Mencegah
”Kebangkrutan” Modal Sosial KPK Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 24 April 2021
Serial skandal dalam Komisi Pemberantasan
Korupsi sungguh mengkhawatirkan. Lembaga yang pernah disegani dan berwibawa
itu dinilai mulai meredup. Sejak awal kelahiran, lembaga antirasuah
ini sebenarnya tak dikehendaki elite politik. Namun, semangat arus bawah
reformasi bisa ”memaksa” elite politik melahirkan Ketetapan MPR Nomor
XI/MPR/1998 sebagai rahim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, seiring berjalannya waktu, serangan
terhadap KPK terus berlanjut. Benteng masyarakat sipil itu tumbang ketika DPR
dan Presiden Joko Widodo menyetujui merevisi UU KPK. Kendati menyetujui,
Presiden Jokowi mengambil langkah politik simbolis untuk tidak menandatangani
UU KPK. Sikap Presiden Jokowi yang tak
menandatangani UU KPK bisa saja sebagai permainan panggung depan politik.
Namun, bisa saja merupakan sikap ”kompromi” Presiden setelah DPR dan menterinya
telanjur menyetujui revisi UU KPK, yang mungkin isinya tidak seperti harapan
Presiden. Setelah revisi UU KPK disetujui, lembaga antirasuah itu terasa
semakin kedodoran. Beberapa karyawan meninggalkan KPK. Sementara penghuni
baru mulai mendominasi lembaga itu. Penangkapan Menteri Sosial, Menteri
Kelautan dan Perikanan, serta Gubernur Sulawesi Selatan belum sepenuhnya
memulihkan kepercayaan publik. Warga masih menantikan kapan politisi Harun
Masiku ditangkap, misalnya. Bukan aspek pemulihan kinerja yang
menonjol, justru berbagai skandal mengecewakan publik yang mengemuka. Mulai
dari dihentikannya penyidikan terhadap tersangka korupsi Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia Sjamsul Nursalim, dicurinya barang bukti, penyidik KPK yang
memeras dan membuka keterlibatan politisi Senayan untuk mengendalikan
perkara, serta bocornya informasi operasi penyitaan. Melihat skandal yang terjadi di KPK, muncul
pertanyaan, apakah ini peristiwa sistematis yang memang bertujuan untuk
mematikan KPK? Rangkaian peristiwa yang terjadi di KPK bisa mengarah pada
”kebangkrutan” modal sosial KPK. Sangat disayangkan jika peristiwa itu
terjadi di era pemerintahan Presiden Jokowi yang pada awalnya dikenal sebagai
presiden sipil yang antikorupsi dan dalam dokumen Nawacita berkehendak memperkuat
KPK. Publik berharap, kendati kepercayaan kepada
KPK kian menipis, KPK tetap bisa eksis. Dalam posisi sekarang ini, harapan
ditujukan pada Mahkamah Konstitusi. Perkara uji formil dan uji materiil sudah
ada di meja MK. Namun, entah kapan akan diputuskan. Publik tentunya berharap
MK masih menjadi penjaga nurani bangsa sebagaimana di era Ketua MK Mahfud MD
yang menjalankan peran untuk membentengi KPK. Putusan MK saat ini dinanti untuk
menyelamatkan KPK dari kebangkrutan modal sosialnya. Sejarah akan mencatat
apakah MK menjadi bagian penyelamatan KPK atau justru sebaliknya, hanya
menjustifikasi kehendak elite untuk memandulkan KPK. Atau, Presiden Jokowi
sendiri mengambil langkah politik untuk mengembalikan KPK ke jati dirinya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar