Miras
dengan atau tanpa Lampiran Azyumardi Azra ; Profesor Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI |
REPUBLIKA,
04 Maret
2021
Undang-Undang Cipta Kerja No 11/2020 yang kontroversial
sejak masih berupa RUU Omnibus, belakangan ini kembali memunculkan
kontroversi. Ini terkait Perpres No 10 Tahun 2021 yang berlaku sejak 2
Februari tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Sebagai ketentuan turunan, perpres itu
dalam lampiran III membebaskan produksi dan perdagangan minuman keras (miras)
di empat provinsi, yakni Bali, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Awalnya, pembebasan produksi dan
perdagangan miras di keempat provinsi itu tampaknya didasari beberapa asumsi.
Pertama, mayoritas penduduk di keempat provinsi adalah non-Muslim, yaitu Hindu, Kristen, dan Katolik yang tidak
mengharamkan miras. Sementara itu, Islam mengharamkan; walau
ada juga Muslim minum miras—melanggar ketentuan agama. Meski penduduk keempat
provinsi tadi mayoritas non-Muslim, juga ada cukup banyak Muslim. Demografi agama (2019), Bali (Hindu 86,91
persen, Muslim 10,05 persen); NTT (Katolik 52,48 persen; Kristen 39,03
persen; Islam 8,28 persen); Sulawesi Utara (Kristen 62,82 persen, Islam 31,77
persen, Katolik 4,64 persen); Papua (Kristen 69,02 persen, Katolik 15,40
persen, Islam 15,29 persen). Sebagai tambahan, Provinsi Papua Barat (62,88
persen, Islam 36,74 persen, Katolik 8,71 persen). Asumsi kedua, pembebasan produksi dan
penjualan miras tidak berdampak banyak pada warga native (‘penduduk asli’
atau ‘bumiputra asli’ atau ‘pribumi asli’ atau ‘anak negeri asli’). Asumsinya, mereka terbiasa mengonsumsi
miras; ada mispersepsi, miras adalah budaya dan kearifan lokal di keempat
provinsi. Mestinya sebelum membebaskan industri
miras, Presiden Jokowi belajar agar tidak mengulangi kesalahan penguasa
negara lain. Kesalahan itu terkait nasib warga natives—di Australia disebut
Aborigin dan di Amerika Utara disebut ‘Native American’ (dulu pernah disebut
Indian). Kenestapaan dan keterpinggiran kaum
Aborigin Australia atau ‘Native Americans’, bukan hanya karena penaklukan
para pendatang kulit putih. Namun juga karena ‘cultural genocide’ lewat
konsumsi dan ketergantungan miras atau biasa disebut ‘alcoholism’. ‘Alkoholisme’ di AS menyebabkan kematian
sekitar 95 ribu orang setiap tahun; 261 orang setiap hari. Kematian ini
mengakibatkan ‘pemendekan’ usia rata-rata sekitar 29 tahun sehingga 2,8 juta
tahun potensi lenyap begitu saja. Itu baru di AS, belum di negara lain. Alkoholisme mengakibatkan pengeluaran dana
sangat besar. AS menghabiskan 249 miliar dolar AS akibat kerusakan miras.
Australia rugi lebih dari 14,352 miliar dolar Australia (AUD) per tahun
karena empat dampak: kehilangan produktivitas, biaya kesehatan, kecelakaan
lalu lintas, dan peradilan. Untuk Indonesia, tak ada data lengkap.
Menurut CIPS, antara 2014-2018, sekitar 546 tewas di Indonesia karena miras.
Paling tinggi pada 2018 saat lebih dari 100 tewas. Tak ada data jumlah dana
yang habis guna menutupi kerugian akibat alkoholisme di Indonesia dalam empat
hal tadi. Melihat peningkatan jumlah korban jiwa
karena mengonsumsi miras, DPR pernah mempersiapkan semacam RUU Larangan
Minol. Tetapi, RUU ini kontroversial di kalangan DPR dan publik; kini tidak jelas
lagi nasibnya. Pemerintahan Jokowi harus adil dan
protektif pada seluruh warga. Asumsi yang mendasari kebijakan harus diuji
sebelumnya di lapangan. Tanpa pengujian, liberalisasi investasi industri
migas, hanya mengorbankan natives dan warga lain di keempat provinsi. Sesuai motif UU Cipta Kerja untuk menarik
investasi asing sebanyak-banyaknya, pemerintah mengubah regulasi industri
minuman keras. Industri miras kini masuk daftar positif investasi (DPI)—dari
bidang usaha tertutup. Presiden Jokowi mesti tidak terlalu
menggantang asap investasi, termasuk industri miras. Presiden mesti
menghitung biaya besar karena miras, kematian, kesehatan; kerusakan hukum,
sosial-budaya, dan agama. Kaum ‘native’ Papua (dan Papua Barat) lewat
MRP dan gubernur menolak liberalisasi. Ormas Islam dari MUI, NU,
Muhammadiyah, ICMI, dan kalangan gereja dan agama lain juga menolak. Presiden Jokowi ternyata mau mendengar dan
mencabut Lampiran III Perpres itu (2/3/2021). Kegaduhan politik,
sosial-budaya, dan agama menyurut. Banyak kalangan sejak dari Muhammadiyah,
NU, dan MUI mengapresiasi langkah Presiden Jokowi. Masalahnya perpres, dasar lampiran III itu,
tidak berubah. Kalangan masyarakat khawatir, industri miras lewat celah
tertentu miras terbuka bagi investasi asing di mana saja. Dengan atau tanpa lampiran III, miras tetap
marak. Kepala BKPM menyatakan, tanpa lampiran III industri miras sudah ada
sejak lama: ada 109 izin usaha di 13 provinsi. Karena itu, kalangan yang peduli boleh saja
mengecek Perpres Bidang Usaha Penanaman Modal beserta babonnya, UU Cipta
Kerja No 11 Tahun 2020. Agar komprehensif, mereka juga perlu melihat berbagai
regulasi terkait lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar