Jumat, 09 April 2021

 

Daniel Dhakidae Berkisah tentang Seorang ”Chevalier”, Poncke Princen

 Daniel Dhakidae ; Peneliti di Harian Kompas

                                      KOMPAS, 09 April 2021 (27 November 1995)

 

 

                                                           

Ketika saya menghadiri pesta ulang tahun Poncke Princen beberapa hari yang lalu di salah satu restoran di Jakarta semua kesan tentang pesta itu sudah bisa dibaca di mulut jalan. Jalan masuk yang sempit hampir tidak mampu menampung berjubelnya para penggemar, handai-taulan yang datang.

 

Para hadirin adalah campuran dari semua yang bisa disebut sebagai para pemberontak empat zaman: yang berontak melawan Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Semua ini memang masuk akal karena yang dipestakan ini adalah seorang pemberontak par excellence: Johanes Cornelis Princen, seorang yang berontak melawan dirinya, berontak melawan negaranya yang lama, dan juga berontak melawan negaranya yang baru.

 

Mengapa melawan dirinya? Hipotesis berikut ini bisa menjelaskannya. Bila kulitnya yang putih bisa dihitamkan atau disawomatangkan, kulit itu juga mestinya sudah dia hitamkan atau dia sawomatangkan, lima puluh tahun lalu. Dia gagal dalam bidang ini karena ini adalah kurnia alami yang susah menerima intervensi manusia.

 

Berontak melawan negaranya, Belanda. Dia berhasil di sini karena negara adalah artifisial, buatan manusia, suatu struktur kekuasaan hasil hubungan antarmanusia; karena itu dia memutuskan untuk membubarkan buatan orang bagi dirinya, dan menggantikannya lagi dengan buatan orang lain lagi dengan melepaskan kewarganegaraan Belanda dan mengambil kewarganegaraan Indonesia.

 

Ketika di tengah pesta dia meluncurkan buku yang dipersembahkan teman-temannya dengan judul Gerilya yang tak Pernah Selesai, tidak ada yang terkejut meski—pada hemat saya—semuanya serba anakronik karena bergerilya di tengah kemakmuran ekonomi semakin sulit dipahami lagi.

 

Gerilya yang tidak mengenal kata ”selesai” juga tidak kurang anakroniknya di tengah zaman ketika sebagian besar orang percaya bahwa sejarah sudah tiba di ujungnya seperti yang diributkan oleh tesis the end of history. Tetapi, justru yang saya sebutkan sebagai yang anakronik itulah persoalan yang begitu dalam merasuk ke diri Poncke, begitulah dia dipanggil teman-temannya.

 

Mengapa berontak?

 

Salah satu alasan seperti yang dikemukakan oleh Mangunwijaya di dalam buku ini adalah het moeten kiezen, harus memilih. Kata-kata ini diambil dari surat Poncke kepada ibunya di Belanda ketika dia memutuskan menjadi warga negara Indonesia.

 

Menurut penilaiannya hidup ini hampir-hampir tidak mengandung dasar apa pun untuk dijalankan; ia lebih menjadi perburuan terus-menerus tanpa pernah mengecapi hasil perburuan itu. Suatu kata lain untuk kesia-siaan. Karena itu harus diberikan dasar agar ada maknanya dan dasar itu tidak akan ada selain dasar yang diberikan sendiri dan menjadi hasil pilihan sendiri untuk menghadapi hidup.

 

Itulah yang dia kerjakan. Pada setiap tahap dalam hidupnya dia dipaksa atau lebih tepat dia memaksa dirinya untuk memilih terus- menerus. Dia memilih melawan Nazi Jerman. Ketika mau dikirim ke Indonesia untuk menumpaskan para pejuang Indonesia dia memilih untuk tidak mendaftarkan diri, dan lari ke Perancis. Lebih baik menjadi buruh pemetik anggur daripada membunuh para pejuang Indonesia.

 

Tetapi, ketika ibunya sakit keras dia harus ke Belanda lagi ia ditangkap dan dihukum sebagai seorang desertir. Waktu itulah dia harus menghadapi kenyataan bahwa dia tidak senantiasa bisa lagi memilih.

 

Dia terpaksa menerima saja tawaran bahwa dosanya kepada negara akan diampuni kalau dia mau dikirim ke Indonesia untuk memberantas kaum ekstremis dan pemberontak pribumi yang melawan pemerintah yang, pada waktu itu, disebut pemilik sah Hindia Belanda.

 

Dosanya memang diampuni oleh negara. Dia berangkat dan menjadi een soldaat van het Koninklijk Leger, serdadu Angkatan Darat Kerajaan.

 

Dengan begitu dia sudah menjalani serangkaian tugas yang bukan hasil pilihannya sendiri dalam Angkatan Darat Belanda. Mungkin itu membosankan hidupnya, dan salah satu ulahnya adalah memilih untuk kembali ke dalam prinsipnya yaitu het moeten kiezen.

 

Berulang kali dia dihukum karena melanggar disiplin militer Belanda. Kalau di dalam istilah militer dia dituduh sebagai melanggar disiplin, pada hemat saya dia sebenarnya sedang menjalan prinsip memilih itu. Dan di sana terjadi tabrakan dua kebutuhan: disiplin baja seorang serdadu, dan kebebasan. Salah satu harus menyerah. Dia memilih kebebasan.

 

Karena itu akhirnya dia menjalankan het moeten kiezen yang paling mendalam dan paling mengesankan dalam seluruh hidupnya, yaitu menyeberang secara fisik, psikologis, dan eksistensial dan memihak kepada Tentara Nasional Indonesia dan berjuang bersama Kala Hitam di bawah pimpinan Kemal Idris untuk berjuang di Jawa Tengah, lantas kembali ke Jawa Barat dan menjadi komandan pasukan dalam operasi di wilayah Bogor, Sukabumi, dan Bandung.

 

Dia seorang komandan yang berhasil. Dia merebut senjata Belanda, menumpas pasukan Belanda. Namun, Belanda juga—dengan bantuan pengkhianat seorang asisten wedana—yang akhirnya menghabiskan semua orang yang dia cintai.

 

Dalam suatu penggerebekan pasukan pimpinan Poncke di Sukabumi semuanya, 15 orang, dibunuh. Istrinya, seorang wanita Sunda, yang berusaha melawan ditembak mati dan bersamanya anak yang sedang dikandungnya.

 

”Chevalier”

 

Poncke sama sekali bukan serdadu mercennarius karena dia sangat mempersoalkan perang, untuk siapa berperang dan mengapa. Dia juga bukan serdadu profesional dari kategori regular army, meski sudah menjadi een soldaat van het Koninklijk Leger.

 

Begitu banyak kasus hukuman karena kelakuan indisipliner, yang diceritakan buku ini, sudah membuktikan itu. Atau paling jauh dia menjadi serdadu profesional Angkatan Perang Kerajaan Belanda karena paksaan dan bukan hasil pilihannya sendiri.

 

Dalam tafsiran saya dia termasuk ke dalam kategori yang sangat klasik yang mewarisi tradisi chevalier dalam dunia feodal Eropa zaman dulu, atau seorang kesatria dalam masa feodal Timur dari zaman dongeng Mahabharata. Dialah seorang kesatria klasik dalam zaman modern yang menjaga etika dan sekaligus etiket kekesatriaan.

 

Ketika dia beralih dari perjuangan dengan pedang ke perjuangan dengan pena untuk menjadi pendekar pembela hak asasi etika yang sama tetap dibawanya. Pedang atau pena tidak membuatnya berbeda, dan kalau dia masih muda tidak sulit diduga—bila keadaan memerlukan, bila ketidakadilan memuncak, dan penindasan tak terkendalikan—dia serta-merta beralih dari pena ke pedang. Dalam kegiatannya sebagai pembela hak asasi sulit dibedakan apakah Poncke sedang berpedang atau berpena karena penanya setajam pedangnya.

 

Itu pula sebabnya mengapa begitu banyak hal yang bertabrakan di dalam diri Poncke. Namanya sendiri pun sudah menunjukkan tabrakan itu: Haji Johanes Cornelis! Dia begitu serius melihat hidup, tetapi begitu main-main (playful) dengan menjadi seorang pengisi teka-teki silang profesional—foto saat mengisi teka-teki silang di dalam buku ini (halaman 48) sekaligus menjadi saksi dan dokumennya.

 

Dia begitu kaku dalam etik kekesatriaannya, tetapi begitu terbuka dalam seluruh konsep tentang universalisme dirinya dan dengan itu seluruh ideal tentang negara.

 

Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan humanisme universal. Baginya manusia konkret, dengan persoalan konkret yang terikat dalam sejarah dan kebudayaannya jauh lebih penting.

 

Yang universal adalah Poncke dan kehidupan. Dia mendefinisikan dirinya sendiri menurut jenis hidup konkret di sekitarnya sambil mempersetankan batas negara. Baginya—sebagaimana dikutip dalam buku ini oleh beberapa penulis—tidak ada prinsip right or wrong my country. Yang ada adalah right is right and wrong is wrong.

 

Dia menarik garis tegas antara struktur kekuasaan baik dalam yang disebut bangsa maupun dalam yang disebut negara dan manusia sebagai unsur konstitutif bangsa dan negara itu.

 

Negara hanya sampai sebatas kulit Poncke, kekerasan tidak membuatnya berubah. Karena itu juga tidak ada pengertian batas negara di dalam dirinya. Kulitnya dan dirinya adalah batas paling jauh negara itu, termasuk dirinya yang ringkih dalam umur tuanya. Negara tidak tembus masuk ke hatinya. Tetapi, dia terikat jadi satu dengan kemanusiaan di mana saja.

 

Kalau dirinya adalah batas negara itu, maka negara baginya adalah negara tanpa batas, a borderless state, karena Poncke tidak mengenal, dan mungkin tidak mengakui, batas tersebut. Itu alasannya mengapa Poncke bergerak terus, berontak terus, bergerilya terus, dengan pedang atau dengan pena, sampai dia tidak bisa lagi berontak. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar