Selasa, 13 April 2021

 

Kehalalan Vaksinasi di Bulan Ramadhan

Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib PWNU Yogyakarta; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga

                                                         KOMPAS, 13 April 2021

 

 

                                                           

Pada tanggal 13 Januari 2021, pemerintah mulai melakukan kegiatan vaksinasi Covid-19 yang akan menyasar target penerima sejumlah 40,2 juta orang. Untuk menyukseskan target ini, pemerintah yang dikendalikan oleh Kementerian Kesehatan—selaku penanggungjawabnya—merilis empat tahapan yang dijalankan di Indonesia dengan mempertimbangkan ketersediaan, waktu kedatangan, dan profil keamanan vaksin.

 

Melalui keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK 02.02/4/1/2021 tentang petunjuk teknis pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Coronavirus disease-19, empat tahapan pelaksanaan vaksinasi meliputi, pertama, vaksinasi yang menyasar tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang, serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan.

 

Kedua, vaksinasi yang menyasar petugas pelayanan publik, yakni TNI/Kepolisian, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik, pekerja di bidang perbankan, Perusahaan Listrik Negara, dan perusahaan daerah air minum, serta petugas lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat, ataupun kelompok lansia.

 

Ketiga, vaksinasi yang menyasar masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Keempat, vaksinasi yang menyasar masyarakat dan pelaku perekonomian lain dengan pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin.

 

Selain empat kategori yang menjadi sasaran vaksinasi, keputusan ini juga membagi pelaksanaan vaksinasi dalam dua tempo, yaitu tahap pertama dan tahap kedua dilaksanakan pada Januari hingga April 2021, sedangkan tahap ketiga dan tahap keempat dilaksanakan pada April 2021 hingga Maret 2022.

 

Mencermati aspek pengaturan waktu vaksinasi yang membutuhkan waktu 15 bulan berturut-turut, yang bagi umat Islam ada bulan tertentu yang akan memasuki bulan Ramadhan, tentu ada kegelisahan teologis dan kegamangan psikologis.

 

Di satu sisi umat Islam harus menjalani kewajiban puasa di bulan Ramadhan dan di sisi lain umat Islam perlu turut serta dalam giliran waktu vaksinasi yang sudah ditentukan. Apalagi, tahun ini, puasa Ramadhan jatuh pada hari ini tanggal 13 April 2021.

 

Terobosan normativitas

 

Menyikapi kebutuhan kelancaran vaksinasi ini, pada tanggal 16 Maret 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum vaksinasi Covid-19 pada saat berpuasa. Dalam fatwa ini ada sebuah penjelasan teknis vaksinasi Covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuskular (suntik) yang dianggap tidak membatalkan puasa, sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dharar).

 

Secara normatif, fatwa MUI ini akan menjadi panduan bagi umat Islam agar tetap bisa melaksanakan ibadah puasa dan tetap bisa berpartisipasi dalam kegiatan vaksinasi yang sudah dijadwalkan oleh pemerintah. Setidaknya, dengan tetap melaksanakan vaksinasi di bulan Ramadhan, satu sisi umat Islam bisa memenuhi kaidah keagamaan dan di sisi lain umat Islam dapat mendukung upaya mewujudkan kekebalan komunitas (herd immunity).

 

Dalam kaitan ini, terobosan yang dilakukan MUI menjadi sebuah kelaziman diskursus keagamaan untuk memberikan pencerahan bagi umat Islam saat berhadapan dengan kondisi sosial yang dilematis. Sebab, bagi sebagian umat Islam yang mempunyai keyakinan tersendiri dalam memegang teguh prinsip kehati-hatian (al ahwath) pelaksanaan puasa, tentu akan memilih menjalankan ibadah puasa sepenuh hati yang tak diliputi keraguan lahiriah, seperti asupan ke dalam tubuh seperti vaksin.

 

Apalagi ada pendapat fiqh yang menyatakan bahwa hukum suntik dalam keadaan puasa bisa membatalkan secara mutlak karena sampai ke dalam tubuh (innaha tubthilun muthlaqan liannaha washalat ila al jaufi). Meskipun dalam fiqh ada perbedaan pendapat yang menyatakan tidak membatalkan secara mutlak karena sampainya ke dalam tubuh bukan melalui lubang yang terbuka (innaha la tubthilu muthlaqan liannaha washalat ila al jaufi min ghairi manfadzin maftuhin).

 

Dalam kaitan ini, perbedaan fiqhiyah yang terbentang dalam khazanah keislaman memiliki sandaran normatif untuk menentukan status hukum yang lazim terjadi dan sama-sama mempunyai konsekuensi hukum yang bisa dilakukan. Meski demikian, dari sekian perbedaan atau bahkan pertentangan dalil tersebut, tentu yang dikedepankan adalah rumusan dalil yang bisa memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan.

 

Fatwa MUI yang membolehkan vaksinasi dengan injeksi intramuskular (suntik) di bulan Ramadhan telah mempertimbangkan banyak hal yang terkait dengan keselamatan jiwa masyarakat Indonesia yang sekian bulan didera wabah Covid-19.

 

Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan apabila dalam konteks yang lebih luas, ada maksud dan tujuan syariah (maqashid syariah) yang ingin ditegakkan dalam fatwa MUI yang ingin melindungi jiwa (hifdz an nafsi). Bahkan, ketika tindakan melindungi kesehatan jiwa ini sangat urgen dilakukan bisa dikedepankan dari menjaga kesehatan beragama (shihatu al abdan muqaddamun min shihhati al adyan).

 

”Fresh ijtihad”

 

Berangkat dari cara pandang keagamaan yang segar (fresh ijtihad)—meminjam istilah Prof Amien Abdullah—dalam memahami dalil-dalil fiqh tentang kebolehan vaksinasi di masa puasa Ramadhan, hal ini menunjukkan bahwa setiap perselisihan atau bahkan konflik dalam hukum Islam selalu menonjolkan solusi dalam sikap keberagamaan.

 

Setidaknya, baik fatwa MUI maupun fatwa ulama di negara-negara Muslim lainnya yang sudah berupaya keras menawarkan jalan keluar moderat dalam menginterpretasi dalil-dalil yang berpihak pada kemaslahatan bersama menjadi ”tonggak bersejarah” bahwa hukum Islam dihadirkan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia, dan bukan untuk mempersulit keadaan yang dapat berujung pada keterancaman dan kerentanan.

 

Oleh karena itu, tak selazimnya apabila proses vaksinasi yang sudah diinisiasi oleh pemerintah sejak awal tahun 2021 dan direncanakan berakhir pada Maret 2022 ini masih diperkeruh dengan centang perenang pandangan keagamaan yang saling membenturkan dalil mana yang paling benar ataupun meributkan status hukum vaksin yang haraman thayyiban dan halalan thayyiban. Sebab, dalam kondisi kedaruratan, kita membutuhkan fresh ijtihad yang berpihak pada kemaslahatan dan keberlangsungan kemanusiaan di masa akan datang.

 

Semoga, gerakan vaksinasi ini menjadi ikhtiar ’ílmi yang selaras dengan ridha Tuhan dan memperoleh kelancaran serta dukungan dari berbagai kalangan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar