Perjuangan
Kartini Melintas Batas Identitas Misiyah ; Direktur Institut
KAPAL Perempuan |
KOMPAS, 27 April 2021
Kartini selalu diperkenalkan sebagai sosok
pahlawan yang identik dengan perjuangan pendidikan perempuan karena Kartini
mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan untuk pertama kalinya di Hindia
Belanda. Inilah yang ada dalam ingatan saya tentang pelajaran sejarah tentang
Kartini di sekolah. Setelah mendalami sejarah Kartini, akhirnya menemukan
lebih dari itu bahwa Kartini sangat kritis melawan budaya patriarki di
berbagai lini kehidupan. Pemikirannya melampaui sekadar masalah
pendidikan. Perhatiannya sangat besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
toleransi, kesetaraan, isu-isu kesehatan, kemiskinan dan kolonialisme. Di pengujung abad XIX, Kartini sudah
mengobarkan api perlawanan, sebuah perjuangan luar biasa dilakukan oleh
perempuan pada zamannya. Kartini perempuan muda pemberani meski ada dalam
lingkaran kuasa tradisi feodal yang membelenggu perempuan, ia tetap melawan
pingitan, perkawinan anak, perdagangan perempuan dan anak, poligami, dan
pembatasan terhadap ruang gerak perempuan di segala lini kehidupan. Di antara peliknya situasi perempuan, ia
juga memikirkan kesejahteraan rakyat bumiputera, kesehatan maupun pendidikan.
Ia tak pernah menyerah untuk mengajarkan cara berpikir kritis terhadap
ketidakadilan oleh siapa pun dan alasan apa pun. Kartini memperjuangkan pemikiran dengan
penuh tantangan dan rintangan, tanpa iklim yang mendukung kebebasan
berekspresi ataupun keterbukaan politik seperti sekarang. Jika pada masa
sekarang komunikasi lintas negara dapat dilakukan dalam hitungan menit saja,
saat itu Kartini membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk berkorespondesi
dengan sahabat-sahabatnya di Eropa. Kartini harus menerabas perizinan ketat
jika ingin dilibatkan dalam pertemuan publik, jauh berbeda perempuan sekarang
dapat melakukannya kapan saja. Kartini berjuang dalam situasi tekanan politik
penjajahan yang mengeksploitasi, membodohkan dan memiskinkan rakyat bumi
putera. Penghayatan
Kartini terhadap kemiskinan Dalam buku yang ditulis oleh Pramodya
Ananta Toer yang judulnya Panggil Aku Kartini Saja (2003), Kartini, sebagai
keturunan ningrat anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Sosroningrat, harus
hidup berjarak dan terpisah dengan rakyat jelata. Namun, ia berusaha melepas
batas identitas kelas ini dengan cara mencintai, menghargai, memikirkan
kesulitan, menghayati kemelaratan dan penderitaan rakyatnya. Meski Kartini ada dalam kungkungan tradisi
feodal yang keras dan tidak memungkinkan dapat bergaul dengan rakyat jelata,
suatu saat Kartini masih sanggup menemukan seorang bocah umur 6 tahun yang
sedang berjualan rumput. Bocah ini diikuti hingga sampai rumahnya dan Kartini
menemukan dua adik si bocah yang diurus karena emaknya pergi bekerja. Mereka
belum makan dan hanya makan nasi sehari satu kali ketika emaknya pulang
mendapatkan upah. Kartini melihat diluar dirinya begitu
banyak derita dan kemelaratan yang dialami rakyatnya. Ia menuliskan ”seakan
udara menggetar oleh ratap tangis, erang dan rintih orang-orang sekelilingku.
Dan lebih keras lagi daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di
kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau
kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang
lain! Kerja! Kerja! Aku dengar begitu jelas, tampak tertulis di depan
mataku…”. Meretas
sekat agama Sebagai gadis Muslim, ia berusaha
menghayati ajaran dengan cara meminta terjemahan Al Quran dalam bahasa Jawa.
Penghayatannya terhadap praktik beragama Islam adalah untuk berbuat kebaikan
tanpa kebencian terhadap pemeluk kepercayaan dan agama yang berbeda. Ia juga
melakukan penerimaan dan penghormatan kepada yang berbeda, ia tidak menolak
ketika mendapat sebutan sebagai anak Buddha. Ia juga menerima Pandita
Ramabai, seorang Protestan dari India menjadi pahlawan bagi jiwanya sendiri. Ia mengajarkan hidup yang sarat dengan
penghormatan, mengutamakan nilai kemanusiaan dan menepis fanatisme terhadap
identitas keagamaan. Bahkan, ia mengkritik pihak yang mengatasnamakan agama
dan menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Dalam suratnya 6 November 1899 kepada Nona
Estella H Zeehandelaar itu, secara keras ia melawan poligami. Ia tidak akan dapat
menghormati seseorang yang sudah kawin dan sudah menjadi bapak, yang apabila
sudah bosan kepada ibu anak-anaknya, kemudian membawa perempuan lain ke dalam
rumahnya dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam. Kartini tidak akan menerima ajaran yang
mengizinkan laki-laki melakukan poligami karena poligami menyebabkan manusia
lain menderita. Apa pun yang menyebabkan penderitaan bagi manusia lain adalah
dosa. Ia menentang dan mempertanyakan, dapatkah kamu membayangkan siksaan
yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang dengan wanita lain
sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Dan semua
itu menguntungkan laki-laki dan tak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan. Kartini juga bicara tentang bahaya fanatisme
dalam beragama karena dapat menyebabkan orang saudara kandung saling
berlawanan hanya karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasangan yang saling mengasihi akhirnya bercerai-cerai akibat berlainan
tempat menyembah Tuhan. Pembunuhan pun juga dapat terjadi dengan
mengatasnamakan agama. Dalam kebimbangan, ia mempertanyakan benarkah agama
itu restu bagi manusia. ”Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa,
tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!” Inspirasi
pergerakan Pada zaman diberlakukannya pingitan
terhadap anak perempuan yang dimulai sejak usia 12 tahun untuk menunggu
perjodohan, Kartini mampu bertahan hingga usia 23 tahun tidak menikah. Sebuah
ketidaklaziman pada masa itu terlebih bagi Kartini yang lahir sebagai
keluarga ningrat. Namun, pada akhirnya ia dinikahkan dengan Bupati Rembang
Djoyoadiningrat pada 1903. Setahun kemudian pada 13 September 1904 Kartini
melahirkan RM Soesalit dan belum seminggu setelah melahirkan tepatnya 17
September 1904 adalah akhir dari hidupnya. Empat tahun sebelumnya Kartini menuliskan
surat yang berat sekaligus penting untuk perjuangan perempuan. Ia mengatakan
bahwa ”jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak dan lubang;
jalan itu berbatu-batu, terjal, licin... belum dirintis! Dan walaupun saya
tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di
tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab, jalan tersebut sudah
terbuka dan saya turun membantu menerabas jalan yang menuju kebebasan dan
kemerdekaan perempuan Bumiputera”. Perjuangan Kartini menginspirasi gerakan
perempuan dan lebih jauh menginspirasi dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang
memiliki keprihatinan terhadap kesehatan rakyat Bumiputera yang terjajah.
Para siswa STOVIA menghidupkan pikiran-pikiran Kartini dengan cara mendirikan
Raden Adjeng Kartini Club oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pelopor
gerakan antikolonialisme yang radikal. Sudah lebih seabad Kartini meninggal,
tetapi jiwa juangnya tetap membara dan menjadi tanggung jawab kita untuk
melanjutkannya. Memerdekakan perempuan dari belenggu patriarki, membebaskan
perempuan yang dijadikan obyek dengan mengatasnamakan agama, memperjuangkan
keadilan dan kesetaraan jender, membawanya pada kehidupan yang sejahtera, terbebas
dari segala bentuk kekerasan berbasis jender. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar