Utang
BUMN A Prasetyantoko ; Rektor Unika Atma
Jaya |
KOMPAS, 27 April 2021
Dalam situasi buruk, BUMN berfungsi sebagai
penyelamat; seperti pada krisis 1998, asetnya dijual (privatisasi) guna
menutup utang pemerintah. Dalam situasi baik, BUMN menjadi bandul akselerasi;
seperti dalam pembangunan infrastruktur belakangan ini. Pendek kata, BUMN
berada di garda depan dalam siklus perekonomian; ketika situasi baik
diuntungkan dan saat buruk terkorbankan. Selama ini, BUMN berada di pusaran
kebijakan pro-siklus pemerintah sehingga diperlukan arah baru pengelolaan
BUMN di masa depan. Saat ini utang BUMN, khususnya yang
bergerak di sektor konstruksi, menjadi sorotan. Kementerian Keuangan
menunjukkan rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio/DER) mulai
mengkhawatirkan. PT Adhi Karya (Persero) Tbk memiliki rasio utang terhadap
modal sebesar 5,76 kali, PT Waskita Karya (Persero) Tbk 3,42 kali, PT PP
Properti (Persero) Tbk 2,9 kali, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk 2,81
kali, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 2,7 kali. Perusahaan sehat penuh
kehati-hatian memiliki utang tak lebih besar dari modalnya atau DER di bawah
1 kali. Dalam situasi baik, banyak pihak (swasta)
iri dengan posisi BUMN karya karena diistimewakan dalam proyek infrastruktur.
Selain proyeknya jelas, sumber dananya juga pasti karena berasal dari APBN.
Meski implementasi pembayarannya sering dikeluhkan. Akibatnya, sejak 2016
BUMN karya berkembang pesat dan bahkan mengarah konglomerasi karena unit
usahanya terus bertambah merambah aneka bidang usaha di sektor berbeda. Akar
masalah Jalan keluar hanya bisa dirumuskan dengan
memahami pokok pangkal persoalannya. Soal BUMN karya ini, dari awal kita
paham peranannya sebagai pelaksana percepatan realisasi pembangunan
infrastruktur pemerintah. Bisnis mereka merupakan bagian dari misi
pemerintah. Dan karena itu mereka mendapat banyak hak istimewa.
Pertanyaannya, seberapa besar? Dan bagaimana keseimbangan ekosistem industri
konstruksi harus dibangun? Pandemi membuat semua sektor terhenti, tak
terkecuali sektor konstruksi. Pada triwulan keempat tahun lalu, sektor ini
terkontraksi atau tumbuh negatif 5,67 persen atau lebih buruk dari triwulan
sebelumnya. Selain terkontraksi cukup dalam, sektor ini juga belum memasuki
fase pemulihan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada triwulan
IV-2019 sektor ini tumbuh cukup baik, yakni sebesar 5,79 persen. Krisis
akibat pandemi memang mengakselerasi pemburukan kualitas neraca perusahaan di
hampir semua sektor, terutama BUMN. Sejak 2016 posisi BUMN memang kian penting
dalam perekonomian kita. Sebagai katalis pembangunan infrastruktur
pemerintah, peluang usahanya terus meningkat, begitu pula beban usahanya.
Data Bank Indonesia menunjukkan, utang BUMN selain lembaga keuangan naik dari
Rp 581,33 triliun pada triwulan III-2016 menjadi Rp 1.140,66 triliun pada
triwulan III-2020. Setiap tahun terjadi peningkatan secara konsisten. Selama
empat tahun naik lebih dari dua kali lipat. Peningkatan utang BUMN sejalan dengan arah
strategis pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Sebagai
perusahaan publik, tentu kepercayaan masyarakat meningkat dengan berbagai
penugasan melalui banyak proyek. Karena itu, harga sahamnya terus meningkat.
Persoalannya, saat mengalami stagnasi seperti sekarang ini, kepercayaan
masyarakat (harga) cenderung turun. Lalu apa jalan keluarnya? Sebuah unit usaha
bisnis, BUMN bisa melakukan aksi korporasi guna mengurangi beban utang serta
menambah modal. PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dalam Rapat Umum Pemegang
Saham Terbatas (18/4/2021) diputuskan, melakukan divestasi atau penjualan
kepemilikan pada 9 ruas jalan tol. Tujuannya menutup kerugian tahun buku 2020
sebesar Rp 7,37 triliun. Dalam situasi seperti ini, penjualan aset merupakan
”pil pahit” karena harganya tidak optimal. Prospek jalan tol masih sangat berat. Data
BPS menunjukkan sektor angkutan darat pada triwulan IV-2020 masih
terkontraksi 3,5 persen. Padahal, pada triwulan IV-2019 mengalami pertumbuhan
tinggi, yakni mencapai 9,98 persen. Nasib sektor angkutan darat jauh lebih
baik dari sektor transportasi udara yang pada triwulan IV-2020 masih sangat
terpuruk dengan pertumbuhan minus 53,81 persen atau angkutan rel yang
terkontraksi sebesar 45,56 persen pada periode yang sama. Implikasinya,
prospek proyek infrastruktur terkait sektor angkutan udara dan rel diliputi
ketidakpastian. Berdirinya Lembaga Pengelola Investasi
(LPI) sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja juga menawarkan solusi. BUMN (karya) bisa melakukan divestasi atau
restruktusisasi dengan cara menjual aset lewat LPI ini. Kementerian BUMN
sudah merilis Peraturan Menteri Nomor PER-03/MBU/03/2021 mengenai Tata Cara
Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN. Selain divestasi, aksi korporasi juga bisa
dilakukan melalui restrukturisasi agar lebih fokus pada bisnis utamanya. Anak
perusahaan yang sudah begitu banyak bisa difokuskan dengan cara dilikuidasi,
dilakukan penggabungan dan akuisisi atau privatisasi. Dari pengalaman ini, tampaknya ke depan
perlu ada perubahan strategi penugasan pembangunan (infrastruktur) pada BUMN
(karya). Perlu ada distribusi beban dan kesempatan agar lebih seimbang dengan
melibatkan pihak swasta. Jangan sampai, niat pemerintah mendorong pembangunan
infrastruktur justru memunculkan oligopoli sektor konstruksi yang dalam
situasi sulit seperti sekarang ini berpotensi membebani fiskal pemerintah. Merujuk laporan PWC soal perusahaan milik
negara, diperlukan pengelolaan dengan prinsip 4 C atau clarity, capacity,
capability, dan commitment to integrity. Terlepas dari aksi korporasi yang
akan diambil sebagai upaya menyehatkan BUMN (karya), yang jelas tata
kelolanya harus dibereskan. Jika tak membereskan akar masalahnya, BUMN lebih
akan menjadi beban ketimbang aset. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar