Jumat, 05 Maret 2021

 

Perlunya Perumusan Limitatif UU ITE untuk Mencegah Multitafsir

 Sigid Suseno ; Lektor Kepala Universitas Padjadjaran

                                                        KOMPAS, 05 Maret 2021

 

 

                                                           

Respons positif Presiden Jokowi atas kritik masyarakat berkaitan dengan penerapan ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dipandang mengancam hak-hak demokrasi di Indonesia, patut diapresiasi dan disambut dengan baik.

 

Walaupun pembentukan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum, berupa kehormatan atau nama baik warga masyarakat, penerapan ketentuan itu tak boleh merampas kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat warga masyarakat.

 

Untuk itu, jadi tantangan bagi pembentuk UU untuk menghasilkan regulasi yang dapat memberikan keseimbangan perlindungan atas kepentingan-kepentingan hukum, baik kepentingan individu warga masyarakat, kepentingan publik, maupun kepentingan negara.

 

Tindak pidana penghinaan sejatinya merupakan tindak pidana yang bersifat universal. Negara-negara lain di dunia juga mengkriminalisasi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU nasionalnya.

 

Ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merumuskan perbuatan yang dilarang: ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

 

Pelanggaran atas ketentuan itu diancam sanksi pidana dalam Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Pada awal penerapannya, ketentuan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE telah menimbulkan permasalahan hukum dalam praktik. Multitafsir dan penerapan yang meluas dalam penegakan hukum berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE telah mengganggu rasa keadilan dalam masyarakat.

 

Misalnya, penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE ada yang mengualifikasi sebagai delik biasa dan sebagian lain sebagai delik aduan, pihak yang bukan korban dapat melakukan pengaduan, korporasi dapat menjadi korban pencemaran nama baik dan dalam beberapa putusan terdapat pemidanaan untuk pencemaran nama baik terhadap korporasi, pengaduan atas penghinaan atau pencemaran nama baik walaupun tidak ada unsur diketahui umum, dan lain-lain.

 

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 dinyatakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tak mengatur norma hukum pidana baru, tetapi hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam UU baru karena ada unsur tambahan yang khusus, yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus.

 

Oleh karena itu, penafsiran norma dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut.

 

Dengan demikian, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan untuk dapat dituntut di depan pengadilan.

 

Amendemen pertama

 

Putusan MK itu ternyata tak menghilangkan permasalahan hukum dalam penerapan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Kemudian pada 25 November 2016 diundangkan UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan mengamendemen beberapa pasal dalam UU No 11 Tahun 2008, termasuk amendemen atas Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.

 

Amendemen atas Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE itu mencakup: 1) perumusan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik secara utuh baik unsur-unsur perbuatannya maupun sanksi pidananya dalam Pasal 45 Ayat (3) UU RI No 19 Tahun 2016; 2) perubahan sanksi pidana yang semula diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar menjadi pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

 

Lalu, 3) perumusan bahwa tindak pidana dalam ketentuan Pasal 45 Ayat (3) UU RI No 19 Tahun 2016 adalah delik aduan; 4) perumusan dalam penjelasan Pasal 27 Ayat (1) mengenai pengertian ”mendistribusikan”, ”mentransmisikan”, dan ”membuat dapat diakses” dan 5) perumusan dalam penjelasan Pasal 27 Ayat (3) yang menyatakan ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.

 

Walaupun UU RI Nomor 19 Tahun 2016 telah mengatur norma baru dan tafsir untuk memperjelas ketentuan mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, dalam penerapannya masih tetap dirasakan mengancam kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat warga masyarakat.

 

Dalam praktik ketentuan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (3) UU ITE tampaknya terlalu mudah untuk digunakan orang dengan tuduhan penghinaan atau pencemaran nama baik.

 

Dalam rumusan Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE masih terdapat rumusan unsur tindak pidana yang memberi ruang untuk memperluas penerapan ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik, yaitu: 1) perumusan sengaja; 2) mentransmisikan; 3) membuat dapat diakses; dan 4) memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 

Dalam teori kesengajaan, sengaja terdiri dari tiga corak kesengajaan: a) sengaja dengan maksud atau tujuan (Opzet als oogmerk); b) sengaja dengan kesadaran kepastian (Opzet Bij Zekerheids-Bewustzijn); dan c) sengaja dengan kesadaran kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkkheids-Bewustzijn).

 

Dengan demikian, unsur sengaja dapat ditafsirkan meluas sampai dengan akibat yang disadari mungkin terjadi walau bukan tujuan. Apakah unsur sengaja ini hanya ditujukan untuk perbuatan ”mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diakses” saja atau termasuk juga sengaja untuk menyerang kehormatan atau nama baik sebagaimana dirumuskan Pasal 310 Ayat (1) KUHP?

 

Karena hanya dirumuskan untuk perbuatan ”mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diakses” dan tidak ada perumusan sengaja untuk menyerang kehormatan atau nama baik, dapat ditafsirkan unsur sengaja tersebut hanya untuk perbuatan ”mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diakses”.

 

Kata ”mentransmisikan” dalam penjelasan Pasal 27 Ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 diartikan mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.

 

Pengertian ini dapat ditafsirkan mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada satu orang saja yang bukan korban dapat ditafsirkan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik. Adapun dalam ketentuan Pasal 310 Ayat (1) KUHP disyaratkan unsur: ”yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum”.

 

Dalam tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik, unsur supaya diketahui umum merupakan unsur penting karena kehormatan atau nama baik seseorang akan turun atau korban merasa dipermalukan jika diketahui umum, walaupun mungkin saja orang itu kemudian mengirimkan kepada pihak lain.

 

Demikian pula kata ”membuat dapat diakses” dalam penjelasan Pasal 27 Ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 diartikan relatif luas, yaitu semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

 

Pengertian semua perbuatan lain yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik dapat ditafsirkan termasuk perbuatan-perbuatan lain tidak secara langsung berkaitan dengan penghinaan atau pencemaran nama baik, tetapi menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Hal ini akan berkaitan dengan unsur sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

 

Unsur ”memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pembuktian ini seharusnya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 310 KUHP, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dan penjelasan Pasal 27 Ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016.

Unsur-unsur ”sengaja menyerang kehormatan atau nama baik”, ”dengan menuduh sesuatu hal”, dan ”yang maksudnya terang supaya diketahui umum” merupakan unsur penting yang harus dibuktikan dalam penerapan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Namun, dengan tidak dirumuskan dalam Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dapat ditafsirkan berbeda dan dipandang bukan unsur tindak pidana.

 

Perumusan limitatif

 

Oleh karena itu, amendemen ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Pasal 45 Ayat (3) jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE perlu dirumuskan lebih limitatif agar mencegah terjadinya multitafsir, penerapan yang meluas, atau dijadikan sebagai alat balas dendam, dengan tetap dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal atas kehormatan, martabat, atau nama baik warga masyarakat sehingga tidak mengakibatkan ketidakadilan dan ketidakpastian dalam penegakan hukum.

 

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan tim penyusun adalah, pertama, ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE sebaiknya hanya ditujukan terhadap orang pribadi (natural person) dan tak termasuk untuk korporasi atau badan hukum (legal person). Pencemaran nama baik terhadap korporasi atau badan hukum dapat menggunakan sarana gugatan ganti kerugian melalui hukum keperdataan.

 

Kedua, unsur perbuatan yang dapat dilakukan dalam penghinaan atau pencemaran nama baik hanya mendistribusikan, memiliki makna mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ke banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Dengan demikian, unsur supaya diketahui umum sudah terkandung dalam makna mengirimkan ke banyak orang atau berbagai pihak.

 

Ketiga, unsur ”dengan maksud/tujuan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang” perlu dirumuskan untuk menegaskan adanya unsur mens rea pada penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE.

 

Penggunaan corak sengaja dalam gradasi yang pertama, yaitu ”dengan maksud atau dengan tujuan” dimaksudkan untuk membuat limitasi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE, yaitu hanya untuk perbuatan yang dilakukan ”dengan maksud/tujuan” menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

 

Keempat, dalam rumusan tindak pidana perlu dirumuskan unsur ”menuduh sesuatu hal”. Unsur menuduh sesuatu ini penting untuk melihat secara obyektif bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik yang dikirim atau disebarkan dapat merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang apabila diketahui umum.

 

Kelima, tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dikualifikasi sebagai delik aduan, yaitu delik aduan absolut sehingga yang dapat mengadukan hanya korban atau pihak yang dirugikan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar