Ironi
Peringatan World Heritage Day di Indonesia Adrian Perkasa ; Dosen Departemen Ilmu
Sejarah Universitas Airlangga, PhD Candidate Universiteit Leiden |
KOMPAS, 23 April 2021
Pekan lalu masyarakat di seluruh dunia
merayakan Hari Warisan Dunia (World Heritage Day). Banyak kalangan di
Indonesia, khususnya komunitas, individu, ataupun lembaga, yang berkecimpung
di bidang yang terkait dengan warisan budaya ikut meramaikannya. Ironisnya pada
saat yang bersamaan, beberapa bangunan bersejarah terancam kelestariannya
karena akan dijual oleh pemiliknya. Beberapa bangunan tersebut, seperti yang
ramai diberitakan di media, antara lain, kediaman Ahmad Subardjo di Jakarta,
Gedung NILLMIJ di Bandung, dan Gedung Singa di Surabaya. Bangunan pertama
yang merupakan rumah tinggal Menteri Luar Negeri Pertama Republik Indonesia
memang belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Mengingat nilai penting dari sisi
historisnya, Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta tengah melakukan kajian
terhadap rumah tinggal itu untuk segera ditetapkan sebagai cagar budaya.
Undang-Undang (UU) Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa obyek
yang sedang dikaji harus diperlakukan sebagai cagar budaya (Kompas.com,
13/4/2021). Dua bangunan yang terancam lainnya
merupakan bangunan milik PT Asuransi Jiwasraya yang telah ditetapkan sebagai
cagar budaya. Kedua bangunan tersebut terletak di lokasi strategis, baik di
Bandung maupun di Surabaya. Baik dari sisi sejarah maupun kebudayaan,
khususnya dari aspek arsitektur, keduanya memiliki banyak nilai penting.
Gedung Jiwasraya di Bandung memiliki langgam art-deco dan neoklasik yang
kemudian menjadi ciri khas gaya arsitektural pada akhir abad ke-19 hingga
awal abad ke-20. Gedung Singa di Surabaya, yang juga masuk
dalam daftar lelang PT Asuransi Jiwasraya, dirancang oleh arsitek ternama HP
Berlage. Salah satu bangunan ikonik Berlage adalah Beurs van Berlage yang
terletak di kota Amsterdam negeri Belanda. Salah satu ciri utama rancangan Berlage
adalah melawan arus utama gaya arsitektural pada masa peralihan abad ke-19
dan ke-20 sehingga ia dijuluki sebagai Bapak Arsitektur Modern di Belanda.
Gedung Singa merupakan satu-satunya gedung rancangan Berlage di Surabaya. Tidak heran mengingat arti penting
bangunan-bangunan bersejarah tersebut, banyak pengamat dan komunitas yang
menentang rencana penjualan ataupun pelelangannya. Di Kota Surabaya,
misalnya, Komunitas Begandring Soerabaia melakukan berbagai aksi seperti
memasang poster berisi peringatan apakah pihak PT Jiwasraya telah menawarkan
gedung tersebut kepada Pemerintah Kota sebelum dilelang untuk umum. Selain
itu, berbagai simpati juga datang, baik dari Tim Ahli Cagar Budaya hingga
para pemerhati cagar budaya dari luar negeri. Namun, apakah pengalihan kepemilikan suatu
cagar budaya melanggar aturan terkait cagar budaya di Indonesia? Di dalam UU
yang berlaku, penjualan suatu cagar budaya secara eksplisit tidak dilarang.
Disebutkan dalam Pasal 16 bahwa dalam pengalihan kepemilikan, negara harus
didahulukan. Hanya saja, tidak ada aturan yang lebih rinci terkait pengalihan
kepemilikan. Pasal ini ditutup dengan ayat yang menerangkan bahwa ketentuan
lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah. Sayangnya, menunggu terbitnya peraturan pemerintah
yang mengatur hal-hal spesifik dalam UU ini bisa diibaratkan seperti sebuah
lakon drama, ”Menunggu Godot”. Lebih dari 10 tahun berlalu sejak
ditetapkannya UU Cagar Budaya, belum tampak ada tanda-tanda bahwa peraturan
pemerintah atau peraturan lain yang menjelaskannya lebih rinci akan dirilis
dalam waktu dekat. Alih-alih mengeluarkan aturan yang lebih
rinci, pemerintah kemudian menerbitkan UU baru lagi terkait kebudayaan, yakni
UU Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017. Harus diakui bahwa UU ini menghasilkan
rancangan strategi kebudayaan Indonesia hingga beberapa dekade ke depan. Akan
tetapi, karena UU ini diletakkan sebagai aturan induk dalam urusan-urusan
kebudayaan, tentu tidak kita dapati adanya hal yang sifatnya detail terkait
urusan cagar budaya. Padahal harus diingat bahwa dari hari ke
hari, kondisi cagar budaya, khususnya yang terletak di perkotaan, makin
rentan. Kerentanan tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor yang
sifatnya fisik, tetapi juga faktor lainnya. Lokasi cagar budaya perkotaan pada umumnya
sangat strategis karena berada di pusat kota atau kawasan bisnis. Kondisi ini
menyebabkan banyaknya bangunan-bangunan bersejarah dihancurkan dan digantikan
dengan bangunan baru yang dianggap lebih menguntungkan. Hal tersebut diperparah dengan minimnya
insentif bagi pemilik bangunan cagar budaya perkotaan. Di dalam UU Cagar
Budaya telah disebutkan bahwa pemilik cagar budaya berhak menerima insentif,
baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Insentif tersebut dapat
berupa pengurangan pajak maupun lainnya. Namun sekali lagi, ketentuan yang lebih
rinci terkait insentif ini juga baru akan dimasukkan dalam peraturan
pemerintah yang belum jelas rimbanya. Tentu, adalah hal yang lumrah apabila
pihak pemilik cagar budaya perkotaan merasa lebih baik menjualnya karena
beban pengeluaran yang besar dalam melestarikan bangunan tersebut. Pengalihan kepemilikan kepada pemerintah
pusat atau daerah juga bukan solusi yang berkelanjutan. Memang beberapa
bangunan bisa saja dimiliki oleh pemerintah karena pertimbangan nilai
pentingnya. Akan tetapi, mengingat banyaknya sebaran peninggalan cagar budaya
perkotaan, maka tentu semua aset tersebut tidak bisa dibeli oleh pemerintah. Oleh karena itu, yang dibutuhkan segera
untuk menjawab tantangan pelestarian cagar budaya perkotaan bukanlah
pemerintah yang bisa membeli semua aset tersebut, melainkan pemerintah yang
memiliki visi pelestarian cagar budaya yang berkelanjutan. Dengan
memperhatikan aspek keberlanjutan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah
daerah, harus berperan menjadi simpul antara berbagai kepentingan dalam
pelestarian cagar budaya. Visi berkelanjutan ini melampaui pandangan
umum selama ini yang hanya menjadikan cagar budaya sebagai aset pariwisata
belaka. Dengan visi ini, pemerintah kota sesungguhnya bisa melakukan
pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya yang lebih beragam. Tidak hanya
melulu sebagai destinasi wisata, bangunan cagar budaya perkotaan, juga bisa
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari perkantoran hingga
permukiman. Sebagai contoh, karya Berlage lainnya
adalah Beurs van Berlage di Amsterdam yang dikelola oleh suatu manajemen
tersendiri, di mana Pemerintah Kota Amsterdam hanya merupakan salah satu di
dalamnya. Maka tak heran gedung ini bukan hanya menjadi aset pariwisata,
melainkan juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan lain, seperti gedung
pertemuan, restoran, dan kantor. Bahkan, Raja Belanda Willem-Alexander
merayakan resepsi pernikahannya di gedung ini. Mengingat semakin banyaknya inisiatif dari
masyarakat terkait pelestarian cagar budaya di beberapa kota di Indonesia,
tentu pemerintah juga harus segera meresponnya. Sebaiknya pemerintah daerah,
khususnya pemerintah kota, baik di Jakarta, Bandung, Surabaya, maupun lainnya
bisa merangkai inisiatif-inisiatif tersebut dan menjadikannya momentum untuk
bisa mengurai sengkarut pelestarian cagar budaya perkotaan di tempatnya
masing-masing. Jangan kaget apabila pemerintah daerah
berhasil mewujudkan visi pelestarian cagar budaya berkelanjutan ini, nantinya
justru pemerintah pusat yang akan banyak belajar untuk menambal lubang-lubang
yang terdapat dalam UU Cagar Budaya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar