Sabtu, 13 Maret 2021

 

Perlu Komitmen Anggaran untuk Kesetaraan Jender

 Eva Kusuma Sundari  ; Direktur Institut Sarinah dan anggota Komisi XI 2014-2019

                                                        KOMPAS, 12 Maret 2021

 

 

                                                           

Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021 mengangkat tema ”Kepemimpinan Perempuan untuk Mewujudkan Masa Depan yang Kerkesetaraan di Masa Covid-19”. Ini sebuah mimpi di siang hari jika tanpa disertai dukungan sekaligus APBN, APBD, dan APBDesa yang didesain secara konsisten untuk mengurangi kesenjangan jender.

 

Proses pemiskinan terhadap perempuan yang menyebabkan akses, partisipasi, kontrol terhadap sumberdaya tidak seleluasa laki-laki harus diakhiri, sehingga laki-laki dan perempuan sama-sama sejahtera.

 

Penyusunan anggaran yang responsif terhadap kesetaraan jender merupakan strategi paling efektif mengubah ketidakadilan ini karena APBN yang netral jender sebenarnya penyebab melebarnya kesenjangan jender, termasuk respons pemerintah dalam menangani pandemi dan pemulihan ekonomi masyarakat.

 

Banyak riset menyimpulkan bahwa pandemi mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin melebar secara luar biasa (Oxfam 2021). Di Indonesia, kemiskinan diperkirakan melonjak ke angka 12,4 persen, bertambah 3,2 persen dari September 2019. Artinya, ada tambahan 8,5 juta orang miskin baru yang 60 persennya adalah perempuan (SMERU 2021).

 

Kelompok perempuan terlempar menjadi pengangguran karena berada di sektor-sektor ekonomi yang paling dulu dihantam pandemi. Sektor pengolahan sumber daya alam, pariwisata, pelayanan rekreatif, pendidikan, kesehatan, pengecer yang dilarang beroperasi telah menyebabkan jutaan perempuan mendadak menganggur atau terkena PHK.

 

Ironisnya, harga komoditas-komoditas tambang terutama emas, komoditas pertanian, dan rokok justru naik setelah PHK massal walaupun para pengusahanya diberikan bantuan usaha, subsidi, keringanan bahkan pembebasan pajak. Tidak aneh jika di masa pandemi, populasi super kaya di Indonesia justru naik 67 persen di saat orang miskin bertambah 8,5 juta orang.

 

Para ibu yang ”dirumahkan” menerima beban berlipat karena kebijakan sekolah dan kerja dari rumah. Angka KDRT dan kehamilan yang meningkat signifikan merupakan dampak pandemi terhadap perempuan. Beruntung 300 juta ibu rumah tangga di India mendapat bantuan sosial transferan uang dari pemerintahnya agar mereka terlindungi dan bisa melindungi keluarganya dari dampak negatif pandemi.

 

Di Indonesia, ketika angka KDRT, kehamilan para ibu RT, drop out para siswi naik drastis, dana-dana untuk Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTPPA) di pemprov dan pemda juga ikut dikurangi secara drastis. Sebaliknya, di Filipina, dana Kemenkes ditambah termasuk untuk membekali paramedis agar bisa memberikan konseling mental masyarakat akibat dampak pandemi.

 

Perempuan adalah kelompok masyarakat yang paling terpukul sehingga paling membutuhkan perlindungan sosial yang eksklusif. Hal ini bagian dari pemberdayaan yang sifatnya investasi karena meningkatkan produktivitas yang kelak memampukan mereka berpartisipasi di dunia kerja sehingga dapat mengurangi kesenjangan jender di ekonomi.

 

Kesenjangan jender Indonesia buruk sekali, berada di peringkat 85 dari 149 negara, Filipina menempati ranking 8 (World Economic Forum 2018). Kesenjangan jender adalah faktor penentu utama untuk memenuhi target-target SDGs, efektivitas upaya pengurangan kemiskinan bahkan faktor penting yang berkontribusi pada tingkat pertumbuhan ekonomi.

 

Kesenjangan jender ini terbukti menyumbang percepatan laju memburuknya kesenjangan ekonomi sebagaimana ditemukan oleh Oxfam (https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty). Kesenjangan ekonomi di Indonesia saat ini terburuk di ASEAN dan terburuk ke-6 di dunia. Empat orang terkaya kita hartanya setara dengan harta 100 juta penduduk termiskin.

 

Strategi terbaik untuk mengentaskan rakyat miskin sekaligus memperbaiki pemerataan ekonomi adalah mengurangi kesenjangan jender dan mewujudkan kesetaraan jender. Karena itu, APBN 2021 harus didesain untuk Pro Kesetaraan Jender.

 

APBN untuk kesetaraan jender

 

Pandemi Covid-19 yang memperburuk kesenjangan ekonomi dan kesenjangan jender harus dijadikan peluang untuk menciptakan kesetaraan jender. Komitmen moral untuk mendesain APBN agar pro poor dan pro gender equality sudah kita dengar sejak 20 tahun lalu tetapi kondisi kesenjangan ekonomi dan jender justru semakin melebar.

 

Banyak juklak-juklis sudah disediakan oleh Kemenkeu dan Bappenas agar perencanaan dan penganggaran pembangunan agar responsif jender, tetapi alat-alat itu tidak dioperasionalisasikan oleh para perencana di kementrian dan lembaga. Para teknokrat masih terjebak di rutinitas anggaran-anggaran sebelumnya, tidak progresif, tidak ada inovasi sehingga APBN tidak berdampak pada pengurangan kesenjangan jender dan ekonomi.

 

Kinerja perencanaan dan penganggaran oleh pemerintah daerah setali tiga uang. Konsep Pengarusutamaan Jender (PUG) saja tidak dipahami oleh para elit perencana daerah sementara ASN yang paham tentang PUG biasanya bereselon rendah sehingga tidak dilibatkan dalam tim penyusunan perencanaan dan pengganggarannya.

 

Pada Januari 2020, Mendagri sebenarnya sudah mengeluarkan SE No 812 dan 813 berupa nomenklatur baru di APB Propinsi dan Daerah untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tetapi tidak direspon dengan baik oleh daerah. Ini menunjukkan kebutuhan pelatihan bagi perencana daerah terkait penyusunan anggaran berbasis kinerja terutama untuk kepentingan kesetaraan jender.

 

Meski demikian, beberapa Bupati sudah melakukan terobosan dengan menyelenggarakan Musrenbang khusus perempuan dan kelompok disabilitas untuk memastikan aspirasi perempuan terakomodasi di RAPBD. Di Kabupaten Trenggalek, Lombok Timur dan terakhir di Bojonegoro pada tahun ini telah menyelenggarakan musrenbang tersebut.

 

Bagaimana memastikan APBN/APBD/APBDesa yang responsif untuk kesetaraan jender? Pertama, harus ada alokasi anggaran yang khusus untuk perempuan atau kelompok minoritas lain karena kebutuhan khusus mereka. Perlu ada tambahan bantuan sosial dalam program perlindungan sosial karena proporsi pengeluaran untuk Perlindungan Sosial terhadap GDP kita terendah di dunia (OECD Library).

 

Perlindungan sosial ini bukan saja untuk tujuan pemerataan, tetapi sebenarnya investasi sumber daya perempuan. Bansos uang tunai khusus untuk para ibu RT, pendirian pusat krisis untuk kesehatan reproduksi dan KDRT, pendirian penitipan anak di pasar tradisional dan pabrik, beasiswa untuk pelajar putri adalah pengeluaran yang akan berdampak pada peningkatan parfisipasi perempuan di sektor publik.

 

Pengeluaran khusus ini juga harus ada di program-program nonperlindungan sosial. Paket pendidikan dan ketrampilan di bidang teknologi misalnya, perlu dibuat khusus untuk kelompok perempuan mengingat kesenjangan jender di sektor ini sangat lebar, padahal kita memasuki perekonomian digital.

 

Data-data juga menunjukkan bahwa perempuan jauh tertinggal di sektor pendidikan, peluang ekonomi, keamanan, politik sehingga perlu ada program khusus untuk perempuan untuk mempercepat pengurangan ketimpangan jender di sektor-sektor tersebut. Indonesia juga menempati posisi terendah (setara dengan Myanmar) di ASEAN untuk jumlah perempuan di posisi manajemen.

 

Dalam konteks ini, beberapa RUU yang mendukung kesetaraan jender, seperti RUU PKS (Penghalusan Kekerasan Seksual), PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), maupun RUU Kesetaraan Jender harus menjadi prioritas pula dalam Prolegnas 2021. Ada tendensi untuk memposisikan RUU-RUU untuk kesetaraan jender saling bersaing atau saling meniadakan padahal ketiganya adalah saling melengkapi karena tujuannya sama.

 

Kedua, semua pengeluaran lainnya harus dipastikan 30 persen penerima manfaatnya adalah kelompok perempuan. Strategi ini untuk menggenapi strategi pertama dengan tujuan mempercepat terwujudnya kesetaraan jender. Keduanya harus dilakukan bersamaan sehingga slogan ”no one will be left behind” dari pembangunan inklusif dapat dibuktikan karena perempuan adalah 50 persen dari populasi.

 

Kita berharap Kaukus Perempuan Parlemen (KPPRI) mengambil peran kepemimpinan dalam mengubah Politik RAPBN 2021 (dan seterusnya) agar Pro Kesetaraan Jender. Perempuan sebagai korban kesenjangan jender (sehingga diberikan kuota dalam pencalegan) diharapkan memiliki militansi dalam memperjuangkan perubahan untuk memperbaiki nasibnya.

 

Sudah banyak politisi perempuan yang duduk di pimpinan komisi di DPR sehingga perubahan politik anggaran untuk mendukung kesetaraan jender itu sangat mungkin diwujudkan. Apalagi, pihak pemerintah terutama Menkeu dan Menteri Bappenas sangat terbuka terhadap aspirasi para anggota DPR yang bertujuan meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas APBN sebagai alat transformasi sosial menuju Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar