Daniel
Dhakidae Berkisah tentang Seorang ”Chevalier”, Poncke Princen Daniel Dhakidae ; Peneliti di Harian Kompas |
KOMPAS,
09 April
2021 (27 November 1995)
Ketika saya menghadiri pesta ulang tahun
Poncke Princen beberapa hari yang lalu di salah satu restoran di Jakarta
semua kesan tentang pesta itu sudah bisa dibaca di mulut jalan. Jalan masuk
yang sempit hampir tidak mampu menampung berjubelnya para penggemar,
handai-taulan yang datang. Para hadirin adalah campuran dari semua
yang bisa disebut sebagai para pemberontak empat zaman: yang berontak melawan
Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Semua ini memang masuk akal karena
yang dipestakan ini adalah seorang pemberontak par excellence: Johanes
Cornelis Princen, seorang yang berontak melawan dirinya, berontak melawan
negaranya yang lama, dan juga berontak melawan negaranya yang baru. Mengapa melawan dirinya? Hipotesis berikut
ini bisa menjelaskannya. Bila kulitnya yang putih bisa dihitamkan atau
disawomatangkan, kulit itu juga mestinya sudah dia hitamkan atau dia
sawomatangkan, lima puluh tahun lalu. Dia gagal dalam bidang ini karena ini
adalah kurnia alami yang susah menerima intervensi manusia. Berontak melawan negaranya, Belanda. Dia
berhasil di sini karena negara adalah artifisial, buatan manusia, suatu
struktur kekuasaan hasil hubungan antarmanusia; karena itu dia memutuskan
untuk membubarkan buatan orang bagi dirinya, dan menggantikannya lagi dengan
buatan orang lain lagi dengan melepaskan kewarganegaraan Belanda dan
mengambil kewarganegaraan Indonesia. Ketika di tengah pesta dia meluncurkan buku
yang dipersembahkan teman-temannya dengan judul Gerilya yang tak Pernah
Selesai, tidak ada yang terkejut meski—pada hemat saya—semuanya serba
anakronik karena bergerilya di tengah kemakmuran ekonomi semakin sulit
dipahami lagi. Gerilya yang tidak mengenal kata ”selesai”
juga tidak kurang anakroniknya di tengah zaman ketika sebagian besar orang
percaya bahwa sejarah sudah tiba di ujungnya seperti yang diributkan oleh
tesis the end of history. Tetapi, justru yang saya sebutkan sebagai yang
anakronik itulah persoalan yang begitu dalam merasuk ke diri Poncke,
begitulah dia dipanggil teman-temannya. Mengapa
berontak? Salah satu alasan seperti yang dikemukakan
oleh Mangunwijaya di dalam buku ini adalah het moeten kiezen, harus memilih.
Kata-kata ini diambil dari surat Poncke kepada ibunya di Belanda ketika dia
memutuskan menjadi warga negara Indonesia. Menurut penilaiannya hidup ini hampir-hampir
tidak mengandung dasar apa pun untuk dijalankan; ia lebih menjadi perburuan
terus-menerus tanpa pernah mengecapi hasil perburuan itu. Suatu kata lain
untuk kesia-siaan. Karena itu harus diberikan dasar agar ada maknanya dan
dasar itu tidak akan ada selain dasar yang diberikan sendiri dan menjadi
hasil pilihan sendiri untuk menghadapi hidup. Itulah yang dia kerjakan. Pada setiap tahap
dalam hidupnya dia dipaksa atau lebih tepat dia memaksa dirinya untuk memilih
terus- menerus. Dia memilih melawan Nazi Jerman. Ketika mau dikirim ke
Indonesia untuk menumpaskan para pejuang Indonesia dia memilih untuk tidak
mendaftarkan diri, dan lari ke Perancis. Lebih baik menjadi buruh pemetik
anggur daripada membunuh para pejuang Indonesia. Tetapi, ketika ibunya sakit keras dia harus
ke Belanda lagi ia ditangkap dan dihukum sebagai seorang desertir. Waktu
itulah dia harus menghadapi kenyataan bahwa dia tidak senantiasa bisa lagi
memilih. Dia terpaksa menerima saja tawaran bahwa
dosanya kepada negara akan diampuni kalau dia mau dikirim ke Indonesia untuk
memberantas kaum ekstremis dan pemberontak pribumi yang melawan pemerintah
yang, pada waktu itu, disebut pemilik sah Hindia Belanda. Dosanya memang diampuni oleh negara. Dia
berangkat dan menjadi een soldaat van het Koninklijk Leger, serdadu Angkatan
Darat Kerajaan. Dengan begitu dia sudah menjalani
serangkaian tugas yang bukan hasil pilihannya sendiri dalam Angkatan Darat
Belanda. Mungkin itu membosankan hidupnya, dan salah satu ulahnya adalah
memilih untuk kembali ke dalam prinsipnya yaitu het moeten kiezen. Berulang kali dia dihukum karena melanggar
disiplin militer Belanda. Kalau di dalam istilah militer dia dituduh sebagai
melanggar disiplin, pada hemat saya dia sebenarnya sedang menjalan prinsip
memilih itu. Dan di sana terjadi tabrakan dua kebutuhan: disiplin baja
seorang serdadu, dan kebebasan. Salah satu harus menyerah. Dia memilih
kebebasan. Karena itu akhirnya dia menjalankan het
moeten kiezen yang paling mendalam dan paling mengesankan dalam seluruh
hidupnya, yaitu menyeberang secara fisik, psikologis, dan eksistensial dan
memihak kepada Tentara Nasional Indonesia dan berjuang bersama Kala Hitam di
bawah pimpinan Kemal Idris untuk berjuang di Jawa Tengah, lantas kembali ke
Jawa Barat dan menjadi komandan pasukan dalam operasi di wilayah Bogor,
Sukabumi, dan Bandung. Dia seorang komandan yang berhasil. Dia
merebut senjata Belanda, menumpas pasukan Belanda. Namun, Belanda juga—dengan
bantuan pengkhianat seorang asisten wedana—yang akhirnya menghabiskan semua
orang yang dia cintai. Dalam suatu penggerebekan pasukan pimpinan
Poncke di Sukabumi semuanya, 15 orang, dibunuh. Istrinya, seorang wanita
Sunda, yang berusaha melawan ditembak mati dan bersamanya anak yang sedang
dikandungnya. ”Chevalier” Poncke sama sekali bukan serdadu
mercennarius karena dia sangat mempersoalkan perang, untuk siapa berperang
dan mengapa. Dia juga bukan serdadu profesional dari kategori regular army,
meski sudah menjadi een soldaat van het Koninklijk Leger. Begitu banyak kasus hukuman karena kelakuan
indisipliner, yang diceritakan buku ini, sudah membuktikan itu. Atau paling
jauh dia menjadi serdadu profesional Angkatan Perang Kerajaan Belanda karena
paksaan dan bukan hasil pilihannya sendiri. Dalam tafsiran saya dia termasuk ke dalam
kategori yang sangat klasik yang mewarisi tradisi chevalier dalam dunia
feodal Eropa zaman dulu, atau seorang kesatria dalam masa feodal Timur dari
zaman dongeng Mahabharata. Dialah seorang kesatria klasik dalam zaman modern
yang menjaga etika dan sekaligus etiket kekesatriaan. Ketika dia beralih dari perjuangan dengan
pedang ke perjuangan dengan pena untuk menjadi pendekar pembela hak asasi
etika yang sama tetap dibawanya. Pedang atau pena tidak membuatnya berbeda,
dan kalau dia masih muda tidak sulit diduga—bila keadaan memerlukan, bila
ketidakadilan memuncak, dan penindasan tak terkendalikan—dia serta-merta
beralih dari pena ke pedang. Dalam kegiatannya sebagai pembela hak asasi
sulit dibedakan apakah Poncke sedang berpedang atau berpena karena penanya
setajam pedangnya. Itu pula sebabnya mengapa begitu banyak hal
yang bertabrakan di dalam diri Poncke. Namanya sendiri pun sudah menunjukkan
tabrakan itu: Haji Johanes Cornelis! Dia begitu serius melihat hidup, tetapi
begitu main-main (playful) dengan menjadi seorang pengisi teka-teki silang
profesional—foto saat mengisi teka-teki silang di dalam buku ini (halaman 48)
sekaligus menjadi saksi dan dokumennya. Dia begitu kaku dalam etik kekesatriaannya,
tetapi begitu terbuka dalam seluruh konsep tentang universalisme dirinya dan
dengan itu seluruh ideal tentang negara. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan
humanisme universal. Baginya manusia konkret, dengan persoalan konkret yang
terikat dalam sejarah dan kebudayaannya jauh lebih penting. Yang universal adalah Poncke dan kehidupan.
Dia mendefinisikan dirinya sendiri menurut jenis hidup konkret di sekitarnya
sambil mempersetankan batas negara. Baginya—sebagaimana dikutip dalam buku
ini oleh beberapa penulis—tidak ada prinsip right or wrong my country. Yang
ada adalah right is right and wrong is wrong. Dia menarik garis tegas antara struktur
kekuasaan baik dalam yang disebut bangsa maupun dalam yang disebut negara dan
manusia sebagai unsur konstitutif bangsa dan negara itu. Negara hanya sampai sebatas kulit Poncke,
kekerasan tidak membuatnya berubah. Karena itu juga tidak ada pengertian
batas negara di dalam dirinya. Kulitnya dan dirinya adalah batas paling jauh
negara itu, termasuk dirinya yang ringkih dalam umur tuanya. Negara tidak
tembus masuk ke hatinya. Tetapi, dia terikat jadi satu dengan kemanusiaan di
mana saja. Kalau dirinya adalah batas negara itu, maka
negara baginya adalah negara tanpa batas, a borderless state, karena Poncke
tidak mengenal, dan mungkin tidak mengakui, batas tersebut. Itu alasannya
mengapa Poncke bergerak terus, berontak terus, bergerilya terus, dengan
pedang atau dengan pena, sampai dia tidak bisa lagi berontak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar