Hati-hati
Politik Sejarah AZYUMARDI AZRA ; Profesor UIN Jakarta;
Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 29 April 2021
”When
the past speaks it always speaks as an oracle; only if you are an architect
of the future and know the present will you understand it” (Friedrich Nietzsche, On the Advantage and
Disadvantage of History for Life, 1874). Sejarah menjadi gaduh. Atau periwayatan
sejarah yang membuat gaduh masyarakat. Kegaduhan soal ini cenderung cepat
eskalatif karena terkait kekuasaan politik, kementerian/lembaga, dan
birokrasi pemerintah. Publik memandang sumber masalah adalah ”politik
sejarah” pemerintah dengan menampilkan ”sejarah” problematis. Hampir selalu ada kontestasi antara
”sejarah resmi” yang dikeluarkan institusi negara atau pejabat pemerintah
yang mengandung motif politik dan ideologi politik rezim penguasa atau
kroninya. Ketika rezim penguasa sangat kuat, seperti di masa Orde Baru,
publik tak punya ruang menantang sejarah resmi. Presiden Soeharto kukuh tak
tergoyahkan dengan politik sejarah meninggikan status quo kekuasaan dan
ideologinya semacam ”Janur Kuning” atau ”Serangan Umum 1 Maret”. Akan tetapi, kini di masa kebebasan—walau
sering disebut merosot belakangan
ini—publik bisa meneriakkan penentangan dan kecaman atas ”sejarah resmi” yang
dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena penentangan masif
lewat sejumlah media, instansi pemerintah ini tidak bisa memaksakan ”sejarah resmi”.
Sebaliknya, para pejabat tingginya buru-buru menyatakan akan merevisinya; dan
juga melobi elite agama yang marah. Seharusnya, seperti ditegaskan sekitar satu
setengah abad lalu oleh filsuf Friedrich Nietzsche yang dikutip di atas,
(seyogianya) ketika masa silam (sejarah) berbicara, dia seharusnya selalu
dibiarkan berbicara seperti oracle. Sejarah adalah oracle, orang arif
bijaksana yang menjadi wasilah (perantara) menuju kebajikan. Akan tetapi, penguasa tidak selalu
membiarkan sejarah menjadi oracle. Ini bukan kesalahan sejarah itu sendiri.
Sejarah dapat kehilangan kebijakan ketika penguasa sengaja atau lalai membuat
kekeliruan atau kesesatan (fallacies) dalam periwayatan sejarah. Mereka
menggunakan peneliti sejarah atau orang yang mengklaim atau diklaim sebagai
”sejarawan” atau mereka yang berpendidikan sejarah untuk membuat historical fallacies. Karena itu, seperti ditegaskan Nietzsche,
hanya jika ”Anda arsitek masa depan dan mengetahui hari ini, Anda dapat
memahami sejarah sebagai oracle”. Melanjutkan, hanya dengan begitu, Anda
tidak terjerumus dalam ”kesesatan
penulisan sejarah” dan kegaduhan politik akibat pembuatan ”sejarah resmi”
yang tidak perlu. Kegaduhan tentang sejarah di ranah publik
Tanah Air kini terkait dua buku yang penulisan dan penerbitannya disponsori
Kemendikbud. Pertama, Kamus Sejarah Indonesia: Jilid I Nation Formation
1900-1950 (Ditjen Kebudayaan, 2017) dan kedua, Kamus Sejarah Indonesia: Jilid
II Nation Building 1951-1998 (Ditjen Kebudayaan: 2017). Sebelum menyinggung masalah metodologi dan
substansi, pihak Kemendikbud tak patut memberi judul buku secara ”gado-gado”:
antara judul induk berbahasa Indonesia dan anak judul berbahasa Inggris.
Tidak ada alasan penting dan masuk akal memakai bahasa Inggris sebagai anak
judul. Apakah anak judul ”Pembentukan Bangsa” (Jilid I) dan ”Pembangunan
Bangsa” kurang keren? Ini kontradiktif. Kemendikbud punya Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa lokal).
Kemendikbud lebih baik dan produktif menertibkan soal bahasa ini daripada
menerapkan politik sejarah yang gaduh. Apakah motivasi penulisan buku tersebut?
Berprasangka baik, penulisan kedua jilid itu agaknya didasari keinginan
menyajikan ringkas tokoh atau figur
penting dalam perjalanan sejarah Indonesia sejak masa pembentukan bangsa
sampai era pembangunan kontemporer. Figur atau tokoh terkait subyek ini, yang
dimuat, terdiri dari tokoh Indonesia dan juga orang Belanda semasa
penjajahan. Ada pula dalam jumlah terbatas istilah atau
nomenklatur terkait birokrasi pemerintahan; lembaga sosial, budaya dan agama;
nama organisasi atau kelompok masyarakat; ormas agama dan istilah agama. Ada
juga peristiwa yang dipandang tim penulis sebagai kejadian sejarah penting. Tidak jelas kriteria dan parameter
pemilihan tokoh, istilah, lembaga atau
ormas untuk dimuat dalam ”kamus” ini. Mestinya ada metodologi yang,
misalnya, mencakup kriteria dan ukuran obyektif yang bisa
dipertanggungjawabkan secara metodologi ilmu sejarah dan substansi nilai atau
signifikansi sejarahnya. Ketiadaan metodologi menyebabkan pemilihan
entri tampak ”seingat” penulis atau editor. Banyak tokoh penting anak negeri,
khususnya ulama dan sosok pergerakan
dari NU, Muhammadiyah, HMI, dan ormas lain tak masuk. Jika kamus mau
menjelaskan ”pembentukan bangsa” dan ”pembangunan bangsa”, mereka yang masuk
harus anak negeri pejuang; bukan pejabat Belanda kolonial. Sebaliknya, ada nama-nama kontroversial
masuk. Mereka mencakup tokoh ”kiri” (komunis teroristik) dan ”kanan”
(ekstremis agama teroristik) yang dengan
kekerasan mengkhianati ”pembentukan bangsa” dan ”pembangunan bangsa”.
Begitu juga dalam pemilihan nomenklatur, lembaga, peristiwa yang tidak jelas kriterianya. Banyak
entitas penting yang berperan signifikan dalam ”pembentukan bangsa” dan
”pembangunan bangsa” terabaikan. Oleh karena itu, kedua kamus ini harus
direvisi total. Revisi itu tidak cukup tambal sulam dengan menambahkan
tokoh-tokoh penting yang belum masuk. Atau hanya mengeluarkan mereka yang
terlalu kontroversial sebagai pelaku gerakan dan aksi anti-NKRI, Pancasila,
UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Penulisan sejarah dan penerapan politik
sejarah harus hati-hati. Kamus ini perlu revisi komprehensif. Mesti
ada pertanggungjawaban akademis-ilmiah sesuai ilmu sejarah. Perlu jelas
kriteria dan parameter kenapa seseorang atau entitas tertentu ”wajib”
tercakup, sebaliknya ada orang atau entitas tertentu ”haram” masuk. Penulis entri mesti mereka yang punya
pendidikan sejarah (historian by training), peminat sejarah, ataupun penulis
yang pernah menulis karya sejarah. Patut dihindari dalam penentuan entri dan
penulisan, pelibatan pejabat pemerintah dan orang yang bukan sejarawan atau
tak bergerak dalam penulisan sejarah. Harus dihindari pelibatan orang dalam
tim penulisan karena pertimbangan politis. Penulisan kamus sejarah Indonesia patut
diklasifikasikan menjadi: pertama, kamus biografi tokoh; kedua, kamus
lembaga; ketiga, kamus peristiwa; dan keempat, kamus nomenklatur. Tradisi kamus biografi absen di
historiografi prakolonial, era kolonial, dan kemerdekaan Indonesia. Hanya
dalam beberapa tahun terakhir mulai muncul sejarah ulama Kepulauan Nusantara
sejak abad 16-17 Masehi. Membandingkan format kamus biografi
(Inggris dan Arab) dengan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II, penulisan
biografi tokoh dalam kedua buku ini sangat lemah metodologis dan substantif.
Kebanyakan biografi tidak memuat data pokok tokoh, seperti tahun kelahiran
dan kematian, atau pendidikan seperti lazim ditemukan dalam genre
biographical dictionary atau tarajim di kawasan lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar