Wajah
Baru Pendidikan Pertanian Bagus Herwibawa ; Dosen Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro |
KOMPAS,
03 April
2021
Miris di negeri yang katanya agraris. Tak menampik
fakta bahwa sedikit saja pemuda yang bercita-cita menjadi petani. Sering
kali, citra petani masih diidentikkan dengan pekerjaan mencangkul di sawah,
melelahkan, dan menguras keringat di bawah panas terik matahari. Anggapan pekerjaan petani itu kotor,
miskin, tidak jelas pendapatannya mungkin masih melekat di benak khalayak
ramai. Bahkan, penurunan jumlah petani dalam konteks pembangunan dipandang
sebagai kemajuan. Sebuah perspektif global yang menganggap hanya sektor
industri yang bisa memajukan bangsa. Sektor industri memang melaju sangat cepat,
sangat jauh melebihi sektor pertanian. Bahkan, kesenjangan terlihat begitu
besar, antara kesejahteraan tenaga kerja industri dan petani. Keadaan ini
menjadi alasan utama sektor pertanian tidak lagi menarik bagi angkatan kerja,
terutama kelompok generasi muda. Ditambah lagi isu perubahan iklim, dan
kualitas serta luas lahan pertanian yang kian menyusut, hal itu tentu
memengaruhi pilihan masa depan petani. Saat ini sudah terlihat bahwa generasi
tua mulai enggan bertani, begitu pula generasi muda yang kehilangan gairah
meneruskan usaha pertanian warisan orangtuanya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
melaporkan, hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Hanya
sekitar 4 persen pemuda berusia 15-35 tahun yang berminat menjadi petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat, sekitar 91 persen petani yang
ada saat ini sudah berusia di atas 40 tahun. Sektor pertanian memang sudah sejak lama
memiliki citra yang suram. Selain tidak menjanjikan dari segi pendapatan,
status sosial bekerja di bidang pertanian masih dipandang rendah. Lantas ke
mana saja sarjana pertanian selama ini? Mengapa tidak berkontribusi untuk
membuat wajah pertanian di Indonesia menjadi lebih modern? Tantangan di sektor pertanian memang tidak
sederhana. Selain permasalahan budidaya, cuaca, lahan, dan keadilan agraria,
persoalan disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen juga menjadi
kendala. Jangankan mendapat untung, bahkan tak bisa dimungkiri bahwa tidak
sedikit petani yang tidak balik modal. Berkaca dari kompleksitas masalah
pertanian, sangat logis apabila sarjana pertanian lebih memilih untuk bekerja
di sektor lain yang lebih menjanjikan. Banyaknya sarjana pertanian yang
bekerja di bidang lain non-pertanian dapat juga diartikan bahwa kampus
pertanian belum mampu menjanjikan masa depan yang cerah bagi alumninya. Kampus yang lamban beradaptasi dengan
perubahan zaman, dan negara yang belum optimal mendorong investasi di sektor
pertanian, merupakan problem dasar yang harus segera dicarikan solusinya.
Untuk itu, diperlukan integrasi antara calon petani muda, kampus, dan negara
dalam merekonstruksi wajah baru pendidikan pertanian. Negara harus hadir secara nyata mengatasi
masalah ini. Ingat, pertahanan negara bukan hanya maju perang dengan
memanggul senjata, melainkan juga soal ketahanan pangan. Negara yang semakin
bergantung pada negara lain karena pangan, semakin lemah pertahanan negara
tersebut. Di sisi lain, kampus sangat diharapkan
menjadi lokomotif utama perubahan paradigma pendidikan pertanian. Sekaligus
membuktikan bahwa pertanian merupakan sektor yang menjanjikan. Kampus harus
peka, dan sudah seharusnya mengembangkan kurikulum pendidikan yang
beradaptasi dengan kemajuan zaman. Tiga kunci wajah baru pendidikan pertanian
adalah (1) manajemen mahadata, (2) otomatisasi, dan (3) kecerdasan buatan.
Saat ini, data biologis, lingkungan, dan sosial yang dihasilkan kampus
pertanian sangat besar, setidaknya dari hasil penelitian yang terus ada
setiap tahun. Namun, sebagian besar data belum terintegrasi dan terkelola
dengan baik. Di sisi lain, kecanggihan mekatronika dan
ilmu komputer telah menjadi keniscayaan yang menggeser budaya. Orang sudah
terbiasa menjadikan semua urusan menjadi lebih mudah. Semuanya tinggal klik.
Sudah sepatutnya inovasi pertanian yang lahir saat ini harus berpedoman pada
cara-cara yang sesuai zamannya. Bagi generasi milenial, pertanian sudah
semestinya tidak melulu soal mengangkat cangkul di sawah. Inovasi mulai dari
produksi hingga pascapanen, termasuk branding, packaging, sampai pemasaran,
masih terbuka lebar. Dari sisi produksi, misalnya, teknologi hidroponik,
aeroponik, akuaponik, ataupun pertanian presisi yang tentu saja berbasis
mahadata, otomatisasi, dan kecerdasan buatan. Sebagaimana aplikasi Petani, DesaApps, dan
Rektanigama yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada (UGM); aplikasi
DigiTani, WebGIS Ecosystem, VertixPlant yang dikembangkan IPB University;
juga drone pertanian yang sedang marak dikembangkan antara lain oleh
Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sudah seharusnya penelitian pertanian
modern yang sedang dikembangkan di kampus pertanian saat ini tidak hanya
berhenti pada laporan penelitian. Sudah sepantasnya hal itu juga
diinternalisasikan dalam kurikulum pendidikan pertanian untuk menyesuaikan
dengan perkembangan gaya hidup anak muda dewasa kini. Persepsi seperti inilah yang harus
direkonstruksi agar pendidikan pertanian memiliki citra yang baru. Pendidikan
yang mampu menghasilkan petani dengan kesan profesi yang sukses, kaya, dan
menggenggam masa depan. Sehingga semua sarjana pertanian akan berlomba-lomba
untuk menjadi petani modern. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar