Jalan
Tengah Nusantara Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY,
25 April
2021
INI hanya testimoni. Yang dalam hierarki
penelitian derajatnya paling rendah. Dan wartawan terlalu banyak menulis
berbasis testimoni. Pun seperti yang saya tulis hari ini. “Alhamdulillah, tidak ada keluhan apa pun,”
ujar Siti Fadilah Supari, mantan menteri kesehatan yang gelar akademisnya
profesor doktor. Fadilah menjalani “vaksinasi Nusantara”
Jumat pagi lalu. Kesaksian ini diucapkan Sabtu petang kemarin. “Apakah tidak meriang?” “Tidak,” jawabnya. “Tidak mengantuk?” “Tadi malam mengantuk sekali. Tidur
nyenyak. Senang sekali bisa tidur nyenyak,” katanya. Saya juga mendapat WA testimoni suka rela dari
Sudi Silalahi. Ia mantan sekretaris kabinet. Letnan Jenderal purnawirawan. “Mas DI, Alhamdulillah, sejak ambil darah
sample, sampai dengan pasca suntik Vaknus tidak ada keluhan apa-apa,”
tulisnya. Jam 17.00 kemarin saya menelepon Pak Sudi. Dengan ragu. Saya ingin
testimoni lebih banyak. Tapi saya tahu, di bulan puasa seperti ini, pada jam
seperti itu Pak Sudi pasti sudah di masjid. Testimoni lainnya dari pionir VakNus:
Aburizal Bakrie. Ia konglomerat yang pernah kesasar ke politik. Kemarin adalah hari ke-6 setelah disuntik
VakNus. “Tidak ada keluhan apa-apa,” katanya. Tiga tokoh itu sudah tua semua. Punya
penyakit-penyakit ikutan semua. Pak Ical –nama panggilan Aburizal Bakrie–
hari itu disuntik bersama istri, anak, dan sekretaris. Anaknya yang perempuan,
Anindhita Anestya Bakrie. Empat-empatnya, kata beliau, tidak punya keluhan. Dengan demikian tidak perlu menulis apa pun
di formulir keluhan. Semua relawan VakNus memang diberi segepok dokumen. Ada
penjelasan teknis. Ada hak dan kewajiban relawan. Ada formulir kesediaan
secara suka rela. Ada pula lembaran untuk pelaporan keluhan. Relawan harus menulis apa pun keluhan yang
dirasakan. Termasuk yang paling ringan sekali pun. Bahkan pun yang tidak ada
hubungannya dengan VakNus. Misalnya: diserempet sepeda motor. Di samping menulis keluhan mereka juga
harus menulis telah melakukan tindakan apa. Misalnya untuk yang pusing, minum
obat apa. Semua harus ditulis dalam laporan sebagai persyaratan jadi objek
penelitian. Lalu mereka memperoleh daftar nomor telepon
yang harus dihubungi kalau ada perkembangan yang dianggap penting atau
darurat. “Saya tidak menulis apa-apa. Demikian juga
istri, anak saya, dan sekretaris saya,” kata Pak Ical. “Saya juga tidak menulis apa-apa.
Benar-benar tidak ada keluhan,” ujar Siti Fadilah. Tapi mereka itu mungkin seperti saya:
relawan yang tidak masuk daftar objek penelitian. Saya ternyata tidak
memenuhi syarat jadi objek penelitian. Itu karena saya harus minum obat
penurun imunitas. Setiap hari. Sejak transplant hati 15 tahun lalu. Untuk
seumur hidup saya. “Kalau saya ini tidak tahu masuk objek
penelitian atau tidak,” ujar Pak Ical. “Terserah tim peneliti. Kalau memenuhi
syarat silakan masukkan. Kalau tidak jangan dimasukkan,” tambahnya. Saya sendiri sebenarnya berharap dokter
Terawan mengalah. Lakukanlah tahap penelitian sejak dari binatang lagi.
Memang rugi waktu. Memang tidak cocok dengan prinsip kedaruratan. Memang bisa
bilang ”untuk apa lagi?” Atau: bukankah penelitian lewat binatang itu sudah
dilakukan di Amerika? Tapi para pengkritik Anda sekarang ini
mempersoalkan itu: atas nama doktrin penelitian normal. Para pengritik Anda
tidak mengakui adanya kedaruratan. Mereka bilang: penelitian lewat binatang
di Amerika itu kan untuk kanker. Sejak awal saya juga setuju jalan tengah:
kalau begitu janganlah VakNus ini disebut vaksin. Ide I-Nu dari dr Tifa itu
juga sangat seksi. Pikiran seperti itu muncul karena saya
sangat takut ide mengembangkan VakNus ini macet di tengah jalan. Saya
membayangkan kalau VakNus ini berhasil, inilah saatnya Indonesia tampil di
peta bumi secara global. Apalagi saya memang orang yang suka
mengalah – -sesekali. Jadi saran untuk mengalah tadi lebih mencerminkan sikap
pribadi saya. Mumpung sudah terbukti: di masa darurat ini
anak bangsa mampu melahirkan ventilator (ITB) dan deteksi Covid Ge-Nose
(UGM). Tapi syukurlah ide pengembangan VakNus ini
tidak sampai macet. MoU tiga instansi telah menemukan jalan tengah itu:
TNI-AD, BPOM, dan Kemenkes. Dengan MoU itu penelitian VakNus –atau apa
pun namanya– tetap bisa dilakukan. Yakni di RSPAD. Bahkan proses pengambilan
darah objek penelitian sudah selesai. Sudah mencapai jumlah yang
dipersyaratkan dalam penelitian fase 2. Sebagian, bahkan, sudah disuntikkan.
Sebagian lagi, seperti rombongan saya, mendapat giliran Selasa depan. Saya harus minta maaf kepada calon relawan
yang ingin jadi objek penelitian yang mendaftar lewat saya. Tidak bisa lagi.
Jumlahnya sudah mencukupi. Saya anjurkan untuk ikut vaksinasi lain yang
digalakkan sekarang. Atau ikut jadi relawan fase 3 kelak. Atau ikut ramai-ramai jadi relawan salah
satu Vaksin Merah Putih. Unair, UI, UGM, LIPI, Eijkman lagi mengembangkan
itu. Dengan cara mereka sendiri-sendiri. Tinggal kita tunggu kapan salah satu
dari lima Vaksin Merah Putih itu memasuki uji coba fase 1. Saya juga berharap
dengan sabar siapa yang duluan memasuki fase 1 itu. Merah Putih adalah Nusantara. Nusantara
adalah Merah Putih. ● https://www.disway.id/r/1293/jalan-tengah-nusantara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar