Belajar
Puasa Yudi Latif ; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 15 April 2021
Puasa melatih cara beragama secara dewasa.
Beribadah bukan karena apa kata orang, melainkan apa kata nurani sendiri.
Bermoral bukan karena paksaan dari luar, melainkan karena pancaran ketulusan
dari dalam. Puasa melatih daya transendensi dari gravitasi syahwat bumi.
Puasa yang masih terintimidasi makanan di warung atau melancarkan ”balas
dendam” dengan menyantap makanan secara berlebih saat berbuka pertanda jiwa
kekanak-kanakan yang masih melekat pada materi sebagai budak nafsu. Puasa melatih keheningan untuk mendengarkan
suara batin bicara. Puasa penuh ”teriak”, dengan menjalaninya di bawah tekanan
hardikan dan ancaman siksaan, adalah puasa para budak, yang mendekati Tuhan
hanya karena keterpaksaan rasa takut, bukan karena keasyikan rasa rindu para
pencinta. Puasa mendekatkan hubungan personal dengan
Sang Khalik dengan mengeratkan tali kasih dengan sesama makhluk. Puasa adalah
cara meraih rahmat Tuhan dengan menempuh jalan rahmatan lilalamin dalam
kehidupan. Puasa menanamkan kejujuran untuk berani
berkata benar kepada orang lain dengan keteguhan integritas untuk berani
berkata benar kepada nurani sendiri. Kukuh menjalankan kebenaran dan kebaikan
dengan sikap ihsan. Sekalipun kita tak melihat Tuhan, sesungguhnya Tuhan
senantiasa hadir dalam setiap dengus napas kita. Puasa menanamkan sikap ugahari, tahu kapan
merasa cukup. Tak begitu memikirkan apa yang diinginkan; dan menyadari benar apa yang tak dibutuhkan.
Tak begitu terobsesi dengan legasi perseorangan apabila harus dibayar mahal
oleh penderitaan dan beban berkelanjutan banyak orang. Menyadari benar kapan
hasrat berkuasa dan mengendalikan partai harus berhenti; hingga batas mana
akumulasi kekayaan dan peluang usaha pantas diraih. Tak sepantasnya semua ruang dikuasai.
Kebebasan berjelajah tak boleh membuat seseorang menjadi serakah.
Sesungguhnya segala makhluk hidup memerlukan ruang hidup. Kebahagiaan bersama
terengkuh manakala tumbuh kasih berbagi ranah. Kuasa yang sehat tercipta
dalam permainan timbal-balik di antara orang-orang yang merdeka. Satu sama lain bisa saling memengaruhi
karena masing-masing punya ranah yang dikuasai. Apabila segala ranah,
ekonomi, politik, dan budaya dikuasai satu pihak, hubungan kuasa bersifat
satu arah. Segelintir orang menguasai segala ruang, menyingkirkan pihak-pihak
lain ke tepian. Relasi kuasa yang timpang bisa menjelmakan tirani, yang
menimbulkan kerusakan di muka bumi. Puasa mengingatkan kita tentang hukum
keseimbangan. Manakala relasi kuasa berjalan timpang, yang membuat arus balik
terus dibendung, air yang tak menemukan saluran lama-lama akan meninggi.
Dengan satu tiupan topan, tsunami anarki akan meluluhlantakkan segala dinding
keserakahan. Maka, mulailah belajar menahan diri. Jika
tak suka dipinggirkan, jangan meminggirkan. Jika tak suka dicubit, jangan
mencubit. Jika suka disayangi, bagikan kasih sayang kepada yang lain.
Sesungguhnya kerakusan itu laksana api yang akan membakar segala pencapaian. Puasa mengingatkan keharusan berbagi dalam
distribusi harta, kesempatan, dan status kehormatan; juga dalam peran dan
tanggung jawab mengelola urusan hidup bersama. Tak sepatutnya suatu otoritas di bidang
tertentu mengintervensi bidang lain di luar kapasitas kewenangannya; atau
sebaliknya, suatu bidang kelembagaan dengan cakupan kendali yang sudah begitu
luas malah ditambah beban-beban tanggung jawab baru di luar batas
kemampuannya. Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya dan
tidak didistribusikan secara proporsional, tunggu saja saat kehancurannya. Dengan puasa sejati, derajat manusia
ditinggikan kembali melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun
harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan telah melalaikan
manusia hingga membiarkan dirinya sekadar menjadi faktor produksi, budak
kekuasaan, dan alat percobaan. Dalam perbudakan nafsu duniawi ini,
kehadiran agama yang mestinya pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan
justru acap kali menjadi penasbih atau setidaknya membiarkan kezaliman,
permusuhan, dan pembodohan. Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama
hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan? Jika etos keagamaan sebagai landasan kritik
terhadap berhala dan korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan mulai
membeku; sementara sumur moralitas lain pun mengering; bagaimana bisa yakin
bahwa segala percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis yang
menopangnya. Jeda Ramadhan memberi momen refleksi diri,
memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas.
Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh
tak pernah ada puasnya kecuali dengan belajar puasa. Pengendalian dirilah
akar tunjang pengendalian sosial. Adapun ibadah puasa bak kawah candradimuka
pelatihan kendali diri. Sekiranya semua warga belajar berpuasa
sungguhan, gumpalan lemak kuasa dan harta yang berlebih di satu kelompok bisa
disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi kolesterol
keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial. Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur
bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekitarnya. Sesekali kita pun perlu
meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan
yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang
lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar