Seni
Tari di Masa Pandemi Purnawan Andra ; Pamong Budaya
Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan
Kemendikbud |
KOMPAS, 29 April 2021
Peringatan Hari Tari Dunia 29 April
menguatkan alasan untuk merenungkan lagi kedudukan, fungsi, dan makna tari
bagi manusia. Terlebih di masa pandemi ini, tari yang memiliki karakteristik
penampilan di ruang pentas dengan kehadiran tubuh penonton bertabrakan dengan
berbagai aturan pembatasan sosial yang memengaruhi formasi kultural ekosistem
seni pertunjukannya. Tubuh tari (penyaji dan penonton) yang
biasanya beririsan dan berkelindan dalam rasa dan ekspresi di panggung,
gedung-gedung pertunjukan, atau ruang terbuka lainnya kini mutlak dijauhkan.
Pandemi membuat format pertunjukan berganti dari luring (offline) menjadi
daring (online). Di satu sisi, berkesenian adalah proses
simultan internal dan eksternal seseorang, yang berurusan dengan sisi privat,
refleksi, dan ekspresi diri. Di sisi lain, seni adalah intensionalitas diri
dengan orang lain, keterlibatannya dengan dunia. Terlebih tari, yang dalam
pengertian paling sederhananya, merupakan modus ekspresi manusia yang paling
awal. Maka, berbagai cara dilakukan orang agar
tetap berekspresi. Mereka menari menghibur diri melalui berbagai platform
media sosial, seperti Zoom, Tiktok, Instagram Live, atau Youtube. Medium
virtual menjadi cara seni tari beradaptasi dengan pandemi. Platform digital
menjadi alternatif ruang untuk mengekspresikan gagasan dan imajinasi
artistik. Tubuh Hal ini menjadi upaya tubuh untuk merayakan
kebebasan dari represi yang dialami di masa pandemi. Menari dengan sadar,
dengan membebaskan diri dan menghadirkannya dalam ruang virtual, adalah upaya
menjadi otentik sekaligus cara berinteraksi dengan publik. Dengannya menari
adalah sebuah pilihan eksistensial. Tubuh di masa pandemi, seturut Foucault,
adalah tubuh yang menjadi kosong, yang patuh pada berbagai macam aturan,
paksaan, pembatasan sehingga tidak bisa menikmati hidup. Sementara jika
berefleksi pada Simone de Beauvoir, sesungguhnya dengan bergerak, tari
menjadi tubuh yang menjadi (becoming), tubuh yang ingin menerobos
batasan-batasannya. Dan dalam peristiwa tari, merunut
Merleau-Ponty, bagaimana tubuh menjangkau lainnya sesungguhnya adalah
pengalaman yang dibagikan, bukan pengalaman yang introvert, sendiri, tetapi
pengalaman yang menghadirkan (dan atau bersama) orang lain (Saras Dewi,
2020). Kehadiran tari di ruang publik daring di
masa pandemi ini merupakan suatu kerinduan untuk menghayati sesuatu secara
bersama. Dengannya tari adalah wujud sebuah relasi keterhubungan, sebuah
ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, antara konstruksi
sosial dan logika kultural. Memang tidak semua aspek tari berhasil
dipindahkan ke ruang digital. Spontanitas, interaksi, dan kedekatan yang
menyusun atmosfer pertunjukan seni tari tidak mudah dialihkan rasa dan
jiwanya menjadi sinyal peranti elektromagnetik. Sifat pertunjukan tereduksi
sehingga tidak dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh penonton. Meski belum optimal menghadirkan pengalaman
estetis bagi seniman maupun apresiannya, ruang maya menjadi pilihan wahana
yang terbuka dan paling memungkinkan bagi pengembangan ide dan gagasan
kreatif baru untuk menjaga ekosistem tari tetap berlangsung dan hidup. Maka, tari perlu menjelajah lebih jauh
pemanfaatan arena virtual untuk menemukan artikulasi artistik baru dan sesuai
dengan platform yang ada sebagai tubuh digital: tubuh yang merespons dan
memanfaatkan teknologi sebagai bagian artikulasi dan kehadirannya sebagai
ruang pewacanaan dan pemaknaan tubuh tari sebagai bagian dunia digital. Adaptasi Persoalannya kini bukannya masalah
peralihan moda atau pemindahan bentuk wujud seni lapangan, panggung, ataupun
galeri ke dalam media virtual, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan
seni tari dalam beradaptasi menghadapi kenyataan dan permasalahan zaman. Artinya, seturut Damar Tri Afrianto (2021),
bukan aspek digital dan virtualitas yang mengatur hasil ekspresi seni, tetapi
karya seni itu sendiri yang mempunyai kemampuan yang bersifat adaptif,
lentur, terbuka, dan luwes dalam bentuk perwujudan artistiknya. Dengan
demikian, digitalisasi dan virtualitas bukan ditunjuk sebagai wahana atau
medium karya seni, tetapi menjadi ”karya seni” itu sendiri. Persoalan ruang dan medium memang menjadi
permasalahan penting dalam proses komunikasi seni, bahkan sejak zaman lampau.
Ruang dan medium menjadi bukti proses kreativitas yang berlangsung dalam
karya seni. Dan kini, persoalan ini bukan satu-satunya yang mampu melahirkan
pengalaman estetik, tetapi membuka pemahaman dan konsepsi baru bagi berbagai
bentuk ekspresi seni serta mendukung lahirnya sensasi dan sublimitas yang
lain, yang baru. Untuk itu, kita membutuhkan imajinasi budaya
untuk menumbuhkan daya adaptasi dan kreasi ekspresi dan moda yang dibutuhkan
dalam berekspresi, dalam banyak ruang virtual yang menjadi moda interaksi
antarpelaku tari melalui kreasi konten karya. Dengannya kehadiran tari bisa dibaca bukan
hanya sebagai dokumentasi sajian dan penyebarluasan informasi tari, tetapi
hadir dalam berbagai konteks dengan membuka kemungkinan yang lebih luas dalam
sebuah kerja dialog peradaban yang lebih terbuka dan kontekstual. Pandemi ini memberi ruang dan waktu bagi
kita untuk melakukan hibernasi dengan memberi ruang pembacaan yang lebih
kritikal untuk menafsir dan menafsir ulang secara kritis, mencipta dan
mencipta ulang berbagai pengertian mengenai tubuh, identitas, tradisi,
modernitas, dan sejarah tari itu sendiri. Dengannya dapat ditunjukkan dampak positif
tari bagi masyarakat sebagai praktik seni yang memanfaatkan dan mengembangkan
kekayaan budaya lokal dan nilai lama menjadi lebih adaptif terhadap situasi
dan kondisi, mampu mendorong penemuan ekspresi dan artikulasi artistik yang
adaptif terhadap laju zaman. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar