Kegaduhan
Nusantara Budiman Tanuredjo ; Wartawan
Senior Kompas |
KOMPAS, 17 April 2021
Ribuan
pulau tergabung menjadi satu Sebagai
ratna mutu manikam Nusantara
oh nusantara Berlimpah-limpah
kekayaan nusantara Tiada
dua di mana jua, Nusantara
oh nusantara.... Berbarengan dengan kegaduhan vaksin
Nusantara, saya tiba-tiba teringat lirik lagu ”Nusantara III” yang dibawakan
Koes Plus pada 1973. Rabu, 14 April 2021, sejumlah anggota Komisi IX DPR yang
membidangi kesehatan dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, yang berkantor di
Gedung Nusantara III, datang ke RSPAD Gatot Soebroto. Mantan Panglima TNI
Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo juga ikut datang. Sejumlah media online
mengabarkan anggota DPR disuntik vaksin Nusantara. Padahal, mereka baru
diambil sampel darahnya sebagai sukarelawan uji klinis II. Darah itu kemudian
diolah dan akan disuntikkan kembali dan disebut ”vaksin” Nusantara. Isu vaksin Nusantara menjadi begitu
sensitif. Entah karena namanya yang patriotik, yakni vaksin ”Nusantara”, atau
karena dibesut mantan Menteri Kesehatan Letjen (Purn) Terawan Agus Putranto
yang diberhentikan Presiden Joko Widodo dan digantikan Budi Gunadi Sadikin,
atau karena sentimen lain. Uji klinis II belum mendapat persetujuan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena dianggap belum memenuhi kaidah
penelitian. Sebaliknya salah seorang peneliti vaksin Nusantara, Kolonel
Johny, dalam wawancara dengan KompasTV, menyebut, ”memastikan uji klinis sudah
memenuhi standar, kaidah penelitian, dan etik secara internasional”.
Penelitian ini juga pertaruhan bagi yang melakukan. Merujuk data dari BPOM, komponen utama yang
digunakan dalam pembuatan vaksin Nusantara berasal dari Amerika Serikat.
Komponen yang dimaksud berupa antigen, granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF), medium pembuatan sel, dan alat-alat
persiapan. ”Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini diimpor dari
AS,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito melalui keterangan tertulis seperti
dikutip CNNIndonesia.com. Vaksin lain yang disuntikkan di Indonesia, Sinovac
dan AstraZeneca, juga berasal dari luar negeri. Isu soal vaksin Nusantara jadi begitu
politis. Faktanya, bangsa ini belum bisa memproduksi vaksin. Ketergantungan pada
alat kesehatan masih sangat besar. Tradisi riset termasuk riset kesehatan,
apakah itu vaksin atau obat-obatan, belum menjadi budaya. Bagi sementara
orang, mungkin berpandangan, jika masih bisa membeli dan mendapatkan
keuntungan, mengapa harus memproduksi sendiri. Memproduksi vaksin membutuhkan
riset. Sementara Kementerian Riset dan Teknologi di Indonesia malah
dibubarkan oleh pemerintah. Ketergantungan pada impor boleh jadi
menjadi isu membangkitkan sentimen nasionalisme. Lebih-lebih jika melihat
anggaran yang begitu besar untuk impor vaksin. Gatot Nurmantyo saat ditanya
pers di RSPAD berkomentar, ”Saya ini lahir di sini, makan di sini, minum di
sini, diberi ilmu di sini, dan dididik sebagai prajurit di bumi pertiwi.
Kemudian ada hasil karya putra Indonesia yang terbaik, kemudian uji klinik,
kenapa tidak saya? Apa pun saya lakukan untuk bangsa dan negara ini.” Vaksin Nusantara sudah bukan lagi isu
medis, melainkan juga politis dan sangat mungkin juga bisnis karena anggaran
besar. Membaca laporan rapat Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan dan
BPOM ada tertulis kesimpulan, ”Badan POM RI untuk segera mengeluarkan
Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis fase 2 bagi kandidat vaksin Nusantara agar
penelitian ini dapat dituntaskan selambat-lambatnya 17 Maret 2021. Jika
sampai batas waktu yang ditentukan tak selesai, maka Komisi IX DPR akan
membentuk tim mediasi menyamakan persepsi dan pemahaman antara Tim Peneliti
vaksin Nusantara dan Badan POM”. Terasa ada tekanan politik di sana. Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena
menegaskan memberikan dukungan politik kepada vaksin Nusantara. Namun, Melki
merasa BPOM menghambat proses uji klinis vaksin Nusantara. ”Ada apa di balik
ini semua,” ujar Melki, ketika saya hubungi. Kegaduhan soal vaksin Nusantara
tak bisa dilepaskan dari peran media. Sejumlah media menulis judul ”Anggota DPR
Disuntik Vaksin Nusantara”. Seakan, anggota DPR sudah divaksin Nusantara.
Padahal, mereka baru diambil sampel darahnya. ”Belum disuntik, baru diambil
darahnya,” kata Gatot. Kecurigaan besarnya rente ekonomi ikut mengakibatkan
kegaduhan. Ada kecurigaan vaksinasi melibatkan importir alat kesehatan yang
punya afiliasi kekuatan politik Tanah Air. Anggaran vaksinasi mencapai Rp 73
triliun. Seorang pejabat ketika saya tanya apa di
balik kegaduhan vaksin Nusantara hanya menjawab singkat, ”You know as
usual-lah.” Vaksin sebaiknya memang diserahkan ke ahlinya. Kegaduhan vaksin
Nusantara memberikan kesan semua orang jadi ahli vaksin. Dan berhak bicara
vaksin berdasarkan keyakinan atau kecurigaan. Inilah era yang disebut The
Death of Expertise karya Tom Nichols. Isu vaksin adalah isu medis. Isu uji
klinis adalah isu metode penelitian. Namun, kondisi Indonesia terasa berbeda.
Campur aduk. Kegaduhan hanya membingungkan rakyat atau malah tertawaan rakyat. Masalah komunikasi yang tidak tulus, penuh
curiga, membuat isu vaksin Nusantara tak seperti lagu Koes Plus yang
menggambarkan keindahan Nusantara. Padahal, anggota DPR juga berkantor di
Gedung Nusantara. Jika keselamatan Nusantara di atas segalanya, kegaduhan
vaksin Nusantara tak perlu terjadi. Duduklah bersama untuk menyamakan
persepsi. Beri kesempatan sama dengan ketaatan metodologi yang juga sama.
Ancaman Covid-19 masih ada. Jangan terlalu banyak drama karena hidup rakyat
kini sudah mengalami kesulitan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar