Paradoks
Pengangkatan Sejuta Guru Hafid Abbas ; Guru
Besar FIP UNJ dan Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University
2006 |
KOMPAS, 17 April 2021
Akhir-akhir ini, banyak kalangan menyoroti
mekanisme penyiapan pengangkatan sejuta guru yang berstatus pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Pengangkatan sejuta guru tersebut didasari
oleh kebijakan Presiden yang telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 98
Tahun 2020 tentang pengangkatan guru yang berstatus PPPK dengan hak
mendapatkan gaji setara pegawai negeri sipil (PNS). Kebijakan ini
kelihatannya dihadapkan pada sejumlah paradoks. Manajemen
pengelolaan guru Paradoks tersebut, pertama, di satu sisi,
kebijakan Presiden itu telah diapresiasi oleh berbagai kalangan, terutama
para guru honorer yang selama ini telah mengabdi membantu pendidikan
anak-anak kita. Namun, di sisi lain, kebijakan ini bersifat sporadis, parsial,
dan hanya menyelesaikan ekor permasalahan pendidikan dan tak menyentuh induk
masalahnya dalam menyelesaikan krisis manajemen pengelolaan guru. Data menunjukkan bahwa saat ini jumlah guru
pendidikan dasar dan menengah sudah mencapai empat juta yang melayani sekitar
50 juta siswa (Kemendikbud, 20/12/2020). Ini berarti setiap guru hanya mengajar
12-13 siswa. Sementara standar rasio internasional adalah 20-21 siswa per
guru. Inggris rasionya 16-17 siswa per guru, Jepang 27-28 siswa per guru, dan
Korea Selatan sebagai salah negara terbaik pendidikannya di dunia, rasio
rata-rata 34,7 atau 34-35 siswa per guru (UNESCO, 2017). Jika digunakan
standar internasional, Indonesia terlihat sudah kelebihan sekitar 1,6 juta
guru. Dengan merujuk data Mendikbud Nadiem
Makarim yang mengutip data Dapodik (2020) bahwa jumlah guru aparatur sipil
negara (ASN) yang tersedia saat ini di sekolah negeri hanya 60 persen dari
jumlah kebutuhan seharusnya. Ini berarti sudah terdapat 2,4 juta guru ASN
bagi 50 juta siswa sehingga rasionya amat ideal, sama dengan rata-rata
standar internasional, 20-21 siswa per guru (Kompas, 11/12/2021). Jika saja negara hadir untuk mengatur
penempatan dan distribusi guru ASN ini secara merata dengan baik di seluruh
Tanah Air, tidak diperlukan lagi pengangkatan guru baru. Masa
depan anak terabaikan Kedua, di satu sisi, pemerintah telah
melakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru ASN dan
guru honorer melalui penggunaan bantuan operasional sekolah (BOS) dan
kebijakan lainnya, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan, pada tahun anggaran 2020,
pemerintah juga telah mengalokasikan bantuan subsidi upah (BSU) sebesar Rp
3,6 triliun bagi sekitar dua juta guru dan tenaga kependidikan yang berstatus
non-ASN di lingkungan Kemendikbud. Tentu kebijakan ini telah diapresiasi oleh
berbagai pihak, terutama bagi mereka yang masih berstatus non-ASN. Namun, di sisi lain, kebijakan alokasi
penggunaan anggaran 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pendidikan
sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi ternyata hampir tidak ada lagi
yang tersisa untuk kepentingan 50 juta siswa. Hampir semuanya habis dibelanjakan bukan
bagi peningkatan mutu pendidikan, melainkan dipakai untuk gaji guru dan
pengelola pendidikan di pusat dan daerah. Bank Dunia melaporkan, 86 persen
dana APBN dan APBD untuk pendidikan habis dikonsumsi untuk kesejahteraan guru
dan tenaga kependidikan, bahkan di 32 kabupaten/kota jumlahnya mencapai 90
persen, bukan untuk peningkatan mutu pembelajaran anak. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan
Vietnam yang mengalokasikan anggarannya untuk kesejahteraan hanya 42 persen,
Finlandia 55 persen, AS 62 persen (Revealing How Indonesia’s Subregional
Government Spend their Money on Education, 2020, hlm 68). Kebijakan yang populis ini mengingatkan
saya pada ungkapan kalbu Gabriella Mistral, seorang peraih Nobel Sastra 1945
yang menuturkan, ”Today, we are guilty of many errors and many faults, but
our worst crime is abandoning the children, neglecting the fountain of life.
Many of the things we need can wait. The child cannot….” Jika saja kita berbuat berbagai kekhilafan
atau kesalahan, kejahatan dari segala kejahatan atau kebiadaban dari segala kebiadaban,
adalah mengabaikan masa depan anak-anak kita, melalaikan mata air hayat kita.
Banyak kepentingan kita dapat ditunda, tapi kepentingan anak tidak boleh
tertunda.… Dapatkah kita mengelola penggunaan anggaran
pendidikan kita dengan prioritas terbaik pada masa depan anak didik kita. Efektivitas
sertifikasi guru Ketiga, dari berbagai polemik di masyarakat
yang sering mengindikasikan bahwa rendahnya mutu pendidikan bersumber dari
rendahnya kesejahteraan guru, tetapi di sisi lain terlihat pula publikasi
yang berbeda. Bank Dunia, misalnya, dalam publikasinya, Spending More or
Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia (2013),
menunjukkan, para guru yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi dan yang
belum ternyata memperlihatkan prestasi yang relatif sama. Program sertifikasi guru yang
diselenggarakan Kemendikbud sejak diberlakukan Undang-Undang No 14 Tahun 2005
tentang guru dan dosen, yang mengatur agar pendidik harus memiliki
kualifikasi minimum dan sertifikasi sebagai pendidik, ternyata tunjangan
sertifikasi yang telah menghabiskan dana sekitar Rp 80 triliun setiap tahun
tidak memberi dampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Bahkan, sebaliknya, Pearson Global
Education League Table (2012) memperlihatkan Finlandia, Korea Selatan,
Singapura di urutan teratas, dan Indonesia di urutan terendah di dunia. Perbaikan kesejahteraan guru melalui
pemberian tunjangan sertifikasi hanya berhasil menurunkan jumlah guru yang
bekerja rangkap dari 33 persen sebelum sertifikasi ke tujuh persen setelah
sertifikasi (hlm 73). Keempat, terdapat dua pandangan yang
berbeda terhadap pengangkatan sejuta guru honorer menjadi guru P3K. Ada
pandangan yang mengusulkan agar guru honorer yang sudah berpengalaman,
misalnya sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdi sebagai guru honorer, tidak
perlu mengikuti tes seleksi, tapi langsung saja diangkat menjadi guru P3K
jika persyaratan lainnya dipenuhi. Di sisi lain, Nadiem Makarim telah
menggariskan bahwa guru honorer bisa ikut seleksi P3K hingga tiga kali. Atas polemik ini, kita belajar dari
pengalaman memberlakukan program sertifikasi guru jalur portofolio yang
diatur dalam kebijakan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan 2009 (Dikti, 2009),
tanpa melalui tes seleksi, pendidikan, dan pelatihan. Penelitian Bank Dunia menunjukkan, setelah
meneliti di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan
39.531 siswa, hasilnya ternyata tidak terdapat pengaruh program sertifikasi
guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP (Bank Dunia, 2009). Untuk memastikan mutu guru P3K yang akan
direkrut tersebut, selain memberikan kesempatan kepada guru honorer untuk
mengikuti seleksi hingga tiga kali, prioritas dapat pula diberikan kepada
mereka yang berasal dari perguruan tinggi yang berakreditasi A. Pembenahan
sistemis Terakhir, semoga ke depan negara
sungguh-sungguh hadir untuk membenahi persoalan guru tidak secara parsial dan
tambal sulam seperti yang terlihat selama ini, tetapi negara hadir
membenahinya secara sistemis. Pembenahan tersebut mulai dari penyiapan
pengadaan guru di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang
bereputasi, pengangkatannya yang sesuai dengan kebutuhan, penempatannya yang
merata, dan pembinaan karier profesionalnya secara berkelanjutan dan
kesejahteraannya yang layak dan lebih terukur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar