Cinta
Tuhan Saat Pandemi Toto TIS Suparto ; Penulis Filsafat Moral, Alumnus
Program Magister Ilmu Budaya dan Religi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta |
KOMPAS,
02 April
2021
Pandemi Covid 19 memang menghadirkan banyak
kejutan. Teman saya, usia sekitar 60 tahun, Senin pagi masih bercanda di grup
Whatsapp (WA) alumni. Sorenya tersiar kabar positif Covid 19. Harus diisolasi
di rumah sakit. Namun, Rabu siang anaknya mengirim kabar di grup WA bahwa
ayahanda telah berpulang. Kabar yang membuat trenyuh, ”Saya hanya
bisa menangis dari kejauhan melepas ayah. Tak percaya Tuhan memberi cobaan
ini. Kami mengasihi Tuhan, tetapi kenapa Tuhan tidak menunjukkan rasa
kasih-Nya kepada kami?” Teman saya mati sunyi. Keluarganya
berspekulasi tentang cinta Tuhan kepada umat-Nya. Sekitar 2,789 juta orang di
dunia, di antaranya 40.384 orang terdapat di Indonesia (per 28 Maret 2021,
12.14 WIB) meninggal dalam sunyi karena Covid 19. Mereka menuju liang lahat
tanpa keluarga. Hanya empat orang berpakaian APD menanamkan peti mati tanpa
kesedihan mendalam. Tak ada air mata di atas pusara. Air mata itu mengering
di kejauhan. Tak sedikit dari keluarga korban menjerit
di batin, ”Tuhan, di manakah Engkau?” Engkau Mahapengasih, lanjut mereka,
mengapa Engkau membiarkan umat-Mu mati sunyi? Tunjukkan kasih-Mu dengan
memberi kesempatan kepada keluarga untuk melepas jenazah dengan pelukan
terakhir atau sekadar ciuman di kening. ”Inikah tanda kasih-Mu?” Di media sosial, pertanyaan serupa banyak
bermunculan, apakah Tuhan sudah tidak mencintai umat-Nya sehingga dibiarkan
cemas dalam pandemi berkepanjangan? Bukankah Tuhan Mahakuasa sehingga sangat
mudah untuk menghentikan pandemi ini? Maklumlah, selama ini cinta, bagi kebanyakan
orang, acap dimaknai sebagai ungkapan mengasihi, menyayangi, melindungi,
ataupun mengayomi. Maka dari itu, ketika kita dicemaskan pandemi, muncullah
keraguan atas cinta Tuhan tersebut. Akan tetapi, kita lupa sisi lain dari cinta
ialah apa yang disebut tough love. Adapun yang dimaksud tough love adalah
cinta yang keras, tetapi tetap cinta. Para motivator bilang, cinta yang keras
juga menumbuhkan dan mendidik. Memang, cinta yang keras meminta tanggung
jawab dan bahkan menghukum. Tetap disadari bahwa dasar dari itu semua
bukanlah kebencian, melainkan cinta. Inilah cinta Tuhan kepada kita saat
pandemi. Mirip orangtua kita. Ada kalanya mereka tegas, bahkan galak, demi
mendisiplinkan anak-anak mereka. Tak jarang kita beranggapan mereka jadi
”raja tega”. Namun, ketegaan itu berlandaskan cinta, bukan kebencian. Jadi, tough love Tuhan tetaplah menunjukkan
rasa kasih-Nya, tetapi tegas dan tega. Bagi manusia, tidaklah menyenangkan
untuk hari ini, tetapi penting untuk hari esok. Apa yang bisa dipetik untuk hari
esok? Kata teolog lnggris, Richard Swinburne, bahwa Tuhan mengizinkan adanya
penderitaan untuk manusia karena ingin memberikan banyak hal yang lebih
berharga daripada sekadar kenikmatan atau kebebasan dari penderitaan. Penyakit dan bencana menjadi kesempatan
bagi manusia untuk menunjukkan keutamaan dan keluhuran sikap, membentuk
karakter lewat pilihan-pilihan yang diambil manusia untuk memikirkan
langkah-langkah masa depan lewat sains dan lain sebagainya. Setidaknya pandemi Covid-19 membuat manusia
melangkah pada masa depan lewat sains, di antaranya bekerja keras menemukan
vaksin. Atau berpikir serius untuk menemukan alat pendeteksi virus, seperti
temuan GeNose. Namun, yang lebih penting adalah lewat sains bisa ditemukan
dari mana virus korona ini? Virus ini adalah misteri alam. Ini
pemikiran Martin Heidegger, filsuf Jerman yang wafat tahun 1976, bahwa alam
suka menyembunyikan dirinya (phusis kruptesthai philei). Kita tak tahu persis
apa yang dilakukan alam. Manusia boleh bangga karena dengan otaknya mampu
mengeksploitasi alam. Namun, jangan salah, kita tak bisa mengendalikan, kita
sekadar merasa seolah-olah sudah menguasai alam. Sekarang banyak yang bertanya-tanya, apakah
alam sedang memperbaiki diri? Bisa jadi alam sedang menyeimbangkan diri sebagaimana
posisi semula. Mungkinkah virus korona sebagai kekuatan alam untuk
menyeimbangkan? Di sinilah tugas manusia sebagaimana ditegaskan Swinburne
(1998) tadi, untuk memaksimalkan sains demi mencari tahu di balik phusis
kruptesthai philei tersebut. Jelas pula pandemi ini sepenuhnya akibat
dari perbuatan (ceroboh) manusia terhadap alam. Bukan lantas berspekulasi
Tuhan tak lagi mencintai umat-Nya. Tuhan Mahapengasih, tetapi barangkali kita
bisa jadi tak mengasihi Tuhan dengan cara mengeksploitasi alam ciptaan-Nya
secara berlebih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar