Rabu, 03 Maret 2021

 

Politik Hitam Putih

 Tulus Sudarto ; Mahasiswa Doktoral Universitas Salzburg Austria, Budayawan

                                                        KOMPAS, 03 Maret 2021

 

 

                                                           

Secara banal, kekacauan eksistensial (chaos) gegara virus korona tak hanya mendekonstruksi seluruh fondasi kehidupan dalam semua level, tetapi juga menyediakan konstruk-konstruk potensial yang sama sekali berbeda dalam dinamika involutifnya. Terlihat jelas sekarang bagaimana diferensiasi perseptif sekaligus konseptif mengharu biru tataran hermeneutik dalam poros epistemologi setiap lapis sosietas.

 

Bahkan, diferensiasi tersebut mengkristal dalam bentuk demarkasi vertikal ataupun horizontal. Dalam lajur vertikal, blok antara negara (pemerintah) dan rakyat (civitas) tampak jauh lebih kentara daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya. Sementara dalam lajur horizontal, ikatan senasib seperjuangan secara natural menguat di ranah akar rumput, membentuk kecenderungan fatalisme primitif.

 

Diferensiasi vertikal paling kentara dalam dialektika pragmatis mengenai vaksin, sebagaimana diulas lumayan detail oleh Iqbal Mochtar (Kompas, 3/2). Paparan data komplet tentang kepentingan bisnis di balik kebijakan vaksin mengerucut pada kesimpulan bagaimanapun ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dari kebijakan formal pemerintah menyangkut kedudukan struktural yang melekat.

 

Menurut Mochtar, vaksinasi sebagai perang bisnis dalam perspektif kesehatan secara sepihak membawa masyarakat pada waswas yang membingungkan. Namun, dari perspektif konsumen (clients) sebagai penerima/target kebijakan seperti saya, titik di mana pemerintah akhirnya tak bisa lagi monolitik dalam program vaksinasi massal merupakan capaian terbaik dalam nomenklatur demokrasi.

 

Tafsir populis

 

Reinhard Heinisch (2015), profesor prominen internasional asal Austria, secara hibrid mampu memberikan lompatan kuantum dalam pergerakan politik populisme. Domain asli populisme ada dalam diferensiasi antara patron dan klien untuk segala level, tafsir semrawut terjadi dalam khazanah Indonesia yang begitu oral dan massal. Sangat mungkin diskrepansi terjadi pada ketakdisiplinan akademik yang memang latah di masyarakat.

 

Populisme sama sekali tak bisa diterjemahkan sebagai politik yang populer. Alih-alih menafsir tunggal asal kata populis dalam kata populer yang dikerangkeng terminologis sebagai viral, populisme menitikberatkan pendekatan dua strata yang ”kontras”, yaitu antara negara dan rakyat, antara patron dan klien, antara pembuat keputusan dan penerima keputusan. Pergerakan di tingkat akar rumput itulah yang menjadi wilayah politik populisme.

 

Dan, di fase inilah terkuak proses tervulgar dari populisme. Vaksin hanyalah satu fenomenon yang menjadi jejak-jejak semiotik ke arah noumen asli mengenai bagaimana secara gradual ada perkembangan tingkat kedewasaan berpolitik yang terjadi di tingkat akar rumput. Pastilah peran pemerintah sebagai patron, laiknya cara tutur Ricoeur, menjadi katalis yang secara perlahan memastikan pertumbuhan persepsi sekaligus konsepsi akar rumput pada pemahaman yang benar.

 

Yang jelas, tak satu pun pendekatan monolitik secara sahih bisa diambil, kecuali di negara komunis macam Vietnam. Bahwa Rusia tidak serta-merta sukses dalam hegemoni pendekatan monolitiknya, gejala ini pastilah tidak berdiri sendiri dari demam populisme yang melanda dunia berboncengan dengan pandemi.

 

Kemenangan populisme adalah urgensi politik kehidupan ketimbang politik praktis yang ujung-ujungnya memang selalu menguntungkan segelintir pihak di tataran struktural, tetapi secara bersamaan tak memberikan jaminan kepada mayoritas yang berada di luar sistem. Alias, bisa dikatakan saat ini yang paling kelihatan memegang kendali seluruh fase kehidupan adalah pemerintah.

 

Deviasi terbesar dari akar rumput bisa dikatakan minor, tak begitu mengkhawatirkan lagi karena memang tarik ulur politik yang terjadi saat ini sudah sedemikian kentara (obvious). Persepsi kewibawaan pemerintah tak lagi ditangkap sebagai merbawani dalam cakupan feodal sekadar sebagai ornamen aksesori yang artifisial belaka.

 

Kewaskitaan lokal yang sirkuler khas Indonesia tak bisa sealur dengan pendekatan linear ala negara Eropa. Bahkan, beberapa kebijakan pemerintah ibarat melipir, yaitu menyisir lewat pintu samping dan tak frontal melalui pintu depan. Resistensi relatif bisa dihindarkan sedemikian rupa sehingga tak memorakporandakan keseluruhan bangunan.

 

Demagogi politik

 

Dalam pendekatan politik sirkuler, kebenaran hierarkis yang senyatanya ada di tataran struktural dapat tersampaikan secara ”bersahabat” bukan dalam arti permisif. Bahkan, bisa disimpulkan bahwa hierarki kebenaran bukanlah klaim sepihak dari pemerintah yang pasti berujung pada pribadi-pribadi tertentu yang diuntungkan oleh karena jabatan struktural (status gratiae).

 

Godaan terbesar yang begitu empuk kelihatan dalam situasi kacau eksistensial pada masa ekstrem pandemi adalah demagogi, bukan sekadar hegemoni. Jika dilakukan pun pasti akan tetap valid, tetapi tak pernah licit. Licit menyangkut sensibilitas massal, valid mengacu pada kebenaran teoretis. Dua matra inilah yang mampu disampaikan secara lembut tetapi tegas oleh pemerintah kepada rakyatnya.

 

Saat ini, di tengah kelimpungan dunia, tersaji di hadapan kita perwajahan negara yang tak kalah, negara yang tak gegabah, negara yang bahkan ”mengalah” bukan demi kepentingan jangka pendek, melainkan demi pendasaran jangka panjang. Jauh lebih afdal adalah penampakan negara yang tak sekadar gagah-gagahan dengan segala otoritas yang terbadan (embedded) di dalam dirinya.

 

Seburuk-buruknya oposisi terhadap pemerintah dan kondisi negara saat ini, tak satu pun bentuk apresiasi terbaik selain pengakuan legawa bahwa bangsa ini tidak akan hancur dalam fatalisme primordial yang terus-menerus dibawa oleh sekelompok penderita ketidakpuasan akut terhadap karut-marut Indonesia. Sudah sebegitu Indonesia, mau di mana lagi? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar