Tantangan
Pengembalian Aset Luar Negeri Perkara BLBI Alvin Nicola ; Peneliti Transparency
International Indonesia |
KOMPAS, 29 April 2021
Keraguan publik terhadap kemampuan Satgas Penanganan
Hak Tagih Negara dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI dalam
menagih aset Rp 110 triliun yang berada di tangan 48 obligor, terutama
aset-aset yang telah berpindah tangan ke luar negeri, sesungguhnya sangat
wajar. Pesimisme ini mengingat tim yang dibentuk pemerintah awal April itu
tak dilengkapi dengan senjata pengembalian aset yang kuat dan efektif. Terlebih hingga saat ini pemerintah lebih
banyak mengumpulkan cerita kegagalan dalam perampasan aset negara yang berada
di yurisdiksi asing. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat
hanya berhasil satu kali mengembalikan aset dari luar negeri, yaitu dalam
kasus suap eks Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini sebesar 200.000 dollar
Singapura. Dalam kasus lain pun, perbedaan antara nilai aset yang dilarikan
dan aset yang telah disita sangat mencolok. Penyebab
kegagalan Hambatan regulasi dan minimnya kapasitas
penegak hukum sungguh terlihat. Kegagalan ini, misalnya, tecermin di dalam
kasus terpidana kredit macet Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara,
Eduardus Cornelis William Neloe. Pemerintah pada awalnya telah berhasil
meminta Swiss membekukan aset Neloe sebesar 5,2 juta dollar AS di bank Swiss
sebelum akhirnya kembali dibuka di Deutsche Bank. Proses pengembalian aset terdakwa kasus
pembobolan uang tunai BNI 46 senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa,
mengalami nasib serupa. Polri dan Kejaksaan Agung hanya berhasil menyita uang
Rp 134 miliar milik Maria. Fakta-fakta ini, sayangnya, tak direspons
pemerintah dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
(RUU PA). Padahal, kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang
menentukan berhasil tidaknya suatu upaya pengembalian aset, terutama yang di
luar negeri. Pemerintah justru terkesan sangat naif
karena hanya mengandalkan itikad baik antarnegara melalui skema bantuan hukum
timbal balik atau hubungan antaragen. Padahal, dengan pengesahan RUU PA,
penegak hukum akan tak lagi bergantung pada kehadiran pelaku korupsi di
Indonesia. Aset para buron yang berasal dari korupsi pun tetap akan dapat
disita di pengadilan. Alasan lebih mendesak, yaitu pengaturan
kerja sama antarnegara dalam pengembalian aset pada Pasal 53 Konvensi
Antikorupsi (UNCAC) yang mengatur penggunaan instrumen gugatan perdata, juga
terbatas pada pembekuan dan penyitaan. Adapun pengembalian aset tetap butuh
payung hukum nasional yang kuat. Ketiadaan regulasi perampasan aset ini
hanya akan menambah kerumitan kerja-kerja Satgas BLBI. Hal ini karena,
pertama, ditempuhnya langkah gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara pun
tak mengurangi kesulitan untuk membuktikan aset para koruptor yang kerap kali
telah berpindah tangan, bahkan berasimilasi melalui pencucian uang. Terlebih subyek pengambilalihan di skema
gugat perdata adalah asetnya sendiri (in rem) sehingga penegak hukum harus
menjelaskan status kepemilikan aset yang akan dirampas. Pemerintah hingga saat ini juga enggan
memaksimalkan prinsip litigasi-multiyurisdiksi. Padahal, pengembalian aset
yang diatur di dalam UNCAC tak dapat dilepaskan dari prinsip ini. Selama ini
pemerintah sedikit menggunakan pendekatan ini karena secara faktual memang
tak banyak negara yang memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, selain
juga butuh biaya mahal. Dalam hal ini, akan sangat sulit bagi
satgas untuk menilai, membuktikan, dan menjaga nilai aset yang berada di luar
negeri agar tidak mengalami penurunan. Satgas perlu segera menindaklanjuti
penyidikan KPK selama ini dengan data mengenai pemeliharaan aset, keuntungan,
serta kerugiannya, lalu menghitung aset yang tidak memerlukan banyak biaya
untuk menjadi prioritas utama. Kedua, sesuai ketentuan-ketentuan UNCAC,
proses pengembalian aset dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme, seperti
kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal balik, dan penelusuran
aset melalui perbankan negara lain. Sayangnya, skema-skema di atas kerap
terbentur akibat perbedaan sistem hukum antarnegara. Contoh, otoritas Hong Kong pernah menolak
upaya pengembalian aset Bank Century dengan terpidana Robert Tantular senilai
sekitar Rp 6 triliun pada 2011. Ini karena otoritas Hong Kong menganggap
persidangan in absentia yang digelar di Indonesia tak memenuhi kaidah due
process of law, sementara UU Tipikor mengakomodasi persidangan itu. Hambatan ini sesungguhnya bisa direduksi
melalui prosedur mutual assistance request (MAR) sesuai UU No 1/2006 tentang
Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Ini memungkinkan terjadi proses
permohonan bantuan hukum dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada
negara yang membantu, terutama negara yang belum memiliki perjanjian
ekstradisi. Adanya perjanjian hukum timbal balik ini
sangat penting untuk melampaui keterbatasan hukum antaryurisdiksi. Memang
benar satgas dapat menempuh kerja sama dengan kepolisian otoritas negara
setempat, baik formal maupun tidak. Namun, proses pengembalian aset tetap
harus melalui permohonan formal bantuan hukum timbal balik guna menghindari
perbenturan dengan aturan hukum acara negara setempat. Ketiga, pemerintah kerap tak efektif
menggunakan perjanjian MLA yang ada meskipun telah menjadi negara pihak dalam
lima perjanjian multilateral yang mengatur ketentuan terkait pengembalian
aset dan telah meratifikasi enam perjanjian bilateral di bidang bantuan hukum
timbal balik. Pengesahan UU MLA dengan Swiss pada 2020
merupakan kesepakatan ke-10 yang ditandatangani pemerintah menyusul
kesepakatan dengan negara-negara anggota ASEAN, Australia, Hong Kong, China,
Korea Selatan, India, Vietnam, dan Uni Emirat Arab. Sayangnya, keberadaan perjanjian-perjanjian
ini tak signifikan ketika penegak hukum domestik gagal menggunakannya secara
efektif. Misalnya, otoritas Inggris pernah membekukan rekening bank berisi
40,6 juta dollar AS yang dimiliki perusahaan investasi Tommy Soeharto, Garnet
Investments, dengan alasan kecurigaan dana itu berasal dari korupsi. Meski
demikian, penegak hukum Indonesia tidak pernah mendakwa Tommy melakukan
korupsi sehingga pada akhirnya kembali dicabut pada 2011. Opsi
pemulihan aset Dengan demikian, terlepas dari segala
kontroversi dalam pembentukan satgas ini, perlu dibuka opsi pemulihan aset
BLBI yang berada di yurisdiksi asing seluas-luasnya dan jangan hanya
bergantung pada kerja sama internasional. Strategi pengembalian aset melalui
penyitaan tanpa pemidanaan perlu dijajaki, terutama terhadap barang-barang
yang telah dikuasai pihak ketiga di luar negeri, tetapi perolehan asetnya
diduga dari hasil perkara BLBI. Pada saat bersamaan, dalam mencapai
penyelesaian sengketa ini, pemerintah dan penegak hukum tetap perlu
mengutamakan asas premium remedium karena kasus ini telah berdampak besar ke
masyarakat luas. Selain itu, hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) pada 2000 menemukan ada 95,4 persen penyimpangan, kelemahan
sistem, dan kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan penggunaan BLBI yang
merugikan negara juga tak boleh diabaikan. Temuan BPK ini harus dijadikan
pertimbangan ulang penegak hukum dalam menganalisis ulang potensi pelanggaran
pidana dan tidak terjebak urusan perdata semata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar