Jack
Ma dan Kisah Utang yang Meliliti Warga (1) Simon Saragih ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 28 April 2021
Setelah
kemajuan pesat pada 2012, kegiatan keuangan yang disebut peer to peer (P2P)
lending di China mulai anjlok drastis pada 2020. Ada krisis yang berlangsung
selama lima tahun dalam bisnis P2P. Uniknya, hal itu secara langsung atau
tidak langsung telah mengimbas ke Jack Ma, pendiri Alibaba. Dia diminta
mendivestasikan semua saham di Ant Group, dengan bisnis yang mengandalkan
teknologi keuangan, lebih luas dari sekadar P2P. Bagaimana bisa demikian?
Berikut ulasannya pada dua tulisan bersambung. Sulit membayangkan pinjaman awal Rp 4,5
juta melejit menjadi Rp 675 juta atau 150 kali lipat hanya dalam dua tahun.
Namun, itulah kenyataan yang menimpa Sheng, seorang mahasiswa dari Provinsi
Jiangxi, China. Kisah ini dituliskan di situs The China Global Television
Network (CGTN), 31 Desember 2017. Kisahnya, pada 2015 Sheng meminjam 2.000 yuan
setara Rp 4,5 juta dari Laifenqi. Ini adalah perusahaan keuangan internet
(internet finance) yang menjembatani pemilik dana dan peminjam, dikenal
sebagai peer to peer (P2P) lending. Memang niat Sheng tidak pas, dia ingin
berinvestasi di bursa saham dan perdagangan berjangka. Ini adalah salah satu
jenis investasi yang bersifat spekulatif. Investasi Sheng tersebut kemudian
terbukti merugi. Sheng kembali meminjam dari perusahaan lain
sejenis hanya untuk membayar utang pertama beserta bunganya. Awalnya Sheng
tak sadar akan jebakan-jebakan yang dibuat perusahaan-perusahaan P2P. Tidak
disebutkan, apakah Sheng menambah lagi jumlah pinjaman untuk melanjutkan
investasi spekulatif itu dan sekaligus membayar utang lama. Akan tetapi, The CGTN menuliskan investasi Sheng
merugi lagi. Ia semakin sulit membayari utang berbunga tinggi. Namun, Sheng
terus meminjam dari perusahaan lain sejenis. Utangnya pun meningkat mirip
bola salju yang menggelinding dan membesar di luar dugaannya. Rupanya selama dua tahun, Sheng meminjam
dari 90 perusahaan P2P untuk gali lubang tutup lubang, sementara lubang
semakin menganga. Beberapa perusahaan mengenakan bunga pinjaman hingga 2.000
persen. Jangka waktunya tidak disebutkan tetapi pasti dalam tempo kurang dari
dua tahun. Kepada CCTV, ayah Sheng mengatakan, ”Saya
salah, tidak mendidik anak dengan baik. Saya akan membayar utang putra saya
sepanjang bunganya masuk akal.” Berdasarkan aturan di China, bunga pinjaman
otomatis invalid jika besarannya melampaui 36 persen dalam setahun. ”Memalukan” Sheng bukan orang pertama yang terjebak
pinjaman online yang tidak saja mencekik, tetapi bisa dikatakan ”membunuh”.
Mahasiswa lainnya dengan nama singkat Zheng dari Provinsi Henan bunuh diri
pada Maret 2016 setelah gagal membayar utang sebesar 600.000 yuan, seperti
diberitakan The Beijing News, yang dikutip The CGTN. ”Jangan datang mengambil
jasadku,karena memalukan,” demikian Zheng menuliskan kepada ayahnya, Zheng
Xianqiao, asal Qingdao yang mendatangi jasad putranya di Dengzhou, Provinsi
Henan, 15 Juli 2017 (Reuters, 27 September 2017). Sang ayah bernama Zheng Xianqiao, seorang
petani, membayari 120.000 yuan bagian dari utang putranya. ”Pinjaman telah
menghancurkan hidup anakku,” katanya. Reuters menuliskan, pinjaman berbunga
sangat tinggi telah menggandakan besaran utang anaknya dalam tempo yang
cepat. Peminjam yang merupakan mahasiswa, tidak berpenghasilan, terus
diganggu dan didesak perusahaan lewat penagih utang. Dalam kasus lain, para investor (pemilik
dana lebih) di Ezubao, sebuah perusahaan P2P yang lain, tiba-tiba kehilangan
dana. Ezubao jatuh bangkrut pada 2015. Para nasabah yang dijanjikan imbalan
empat kali lebih tinggi dari simpanan di perbankan biasa terpaksa gigit jari.
Kebangkrutan Ezubao disebut karena perusahaan menjalankan bisnis mirip skema
Ponzi, yang juga mengorbankan para nasabah hingga dengan profil kelas atas. Situs The South China Morning Post edisi 7
Januari 2020 juga menuliskan seorang nasabah penyimpan dana (investor)
mengakhiri hidupnya karena uangnya raib di sebuah perusahaan P2P, yang
menjanjikan untung besar. Masalah bunuh diri tidak hanya menimpa nasabah
peminjam, tetapi juga investor di P2P. Ada lagi masalah lain, seperti diberitakan
The Global Times edisi 10 Agustus 2018. Para debitor sebuah perusahaan P2P lari
dari tanggung jawabnya untuk membayar pinjaman. Masih di harian The Global
Times pada edisi 13 Agustus 2018, dituliskan kisah pengelola perusahaan P2P
yang melakukan transfer dana ilegal dan mencoba melarikan diri dari tanggung
jawab. Kasusnya, dana milik investor P2P digelapkan dan pengelola mencoba
cuci tangan. Mengimbas
ke Jack Ma Bisnis pinjaman daring yang bermasalah
inilah bagian dari keuangan internet yang juga dibangga-banggakan pendiri
Alibaba, Jack Ma. Ant Group, milik Jack Ma, juga memiliki salah satu divisi
yang bergerak di bidang P2P. Ant malah melejit dalam bisnis ini, bahkan
hendak menawarkan saham perdana ke publik (IPO). Inti dari puja-puji Jack Ma terhadap
keuangan internet, kadang disebut financial technology atau teknologi
finansial (tekfin), menolong para peminjam perorangan hingga jenis usaha
skala menengah dan kecil, yang selama ini tidak mendapatkan akses terhadap
perbankan tradisional. Tekfin memberi akses baru, termasuk untuk urusan
pinjam-meminjam. Jack Ma yang juga salah satu orang terkaya
di China mengkritik sistem keuangan lama yang malah memberi pinjaman kepada
perusahaan kaya, tetapi tidak pintar mengalokasikan dana tersebut. Dampaknya,
penggunaan dana tidak efisien. Dan pola keuangan lama tidak melirik usaha
kecil dan kurang bonafide. Ucapan Jack Ma benar. Ada perkembangan dan
pendalaman di sektor keuangan yang tidak dialami negara mana pun di dunia
ini. Adalah China yang juga menjadi ajang bisnis P2P terbesar di dunia dan
ada sisi positif dari P2P yang membuka akses keuangan bagi lebih banyak warga
dibandingkan dengan sistem perbankan tradisional. Melejit
lalu bermasalah Perusahaan P2P berbisnis lewat teknologi
internet. Persyaratan pengajuan pinjaman P2P sangat sederhana, cukup dengan
menunjukkan kartu identitas dan data sederhana lainnya. Proses pencairan
pinjaman bahkan bisa hanya hitungan detik. Dana-dana perusahaan P2P berasal
dari para investor yang tergiur untung tinggi. Namun, di balik sisi positif itu, terlalu
banyak masalah yang menghebohkan negara, khususnya periode 2015-2020. Pada
umumnya perusahaan P2P awalnya tidak mendapatkan pengawasan dari otoritas
walaupun kegiatannya sangat mirip dengan kegiatan simpan-pinjam, termasuk
mirip dengan perbankan tradisional. Hal tersebut mendorong para investor
oportunis atau pengusaha petualang memanfaatkan kesempatan untuk melakukan
fraud (penipuan). Tentu, bukan petualang yang merugikan publik seperti itu
yang dikehendaki Jack Ma. Namun, para petualang diduga lebih banyak di dalam
bisnis P2P tersebut selama periode 2015-2020. Akibatnya, industri P2P yang dimulai pada
2012 dan berkembang pesat kemudian heboh dengan tingkat kebangkrutan tinggi.
Masalahnya, pada P2P di China ditemukan banyak penipuan. Pada 2016
diperkirakan sebanyak 40 persen perusahaan P2P menjalankan bisnis mirip skema
Ponzi. Masalah lain, perusahaan P2P kadang
terkesan menjebak kaum muda pada konsumerisme, termasuk para mahasiswa, dan
tidak peduli tentang kemampuan membayar para peminjam di kemudian hari. Xin
Xiaojun, seorang mitra di Beijing Changheng Law Firm, mengatakan, para
mahasiswa seharusnya diedukasi tentang masalah keuangan serta mendapatkan
petunjuk psikologis untuk menghindari konsumerisme. Ada banyak kasus lain dalam industri P2P di
China, termasuk pemalsuan indentitas dan pemakaian indentitas orang lain.
Lebih parah lagi, ditemukan kasus beberapa perempuan peminjam dana, dengan
memegang kartu identitas mereka dipotret dan direkam video tak senonoh.
Potret dan video ini dijadikan ancaman, yakni akan dipajang di internet jika
utang tak dibayar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar