Perkuat
Inovasi Pendeteksi Tsunami Indonesia Muchamad Zaid Wahyudi ; Wartawan
Kompas |
KOMPAS, 21 April 2021
Gempa bermagnitudo 6,1 mengguncang perairan
selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (10/4/2021). Pada empat menit
setelah gempa berlangsung, kantor Indonesia Tsunami Observation Center
(InaTOC) di Jakarta menerima informasi dari buoy Malang (MLG) bahwa gempa
tersebut tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Dari kantor InaTOC, informasi itu
dikirimkan ke Sistem Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika guna memverifikasi prediksi tsunami yang dibuat sebelumnya.
Informasi inilah yang dipublikasikan kepada masyarakat untuk mengingatkan ada
tidaknya potensi tsunami dari gempa yang sebelumnya terjadi. Buoy MLG baru dipasang Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) pada awal Maret 2021. Buoy ini diletakkan pada 138
kilometer selatan Kota Malang, sedangkan perangkat pendeteksi tsunaminya,
yaitu Ocean Bottom Unit (OBU) ditaruh di dasar
laut pada kedalaman 2.042 meter. OBU buoy MLG ini terletak 27 kilometer dari
pusat gempa yang terjadi pada 10 April 2021. Saat tsunami terjadi, perubahan tekanan air
laut akan membuat OBU mengalami perubahan ketinggian. OBU yang bertindak
sebagai tsunameter itu mampu mendeteksi perubahan tinggi hingga 3 sentimeter.
Perubahan situasi di dasar laut itu dikirimkan ke buoy yang ada di permukaan
laut setiap 15 detik. Kemudian, data buoy ditransmisikan ke Satelit Iridium
untuk dikirimkan ke kantor Ina TOC,. ”Diterimanya data dari buoy MLG terkait
gempa yang terjadi di daerah itu menunjukkan sistem pendeteksi tsunami buatan
perekayasa Indonesia sudah mampu bekerja,” kata Manajer Umum Program
Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), yang juga Direktur Pusat
Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT Muhammad Ilyas, Selasa (20/4/2021). Awal tahun ini, BPPT memasang tiga buoy di
selatan Jawa dan Bali. Selain buoy MLG, ada buoy SUN di selatan Selat Sunda
dan buoy DPS di selatan Bali. Ketiga buoy itu merupakan bagian dari 13 buoy
yang akan dipasang BPPT mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara, utara Papua, Laut Maluku dan perairan Talaud hingga tahun
2024. Buoy SUN juga sudah bekerja. Buoy ini mampu
mengirimkan informasi ke kantor Ina TOC sebagai respons dari gempa 5,1
magnitudo di barat daya Bayah, Lebak, Banten, pada 14 April 2021. Buoy MLG dan SUN merupakan bagian dari
Indonesia Buoy Generasi 3.1 (InaBuoy G3.1) yang dibuat perekayasa BPPT. Buoy
ini dirakit di PT PAL Indonesia, Surabaya, Jatim, dengan sebagian besar
komponen diimpor dari Amerika Serikat (AS). Dibandingkan generasi sebelumnya,
buoy terbaru ini dilengkapi fitur maju yang menjamin keberlangsungan sistem
lebih lama dan keamanan lebih baik. Selain InaBuoy, BPTT juga mengembangkan
sistem pendeteksi tsunami berbasis kabel atau Indonesia Cable Based
Tsunameter (InaCBT) dan berbasis tomografi akustik atau Indonesia Coastal
Acoustic Tomography (InaCAT). Sebanyak dua InaCBT direncanakan dipasang
di Rokatenda dan Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Pendeteksi tsunami
berbasis kabel itu bisa lebih cepat menyampaikan informasi adanya tsunami ke
masyarakat sekitar. Namun teknologi ini memiliki investasi yang besar walau
biaya pemeliharaannya relatif lebih murah. Adapun InaCAT yang mendeteksi tsunami
berbasis data arus dan gelombang itu direncanakan di pasang di Selat Lombok.
Sistem ini juga akan menghimpun data kelautan yang bisa dimanfaatkan untuk
pelayanan transportasi laut serta pengumpulan data tentang perubahan iklim
global. ”BPPT terus berburu inovasi untuk
menerapkan teknologi dalam mitigasi bencana tsunami,” kata Kepala BPPT Hammam
Riza. Untuk teknologi buoy, saat ini AS menjadi
penguasa pasar. Jika Indonesia bisa mengembangkan buoy secara mandiri,
inovasi itu bisa diekspor ke berbagai negara yang juga rentan menghadapi
tsunami, khususnya negara di sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Sementara untuk pendeteksi tsunami berbasis kabel ataupun tomografi akustik,
Jepang memiliki keunggulan. Meski buoy MLG dan SUN dalam InaBuoy G3.1
sudah berhasil, Ilyas mengingatkan
setiap produk teknologi buatan siapa pun memiliki keterbatasan. Buoy produksi
AS pun tidak luput dari salah hingga keliru mendeteksi tsunami. Situasi itu
membuat pemeliharaan buoy menjadi penting. Berkaca pada rusak dan hilangnya buoy
pendeteksi tsunami sebelumnya, sosialisasi kepada nelayan dan masyarakat di
sekitar lokasi buoy harus dilakukan. Keterlibatan masyarakat dalam menjaga
buoy mutlak diperlukan karena pemeliharaan buoy tidaklah murah dan mudah. Di
sisi lain, perekayasa BPPT juga terus mengembangkan surveilens mandiri hingga
bisa mendeteksi keberadaan buoy jika berpindah tempat. Saat ini, tim BPPT sedang mengevaluasi
berapa masa hidup InaBuoy yang sudah dipasang. Penyediaan buoy butuh
keberlanjutan mengingat pemantauan tsunami itu tidak boleh terputus. Karena
itu, keterlibatan industri sebagai bagian dari proses hilirisasi riset maupun
komersialisasi produk inovasi mutlak diperlukan. Konsep pentaheliks akan
membuat inovasi teknologi pendeteksi tsunami bisa dikembangkan lebih baik dan
lebih cepat. Kini, perekayasa Indonesia berharap
dukungan penuh dari pemerintah hingga bisa mewujudkan buoy Merah Putih yang
dicita-citakan selama ini. Kemampuan mereka makin berkembang seiring makin
banyaknya pengetahuan yang dikuasai. Semangat mereka pun tinggi meski harus
bekerja di laut lepas untuk memasang OBU dan buoy menggunakan kapal riset
yang berumur lebih dari 25 tahun. Inovasi sistem pendeteksi tsunami adalah
inovasi teknologi tinggi yang bukan sekadar membeli atau memasang alat.
Inovasi ini akan berkelanjutan jika ada keberpihakan yang jelas dari
pemerintah. ”Perekayasa Indonesia mampu selama diberikan kesempatan untuk
berinovasi,” kata Ilyas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar