Jaket dan sepatu yang saya pakai ini adalah hasil produk lokal dan
kualitasnya sangat baik. Karena itu, saya bangga buatan Indonesia dan saya
juga membelinya secara online,” kata Presiden saat mengawali sambutannya. Sambutan itu disampaikan
Presiden dalam rangka Hari Bangga Buatan Indonesia yang diresmikan pada Rabu
(5/5/2021), satu pekan menjelang Lebaran. Karena itulah, Presiden pun kembali
mengingatkan keputusan pemerintah melarang mudik Lebaran karena ingin menjaga
keselamatan masyarakat. Mantan Gubernur DKI
Jakarta itu juga menyampaikan, masyarakat yang merindukan kuliner khas
daerah, untuk sementara, bisa memesan secara daring. ”Untuk Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara yang
rindu kuliner khas daerah atau yang biasanya mudik membawa oleh-oleh, tidak
perlu ragu untuk memesannya secara online. Yang rindu makan gudeg jogja,
bandeng semarang, siomay bandung, empek-empek palembang, bipang ambawang dari
Kalimantan, dan lain-lainnya tinggal pesan. Dan, makanan kesukaan akan
diantar sampai ke rumah,” ujar Presiden. Atau, kalau ingin
mengirimkan oleh-oleh atau hadiah bagi keluarga yang jauh; pakaian, cendera
mata, dan berbagai jenis barang lainnya, tinggal memesan dan mengirimnya
secara online sehingga dapat diterima keluarga atau sahabat di mana pun mereka
berada. ”Jadi, tanpa mudik, kita
tetap bisa bersilaturahmi dan mempererat persaudaraan. Dan, ini juga bentuk
peran serta kita semuanya untuk menggerakkan perekonomian nasional. Bapak,
Ibu, dan Saudara-saudara sekalian, melalui semangat cinta produk lokal, saya
meresmikan Hari Bangga Buatan Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo. Presiden pun mengajak
masyarakat memakai pakaian dan produk lokal, seperti sepatu, tas, dan yang
lainnya, setiap Rabu sebagai wujud kebanggaan terhadap produk buatan Indonesia.
”Semoga Hari Bangga Buatan Indonesia akan membawa bangsa ini menjadi bangsa
yang semakin besar yang mencintai dan menghargai karya kreativitas dan
inovasi produk karya anak bangsa,” ujar Presiden. Kekayaan
kuliner Nusantara Juru Bicara Presiden Fadjroel
Rachman ketika dimintai penjelasan, Sabtu (8/5/2021) sore, terkait pidato
sambutan Presiden Joko Widodo yang menyebut soal bipang ambawang menuturkan
bahwa akan ada penjelasan dari Kementerian Perdagangan terkait hal tersebut. Dalam pernyataannya yang
disampaikan melalui akun Youtube Kementerian Perdagangan, Menteri Perdagangan
Muhammad Lutfi menuturkan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo tentang
bipang ambawang harus dilihat dalam konteks secara keseluruhan. ”Pernyataan
Bapak Presiden ada dalam video yang mengajak masyarakat Indonesia untuk
mencintai dan membeli produk lokal,” katanya. Lutfi menuturkan,
pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut ditujukan kepada seluruh masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya yang memiliki
kekayaan kuliner Nusantara dari berbagai daerah. Setiap makanan memiliki
kekhasan dan menjadi makanan favorit lokal. ”Jadi, sekali lagi,
kuliner khas daerah yang disebut Bapak Presiden dalam video tersebut adalah
untuk memromosikan kuliner Nusantara yang memang sangat beragam. Tentu
kuliner tersebut dikonsumsi, disukai, dan dicintai oleh berbagai kelompok
masyarakat yang juga beragam. Mari kita bangga dan promosikan kuliner
Nusantara yang beragam sehingga bisa menggerakkan ekonomi, terutama UMKM,” papar
Lutfi. Meski demikian, lanjut
Lutfi, Kementerian Perdagangan selaku penanggung jawab dari acara tersebut
sekali lagi memastikan tidak ada maksud apa pun dari pernyataan Presiden Joko
Widodo. ”Kami mohon maaf sebesar-besarnya jika terjadi kesalahpahaman karena
niat kami hanya ingin agar kita semua bangga terhadap produksi dalam negeri,
termasuk berbagai kuliner khas daerah dan menghargai keberagaman bangsa
kita,” katanya. Distorsi Pengajar Fakultas Dakwah
dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Gun Gun
Heryanto, ketika dihubungi menuturkan, ramainya tanggapan terkait pidato
Presiden Joko Widodo yang memasukkan bipang ambawang mengingatkan kembali
arti penting manajemen komunikasi, terutama dalam melakukan pengecekan dan pengecekan
ulang materi sambutan yang hendak disampaikan kepada publik. ”Hal ini terutama
menyangkut sensitivitas pesan tersebut di khalayak. Secara keseluruhan,
sebenarnya pesan tersebut berorientasi pada pesan mudik supaya kemudian
masyarakat tidak mudik. Dan, ada aspek emotional appeal yang dibangun di
situ, di mana sentuhan emosi itu dengan mengangkat kuliner-kuliner daerah,”
tutur Gun Gun. Apabila ditarik benang
merah dari pernyataan tersebut, lanjut Gun Gun, bisa dipahami bahwa Presiden
Jokowi ingin memberi peneguhan agar masyarakat di tahun ini tidak mudik.
Presiden sekaligus ingin memberi semacam pesan ringan soal kuliner khas
daerah. ”Cuma masalahnya itu, kan,
konteksnya adalah mudik Lebaran. Dan bipang (ambawang) itu, kan, babi
panggang. Jadi, di situ pesannya menjadi sangat distortif. Dengan demikian,
yang akan ramai bukan soal pesan tidak mudiknya. Pernyataan Presiden itu
seolah-olah tidak mengetahui (bipang ambawang tersebut) kuliner jenis apa
yang kemudian menjadi paradoks,” ujar Gun Gun. Menurut Gun Gun, masuknya
bipang ambawang dalam pidato tersebut mendistorsi benang merah pesan utama
soal larangan mudik. Hal ini terlihat dari kecenderungan di media sosial yang
justru ramai dengan tanggapan bernada sinis. Gun Gun mempertanyakan
mengapa tidak ada proses pengecekan dan pengecekan ulang di materi sambutan.
”(Hal ini) karena itu, kan, sifatnya video yang direkam dan pasti narasinya
disiapkan. Tampaknya sederhana, tetapi ini menunjukkan, untuk kesekian
kalinya, inner circle (lingkar dalam) Presiden dalam menyiapkan narasi
komunikasi itu buruk,” ujarnya. Pesan yang seharusnya
elegan, positif, dan sekaligus memberi peneguhan agar warga tidak mudik malah
menjadi negatif di media sosial. Hal ini, lanjut Gun Gun, mirip-mirip dengan
kejadian tahun lalu ketika terjadi polemik menyangkut istilah mudik dan
pulang kampung. Gun Gun menuturkan,
pernyataan Presiden Joko Widodo terkait pulang kampung itu disampaikan dalam
dialog yang sifatnya spontan. ”Dan, apa yang disampaikan itu juga polisemi,
multimakna. Namun, kalau (pernyataan terkait bipang ambawang) ini, kan,
direkam dan disiapkan. Jadi, saya agak menyesalkan saja soal manajemen
komunikasi menyangkut mana yang harus dinaikkan dan mana yang tidak,”
katanya. Apabila melihat gerak
tubuh, lanjut Gun Gun, Presiden Joko Widodo terlihat seperti membaca teks di
depannya saat menyampaikan pidato yang berisi soal bipang ambawang tersebut.
Ada perbedaan gerak tubuh antara seseorang yang menyampaikan sesuatu secara
spontan dan membaca manuskrip atau teks di depannya. ”Secara komunikasi
politik, menurut saya, yang disayangkan adalah ini kan pesan yang seharusnya
simpatik, tetapi kemudian justru menjadi blunder. Kalau dibaca dalam konteks
yang lebih serius, mengapa inner circle Presiden sering sekali membikin hal
kayak gini. Hal ini menunjukkan komunikasi publik di sekitar Istana itu udah
berkali-kali dikritik begitu lagi. Pengulangan yang berkali-kali, menurut
saya, ada something wrong (sesuatu yang salah),” ujar Gun Gun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar