Nasib
RUU Perlindungan Data Pribadi Al Araf ; Ketua Centra Initiative dan Peneliti Imparsial |
KOMPAS,
22 Maret
2021
Rancangan Undang-Undang tentang
Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR
tahun ini. RUU tersebut masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Prioritas 2021. Meski demikian, RUU ini tampaknya belum
cukup mendapat perhatian luas dari masyarakat. Padahal, RUU ini akan menjadi
dasar hukum bagi upaya perlindungan data pribadi warga negara dari segala
bentuk penyalahgunaan dan tindakan lainnya yang merugikan pemilik data
tersebut. Kebutuhan akan regulasi setingkat
undang-undang (UU) yang mengatur tentang perlindungan data pribadi sejatinya
sangat besar, mengingat kemajuan teknologi dan dunia digital yang juga terus
berkembang. Hingga saat ini Indonesia bisa dikatakan
belum memiliki aturan hukum komprehensif yang mengatur perlindungan data
pribadi. Perlindungan data pribadi tak hanya berkaitan dengan kerahasiaan
data, tapi juga bagian dari hak privasi yang harus dijamin perlindungannya
oleh negara. Urgensi Ada beberapa alasan mengapa RUU PDP
penting. Pertama, lemahnya perlindungan keamanan data pribadi sehingga rentan
terjadi kebocoran, penyalahgunaan, atau tindakan lain yang merugikan
pemiliknya. Beberapa kasus yang mencuat ke publik memperlihatkan situasi yang
mengkhawatirkan ini. Misalnya, penjualan data pribadi pengguna
beberapa aplikasi jual-beli daring (online) di sebuah situs dark web tahun
lalu; bocornya data pasien Covid-19 di Indonesia yang dijual di forum dark
web; bocornya informasi data pemilih yang berisi nama, nomor telepon, alamat,
dan NIK yang diambil dari Komisi Pemilihan Umum yang diperjualbelikan di forum
ilegal di internet. Kebocoran data pribadi pengguna teknologi
digital di Indonesia terjadi karena pengelola data pribadi, baik itu dari
unsur pemerintahan negara maupun swasta, tidak memiliki sistem perlindungan
data pribadi yang memadai. Ketiadaan sistem perlindungan data pribadi
tersebut di antaranya disebabkan oleh tidak adanya aturan hukum yang
mewajibkan secara tegas bagi pengelola data pribadi untuk mengamankan data
pribadi yang mereka kelola. Pada sisi lain, juga ada faktor masih
lemahnya kesadaran dari pengguna internet dan teknologi digital lainnya untuk
melindungi data pribadi mereka. Melansir data yang diungkap dalam situs
Itsupplychain.com berjudul ”19 Alarming Cybercrime Statistic for 2019”, 76
persen pengguna internet di Indonesia sangat rentan akan pembobolan. Bahkan,
pembobolan internet atau kejahatan siber di Indonesia menyumbang kerugian
global sebanyak setengah triliun dollar AS per tahun. Kedua, perlindungan data pribadi merupakan
bagian dari hak privasi warga negara yang harus dilindungi oleh negara.
Sebagai bagian dari hak privasi, penggunaan data pribadi untuk tujuan apa pun
tidak diperkenankan tanpa adanya persetujuan dari pemiliknya. RUU PDP
mengharuskan adanya persetujuan dari pemilik data pribadi ketika akan
dilakukan transmisi atau pengelolaan terhadap data mereka. Pemilik data pribadi selaku subyek data
memiliki hak antara lain meminta informasi, memusnahkan data pribadinya,
hingga menarik kembali persetujuan pemrosesan dan mengajukan keberatan atas
tindakan profiling yang dilakukan oleh pengelola data pribadi. Jadi, di masa yang akan datang ketika
undang-undang ini sudah berlaku, pengelola data pribadi tidak bisa secara
semena-mena mentransmisikan ataupun mengolah data pribadi. Hak privasi adalah
bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang wajib dilindungi negara. Dalam hal ini, data pribadi termasuk ke
dalam hak privasi yang wajib dilindungi. Russel Brown menerjemahkan hak atas
privasi sebagai hak yang lahir akibat adanya hak atas milik pribadi terhadap
suatu sumber daya tertentu. Dalam sistem hukum di Indonesia, hak atas
privasi diatur di dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945, yang oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) diterjemahkan sebagai ”urusan pribadi/masalah pribadi”
sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara
Pengujian UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE). Beberapa
catatan Meski RUU perlindungan data pribadi
merupakan sesuatu yang penting, perumusan regulasi tersebut perlu dilakukan
secara benar. Masih terdapat sejumlah catatan masyarakat sipil terhadap RUU
PDP yang berpotensi memiliki implikasi terhadap HAM dan tata kelola
pemerintahan yang baik. Pertama, terkait dengan pengaturan
pengecualian terhadap prinsip pengelolaan data pribadi dikecualikan dengan
beberapa alasan masih luas dan multitafsir. Beberapa alasan pengecualian itu
meliputi: (a) keamanan nasional; (b) kepentingan proses penegakan hukum; (c)
kepentingan pers sepanjang data pribadi diperoleh dari informasi yang sudah
dipublikasikan dan disepakati oleh pemilik; dan/atau, (d) kepentingan
penelitian ilmiah dan statistik sepanjang data pribadi diperoleh dari
informasi yang sudah dipublikasikan (konfirmasi kembali untuk kepentingan
penelitian). Alasan keamanan nasional sebagai alasan
pengecualian perlu didetailkan atau setidaknya mendapatkan penjelasan lebih
rinci di dalam draf RUU ini agar tidak ditafsirkan secara luas untuk
kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Setiap pengecualian harus terbatas,
dirumuskan dengan jelas dan tak ambigu, bersifat publik, dan harus
ditafsirkan secara ketat sesuai dengan keperluan dan proporsionalitas. UU PDP
harus komprehensif dan menerapkan standar tertinggi perlindungannya. Kedua, terkait dengan ketentuan pidana yang
sebenarnya juga telah diatur dalam aturan perundang-undangan yang lain, yaitu
UU ITE, di mana substansi pelanggaran yang diatur dalam ketentuan pidana
dalam draf RUU PDP ini adalah sama dengan yang diatur dalam UU ITE. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam penerapannya dan juga dapat membingungkan aparat penegak hukum
dalam implementasinya ketika terdapat dua aturan perundang-undangan yang
mengatur hal yang sama. Ketentuan terkait illegal access telah
diatur dalam Pasal 30 juncto Pasal 46 UU ITE, sementara ketentuan terkait
mengubah data secara ilegal juga sudah diatur dalam Pasal 32 juncto Pasal 48
UU ITE. Ketiga, pentingnya pembentukan lembaga
pengawas independen. Draf RUU PDP yang saat ini dibahas oleh DPR, mengatur
kewenangan pengawasan ada pada pemerintah, dalam hal ini dikoordinasikan oleh
Kementerian Komunikasi dan Informatika. Hal ini berpotensi menimbulkan
penyalahgunaan wewenang dan politisasi data pribadi oleh negara (state
surveillance). Untuk itu, perlu diusulkan pembentukan
suatu lembaga pengawas yang independen melalui UU ini yang berisi para pakar
atau ahli yang bebas dari kepentingan politik kekuasaan. Ketiadaan lembaga
khusus yang mengawasi secara independen terhadap pengelolaan data pribadi
akan memperbesar potensi terjadinya penyalahgunaan pengelolaan data pribadi di
Indonesia. Pengesahan Indonesia akan menjadi negara kelima di
ASEAN yang memiliki aturan tentang perlindungan data pribadi jika RUU ini
dapat segera disahkan oleh DPR bersama pemerintah. RUU PDP ini akan menjadi
regulasi yang mengatur pengelolaan data pribadi rakyat Indonesia, baik yang
dilakukan di dalam negeri maupun yang dilakukan antarnegara. RUU PDP memberikan landasan hukum bagi
Indonesia untuk menjaga kedaulatan individu atas data dan perlindungan
terhadap data pribadi milik warga negara Indonesia. Empat negara ASEAN yang
telah memiliki UU tentang perlindungan data pribadi warga negaranya ialah
Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Indonesia perlu memiliki UU tentang
perlindungan data pribadi warga negaranya. Karena itu, pengesahan RUU PDP
menjadi salah satu agenda legislasi yang harus diprioritaskan oleh DPR dan
pemerintah tahun ini. Pengesahan RUU tersebut merupakan bagian
dari kewajiban negara untuk menjamin perlindungan hak privasi warga negara
yang ditegaskan oleh UUD 1945, terutama di tengah semakin semaraknya praktik
penyalahgunaan data pribadi yang berakibat pada kerugian tidak hanya ekonomi
tetapi juga aspek lain. Kedaulatan individu atas data harus
digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Lebih dari itu,
perlindungan data pribadi juga akan berdampak secara signifikan terhadap
pembangunan ekonomi digital nasional. Semoga DPR dan pemerintah dapat
melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU PDP sebagaimana dijadwalkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar