Sabtu, 06 Maret 2021

 

Miras dengan atau tanpa Lampiran

 Azyumardi Azra ; Profesor Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI

                                                     REPUBLIKA, 04 Maret 2021

 

 

                                                           

Undang-Undang Cipta Kerja No 11/2020 yang kontroversial sejak masih berupa RUU Omnibus, belakangan ini kembali memunculkan kontroversi. Ini terkait Perpres No 10 Tahun 2021 yang berlaku sejak 2 Februari tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

 

Sebagai ketentuan turunan, perpres itu dalam lampiran III membebaskan produksi dan perdagangan minuman keras (miras) di empat provinsi, yakni  Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

 

Awalnya, pembebasan produksi dan perdagangan miras di keempat provinsi itu tampaknya didasari beberapa asumsi. Pertama, mayoritas penduduk di keempat provinsi adalah non-Muslim, yaitu  Hindu, Kristen, dan Katolik yang tidak mengharamkan miras.

 

Sementara itu, Islam mengharamkan; walau ada juga Muslim minum miras—melanggar ketentuan agama. Meski penduduk keempat provinsi tadi mayoritas non-Muslim, juga ada cukup banyak Muslim.

 

Demografi agama (2019), Bali (Hindu 86,91 persen, Muslim 10,05 persen); NTT (Katolik 52,48 persen; Kristen 39,03 persen; Islam 8,28 persen); Sulawesi Utara (Kristen 62,82 persen, Islam 31,77 persen, Katolik 4,64 persen); Papua (Kristen 69,02 persen, Katolik 15,40 persen, Islam 15,29 persen). Sebagai tambahan, Provinsi Papua Barat (62,88 persen, Islam 36,74 persen, Katolik 8,71 persen).

 

Asumsi kedua, pembebasan produksi dan penjualan miras tidak berdampak banyak pada warga native (‘penduduk asli’ atau ‘bumiputra asli’ atau ‘pribumi asli’ atau ‘anak negeri asli’).

 

Asumsinya, mereka terbiasa mengonsumsi miras; ada mispersepsi, miras adalah budaya dan kearifan lokal di keempat provinsi.

 

Mestinya sebelum membebaskan industri miras, Presiden Jokowi belajar agar tidak mengulangi kesalahan penguasa negara lain. Kesalahan itu terkait nasib warga natives—di Australia disebut Aborigin dan di Amerika Utara disebut ‘Native American’ (dulu pernah disebut Indian).

 

Kenestapaan dan keterpinggiran kaum Aborigin Australia atau ‘Native Americans’, bukan hanya karena penaklukan para pendatang kulit putih. Namun juga karena ‘cultural genocide’ lewat konsumsi dan ketergantungan miras atau biasa disebut ‘alcoholism’.

 

‘Alkoholisme’ di AS menyebabkan kematian sekitar 95 ribu orang setiap tahun; 261 orang setiap hari. Kematian ini mengakibatkan ‘pemendekan’ usia rata-rata sekitar 29 tahun sehingga 2,8 juta tahun potensi lenyap begitu saja. Itu baru di AS, belum di negara lain.

 

Alkoholisme mengakibatkan pengeluaran dana sangat besar. AS menghabiskan 249 miliar dolar AS akibat kerusakan miras. Australia rugi lebih dari 14,352 miliar dolar Australia (AUD) per tahun karena empat dampak: kehilangan produktivitas, biaya kesehatan, kecelakaan lalu lintas, dan peradilan.

 

Untuk Indonesia, tak ada data lengkap. Menurut CIPS, antara 2014-2018, sekitar 546 tewas di Indonesia karena miras. Paling tinggi pada 2018 saat lebih dari 100 tewas. Tak ada data jumlah dana yang habis guna menutupi kerugian akibat alkoholisme di Indonesia dalam empat hal tadi.

 

Melihat peningkatan jumlah korban jiwa karena mengonsumsi miras, DPR pernah mempersiapkan semacam RUU Larangan Minol. Tetapi, RUU ini kontroversial di kalangan DPR dan publik; kini tidak jelas lagi nasibnya.

 

Pemerintahan Jokowi harus adil dan protektif pada seluruh warga. Asumsi yang mendasari kebijakan harus diuji sebelumnya di lapangan. Tanpa pengujian, liberalisasi investasi industri migas, hanya mengorbankan natives dan warga lain di keempat provinsi.

 

Sesuai motif UU Cipta Kerja untuk menarik investasi asing sebanyak-banyaknya, pemerintah mengubah regulasi industri minuman keras. Industri miras kini masuk daftar positif investasi (DPI)—dari bidang usaha tertutup.

 

Presiden Jokowi mesti tidak terlalu menggantang asap investasi, termasuk industri miras. Presiden mesti menghitung biaya besar karena miras, kematian, kesehatan; kerusakan hukum, sosial-budaya, dan agama.

 

Kaum ‘native’ Papua (dan Papua Barat) lewat MRP dan gubernur menolak liberalisasi. Ormas Islam dari MUI, NU, Muhammadiyah, ICMI, dan kalangan gereja dan agama lain juga menolak.

 

Presiden Jokowi ternyata mau mendengar dan mencabut Lampiran III Perpres itu (2/3/2021). Kegaduhan politik, sosial-budaya, dan agama menyurut. Banyak kalangan sejak dari Muhammadiyah, NU, dan MUI mengapresiasi langkah Presiden Jokowi.

 

Masalahnya perpres, dasar lampiran III itu, tidak berubah. Kalangan masyarakat khawatir, industri miras lewat celah tertentu miras terbuka bagi investasi asing di mana saja.

 

Dengan atau tanpa lampiran III, miras tetap marak. Kepala BKPM menyatakan, tanpa lampiran III industri miras sudah ada sejak lama: ada 109 izin usaha di 13 provinsi.

 

Karena itu, kalangan yang peduli boleh saja mengecek Perpres Bidang Usaha Penanaman Modal beserta babonnya, UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020. Agar komprehensif, mereka juga perlu melihat berbagai regulasi terkait lain. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar