”You're
Cancelled!” Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan
Keagamaan |
KOMPAS,
21 Maret
2021
Kisah pembreidelan tabloid Monitor di masa
kepemimpinan Presiden Soeharto menjadi salah satu episode yang cukup diingat
oleh para Gen Y dan seniornya. Kala itu, rezim Orde Baru menghentikan
penerbitan tabloid Monitor karena protes massa Muslim terhadap artikel hasil
survei pembaca tentang tokoh yang paling dikagumi. Survei ini menempatkan Nabi Muhammad SAW
pada posisi ke-11, dan gelombang protes dari massa Muslim yang merasa
tersinggung pun merebak. Dampaknya, Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi
Tabloid tersebut diadili dan dipenjarakan selama 5 tahun. Dalam bahasa kaum muda masa kini, tabloid
Monitor ini cancelled, merujuk kepada budaya baru cancel culture yang kian
ramai dipercakapkan setelah merambah ranah politik secara global. Bahkan CPAC
(Conservative Political Action Conference), arena berkumpul para politisi dan
aktivis konservatif di Amerika Serikat pun mengangkat tema "America
Uncancelled". Tema ini dipilih sebagai reaksi atas cancel culture yang
menimpa beberapa politisi partai Republik, misalnya Senator Josh Hawley yang
kehilangan kontrak buku dengan penerbit Simon Schuster setelah ia mengambil
posisi politis menolak hasil Pemilihan Presiden AS tahun 2020 lalu. "Cancel Culture", yang belum
ditemukan istilah padanannya dalam bahasa Indonesia baku, adalah sebuah
tradisi baru untuk menarik dukungan dari seseorang atau sebuah entitas karena
pandangan atau pilihan yang dinilai melanggar nilai moral tertentu.
Dampaknya, yang bersangkutan dapat kehilangan pekerjaan, kontrak, atau sumber
daya lainnya. Awalnya penarikan dukungan ini terkait
dengan perspektif keadilan sosial atau tindak ketidakadilan, seperti sikap
rasis, kekerasan seksual, sikap politik, bias gender, ultrakonservatisme.
Dalam perkembangannya, cancel culture bisa terjadi karena pilihan atau sikap
politik seperti yang sempat dialami oleh Pandji Pragiwaksono dan mantan CEO
Bukalapak Ahmad Zaki. Jurnalis Zulfikar Akbar pun mengalaminya. Beberapa
komika juga mengalaminya setelah “terpeleset” dalam urusan joke terkait agama
atau politik. Cancel culture juga menimpa tokoh karena
tuduhan masalah integritas, seperti yang dialami oleh influencer @Awkarin
akibat tuduhan kerap menggunakan konten media sosial tanpa kredit kepada
pemilik aslinya. Sari Roti, Tokopedia, Bukalapak, JNE dan
Eiger adalah beberapa perusahaan yang juga sempat mengalami cancel culture
dalam bentuk gerakan ajakan boikot. Ajakan ini berangkat dari alasan yang
berbeda-beda, mulai dari posisi politik (bahkan dalam kasus Sari Roti: posisi
netral politik) sampai perlakuan kepada konsumen. Satu-satunya kesamaan di
antara mereka adalah bahwa boikot ini diawali dengan keramaian netizen di
media sosial. Faktor gerakan netizen memang menjadi
karakteristik yang paling menonjol dari cancel culture ini. Menguatnya media
sosial sebagai instrumen ampuh untuk disrupsi membawa dampak yang besar dalam
demokratisasi. Media sosial memberikan ruang untuk terjadinya kesetaraan
kewargaan, dengan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk bersuara. Cancel culture menjadi saluran aspirasi
bagi warga kebanyakan yang seringkali merasa frustrasi dan tak berdaya
meminta akuntabilitas dari tokoh publik atau entitas berpengaruh (bisnis
ataupun politis) atas sikap atau perilakunya. Di masa pra media sosial,
membangun tekanan massa seperti dalam kasus tabloid Monitor memerlukan
pengorganisasian yang serius dan sumber daya yang besar. Demokrasi digital mengubah hal ini menjadi
kesempatan yang setara. Dengan model algoritma yang dipengaruhi oleh tagar,
menjadi begitu mudah setiap orang terhubung dengan orang lain atau kelompok
lain yang berpikiran senada. Jempol satu orang bisa berimbas menjadi sebuah
gerakan yang cukup besar, bahkan perubahan kebijakan seperti terjadi pada
kasus jilbab di Padang. Dimulai dari keputusan keluarga Hia
mengunggah kisah kasus ini di media sosial, dukungan pun mengalir, serta
tuntutan agar sistem yang lebih adil kepada setiap orang diberlakukan dalam
sistem pendidikan, dalam ini mengenai pakaian seragam. Ujungnya adalah SKB 3
Menteri untuk memberantas pemaksaan atau pelarangan atribut agama dalam
pakaian seragam di sekolah umum milik Negara. Secara psikologis, ketika seseorang yang
berpendapat A menemukan ada banyak orang lain yang juga berpendapat A, akan
terjadi proses saling menguatkan yang diakibatkan perasaan sekelompok (group
feeling) dan bias konfirmasi palsu (false confirmation bias). Kedua hal ini
meningkatkan intensitas sentimen, dan bila terjadi pada banyak orang akan
diikuti oleh meningkatnya karakteristik mentalitas kerumunan (crowd
mentality) di mana individu di dalamnya akan semakin militan dalam bersikap
dan bertindak. Di sini muncul tantangan besarnya. Cancel
culture dapat terpeleset menjadi mobocracy, di mana massa tidak lagi
berangkat dari alasan nilai-nilai prinsipal untuk meninggalkan seseorang atau
suatu entitas, tapi terperangkap dalam sikap mental menghakimi dan menghukum
sosial. Dengan kecenderungan sikap reaktif dan
mudah terpengaruh oleh kabar burung serta terpengaruh figur influencer,
netizen kita lebih rentan terhadap cancel culture tak berdasar. Dibutuhkan
ketrampilan berpikir kritis dan juga kematangan dalam kehidupan masa kini
yang sangat didominasi teknologi informasi. Padahal, demokrasi digital dapat menjadi
peluang besar untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Ini dapat terjadi bila
cancel culture dapat segera mendewasa dan menjelma menjadi call out culture:
meminta pertanggungjawaban mereka yang memanfaatkan kekuasaan tidak pada
tempatnya. Walaupun penuh tantangan, agaknya ini salah satu jalan kita untuk
melawan oligarki. Mampukah kita? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar