Puasa
dan Zakat dalam Kelompok Rentan Ahmad Nashih Luthfi ; Dosen
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Pengajar Pesantren Agraria FNKSDA |
KOMPAS, 20 April 2021
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
keadilan sosial, anti-monopoli, dan kemubaziran adalah visi dalam ibadah
puasa dan zakat. Allah mewajibkan kita menahan makan dan minum dalam arti
sebenarnya ataupun simbolik. Tubuh pribadi perlu dipulihkan, diberi hak
rehatnya dan diseimbangkan jenis asupannya: ruang kosong, oksigen, darah,
nutrisi, dan hasrat. ”Over-consumption” Jika kita melihat secara global sejarah
manusia, kelangkaan pangan dan kelaparan terjadi karena kekeringan. Sebagai
contoh Mesir dan India kehilangan 5-10% populasinya pada abad pertengahan.
Kematian massal di beberapa negara di Eropa pada akhir abad ke-17: Perancis
kehilangan 15% populasi, Skotlandia sampai 20%, dan yang terparah adalah
Finlandia dengan separuh penduduk mati pada 1696. Kelaparan massal masih terjadi kini, bukan
karena bencana alam yang menerpa dunia namun karena politik manusia.
Keserakahan dan monopoli manusia terhadap manusia yang lain, dan negara yang
salah urus dan abai. Sebaliknya, kematian juga bukan karena kekurangan asupan
pangan, melainkan karena keberlimpahan konsumsi (Harari 2018 [2015]). Jumlah penderita diabetes dunia (konsumsi
gula dan obesitas) naik dari 108 juta orang pada 1980 menjadi 422 juta orang
pada 2014. Diabetes adalah penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung,
stroke, dan amputasi anggota tubuh (WHO, fact diabetes 2021). Di Amerika 1,5
juta kematian tiap tahun karena diabetes. Kini gula lebih berbahaya daripada
mesiu. Obesitas membunuh tiga kali dari
malanutrisi (Adams 2012). Tren konsumsi berlebih naik di negara berpendapatan
menengah dan tinggi. Angka penderita diabetes merangkak di negara berpendapat
rendah sebab keterbatasan pilihan sumber pangan di luar ber-karbohidrat/gula
tinggi. Bagaimana peran puasa dan zakat di era gaya hidup hedonistik semacam
ini? Adil Makanan dan minuman adalah simbol dari
tingkatan primordial konsumsi manusia. Pengaturan yang seimbang dan adil
terhadapnya melalui ibadah puasa dan zakat mengarahkan agar terbangun tubuh
sosial yang sehat, adil, dan lestari. Lazim sekali terjadi orang menahan
hasrat dengan berpuasa untuk ditumpuk dan dilampiaskan pada saat berbuka. Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan
pengingat dari Allah agar kita terus mengurangi konsumsi tubuh pribadi dan
tubuh sosial yang terlalu banyak mengambil dari alam. Bahkan mengambil banyak
secara eksploitatif dari sesama manusia dalam suatu tatanan yang melulu
menghamba pada kapital. Memonopoli pangan dan sumber daya lain
adalah bentuk kejahatan. Ajaran Islam melarang itu. ”Barangsiapa yang
menimbun barang, ia berdosa” (HR Muslim). Derajat ketakwaan digapai melalui perilaku
adil (QS. 5: 8). Berpuasa adalah menumbuhkan sikap adil pada diri dan sesama,
dan dengan itulah derajat ketakwaan tergapai (QS. 2: 183). Eksternalisasi
puasa adalah sikap peduli pada kepapaan orang lain dan kerentaan alam,
sedangkan internalisasinya adalah rasa tanggung jawab dan kebersihan diri. Jika keadilan adalah raison d’etre dari
ketakwaan atau keagamaan itu sendiri, berpuasa adalah jalur tempuh yang
sunyi. Ada paralelitas antara puasa, low consumption, sikap adil, dan derajat
ketakwaan dalam perjumpaan dengan-Nya. Kesucian
ganda Pada penghabis Ramadhan kita diwajibkan
mengeluarkan zakat-fitrah. Jika ditilik dari akar katanya, zakaat dan fithrah
memiliki makna yang sama: suci. Sementara futhur atau ifthar yang diartikan
sebagai berbuka, juga seakar kata dengan fithrah, suci. Kita bisa membangun pemahaman bahwa untuk
menyucikan diri, seseorang harus menempuh jalan pengekangan atas kerakusan
pangannya, dan sebaliknya memberi bahan pangan sekaligus membuka akses atas
aktivitas produksi pangan kepada orang lain. Inilah cita-cita transformatif
di dalam ajaran Islam. Meminjam pertanyaan ekonomi-politik sumber
daya (Bernstein 2010), keadilan pangan yang diajarkan dalam puasa dan zakat tecermin
dari siapa memiliki apa; bukan ketimpangan. Keadilan diwujudkan dalam siapa
melakukan apa; bukan eksploitasi. Keadilan terlihat dari siapa mendapatkan
apa; bukan pemerasan. Keadilan tampak dari perilaku seseorang membelanjakan
apa yang diperolehnya; bukan kerakusan. Tidak bersikap adil terhadap diri dan hanya
mementingkan bilangan rakaatnya sembari menafikan realitas kepapaan
lebih-lebih menghardiknya dari ruang kognisi dan kebijakan, adalah suatu
”pembohongan terhadap agama” (QS 107). Tuhan pantas murka. Masyarakat
prekariat Para muzaki dan para mustahik adalah
kategori yang sebetulnya secara sosial-ekonomi dikenali oleh masyarakat,
tetapi seringkali luput dari amatan
administrasi. Jika secara obyektif pendasarannya adalah pada pangan (sebagai
ukuran primordial) dan sarana produksinya, maka siapa mereka adalah bersifat
dinamis. Perlu ijtihad yang kontekstual untuk menentukan siapa mereka itu
para mustahik di era neoliberal yang banyak melahirkan kaum terpinggirkan. Sebagai contoh di masa pandemi setahun
terakhir ini. Para buruh pabrik di perkotaan yang daerahnya terkena kebijakan
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menghadapi kondisi yang rentan.
Mereka adalah kaum prekariat (rentan). Sepi pendapatan, kosong tabungan,
rawan kelaparan. Mereka dilarang bekerja, pabrik ditutup,
tetapi di sisi lain tidak mendapatkan bantuan langsung tunai seperti warga
lainnya. Mereka dianggap bukan warga tempatan. Kebijakan bantuan didasarkan
pada keberadaan kartu tanda penduduk, bukan pada sifat kerentanan. Mereka
juga sulit mengakses bantuan dan fasilitas kesehatan, termasuk vaksinasi
(swasta) yang kabarnya akan dibebankan oleh perusahaan dari potongan gaji
mereka. Dan berbagai kerentanan lainnya. Kaum prekariat itu menurut Guy Standing
(2011) tidak memiliki bayangan masa depan, sebagaimana masa depan apa yang
mereka kerjakan sekarang.Mereka mengalami kondisi bahaya, anomi, resah, dan
alienasi. Bagaimana fikih Islam mengidentifikasi
penggolongan-penggolongan sosial di era neoliberal saat ini? Dapatkah mereka
disebut sebagai ibnu sabil, footloose labor sebagaimana dalam era kolonial,
satu dari sekian golongan mustahik? Apa upaya negara dan masyarakat Islam
(ormas-ormas, masjid-masjid, lembaga finansial, dll.) untuk memberi
pertolongan manjur (al maa’uun) agar mereka tidak kolaps? Mereka dan
segolongannya adalah kelompok rentan. Bertahan hidup (survive) saja susah
apalagi menapaki mobilitas sosial. Tentu saja bukan solusi karitatif yang
sementara, namun suatu sistem yang melindungi dan memberi kepastian masa depan
mereka. Kondisi kerentanan mereka adalah akibat struktural ekonomi politik
neoliberal, sehingga pemulihannya perlu dilakukan secara struktural pula. Kita perlu menyucikan diri dan ruang sosial
sekaligus menafsirkan kembali ajaran agama secara kontekstual agar ia tidak
kehilangan elan vitalnya menghadapi sistem dunia yang menuju katastropis.
Dibutuhkan sikap keagamaan yang inklusif pada sains dan turut kreatif
membangun sistem dunia yang melindungi kelompok dhuafa. Puasa dan zakat
menjadi momentum kita bersama. ● |
Terima kasih seduah memuat tulisan tsb di sini
BalasHapus