Menulis
Sejarah Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
13 Maret
2021
Cerita integritas proklamator Mohammad
Hatta masih harum hingga kini. Namanya diabadikan sebagai Bung Hatta
Anti-Corruption Award. Kesederhanaan Hatta disebut sosiolog Selo Sumardjan
sangat kelewatan. Hanya sepatu Bally buatan Inggris, Hatta yang pernah
menjabat wakil presiden tak mampu membelinya. Kini, karena zaman telah
berubah, budaya pamer justru kerap dilakukan elite. Begitu juga cerita KH Abdurrahman Wahid.
Periode kepresidenannya pendek. Namun, legacy Gus Dur soal kemajemukan dan
penghargaan bagi masyarakat Tionghoa sangat diapresiasi. Perayaan Imlek dan
kesetaraan masyarakat Tionghoa berkat jasa Gus Dur. Gus Dur sempat
disebut-sebut sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Ada juga cerita soal Kapolri
Hoegeng Imam Santoso. Sosok teguh dan berintegritas. Dikenal sebagai polisi
bersih. Hakim Agung Artidjo Alkostar yang baru saja
berpulang dikenang sebagai algojo koruptor. Dia menggunakan palu hakimnya
sebagai ikhtiar membersihkan negeri ini dari korupsi. Ia berpulang dalam
kesunyian dan meninggalkan kepedihan bagi gerakan antikorupsi. Tetapi mungkin
juga kegembiraan bagi koruptor atau calon koruptor. Ada pula kisah polisi
Seladi di Malang. Ia mengurusi surat izin mengemudi di Polres Malang, Jawa
Timur, sambil menjalankan pekerjaan sampingan sebagai pemulung sampah. Sampai
dia pensiun pun, Seladi tetap memulung sampah. Namun, publik menghargai
Seladi dan selalu mengaitkannya sebagai ikon kejujuran. Sejarah bangsa kontemporer juga mencatat
anak-anak muda Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang mendobrak sistem
kepartaian Orde Baru. Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan mendirikan PRD.
Kemudian, dituduh subversi mendalangi kerusuhan 27 Juli 1996 dan dihukum
penjara. Perjuangan mendirikan partai amat berat. Bahkan, sampai reformasi
berjalan 22 tahun, PRD belum mampu tampil di pentas nasional. Setelah
dibebaskan, Budiman menempuh studi lanjut di Inggris, menjadi anggota DPR
dari PDI-P, dan kini menjadi komisaris BUMN. Perjalanan berikutnya masih akan
dicatat oleh sejarah. Kalau di Malang ada kisah soal polisi
Seladi, di Jakarta ada kisah jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa dengan
kehidupan mewah, tinggal di apartemen mewah, menggunakan mobil mewah,
ternyata penghasilannya diperoleh dari dagang perkara. Penampilannya pun
berubah. Dari yang semula glamor menjadi berpenampilan seperti sangat
religius saat diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pinangki menyimpan
misteri siapa sebenarnya ”King Maker” yang masih ditutupinya dalam perkara
terkait terpidana cessie Bank Bali, Joko S Tjandra. Sejumlah menteri dalam kabinet pemerintahan
Presiden Jokowi juga sedang menuliskan sejarah tentang diri, kiprahnya dalam
pemerintahan. Ada kisah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Menteri
BUMN Erick Tohir dan Wakil Menteri BUMN (kini Menteri Kesehatan) Budi Gunadi
Sadikin yang berjibaku mengadakan vaksin untuk negeri. Kini, Budi
Gunadi—sosok yang selalu ditempa dalam berbagai krisis—terus bekerja keras
untuk meningkatkan vaksinasi bagi 181 juta orang Indonesia guna tercapainya
kekebalan komunitas. Ada pula kisah Kepala Staf Kepresidenan
Jenderal (Purn) Moeldoko yang menerima ”tawaran” sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat versi Kongres Luar Biasa Deli Serdang, Sumatera Utara. Diawali
dengan ngopi-ngopi atau ngobrol dengan tokoh Partai Demokrat, Moeldoko
akhirnya menerima ”tawaran” menjadi ketua umum untuk menggantikan Mayor
(Purn) Agus Harimurti Yudhoyono. Sejarah itu masih akan terus bergerak.
Apakah pemerintahan Presiden Jokowi akan mengesahkan penyelenggaraan KLB dan
Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, masih harus dilihat, beberapa
waktu ke depan. Kisah penyelenggaraan negara adalah kisah
dramatis dan tidak bisa diduga. Tak ada yang menduga sosok sipil seperti
Jokowi—orang kecil dari Solo—bisa menjadi orang nomor satu di republik ini.
Ia menjadi presiden sipil pertama di Indonesia yang terpilih secara
demokratis untuk dua periode. Anak dan menantu Presiden Jokowi kini terpilih
sebagai wali kota Solo dan Medan lewat jalan demokrasi. Keduanya bisa saja
meneruskan jejak politik Presiden Jokowi. Juga tak ada yang menduga sosok Gubernur
Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, yang disebut-sebut sebagai ”Matahari dari
Timur”, harus meringkuk di tahanan KPK karena disangkakan menerima suap.
Padahal, Nurdin adalah penerima anugerah Bung Hatta Anti-Corruption Award.
Sistem politik dan birokrasi yang korup, dan pengaruh lingkungan keluarga,
menjadi ujian para pemimpin. Ada yang sukses, ada yang gagal melaluinya. Pepatah lama mengatakan, honores mutant
mores, saat manusia mulai berkuasa, maka mulai berubahlah tingkah lakunya.
Kekuasaan memang begitu memesona, menggetarkan. Akibatnya, banyak orang mabuk
kekuasaan dan kemudian jatuh karena menyalahgunakannya. Tindakan politik selalu terkait dengan
kekuasaan. Merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan,
dan meng-exercise kekuasaan. Ketika exercise kekuasaan sukses dilakukan tanpa
perlawanan, seperti ada energi untuk terus meng-exercise kekuasaan, untuk
mempertahankannya. Cerita sejarah sedang dibuat. Terserah
elite mau dikenang sebagai apa. Sebagai tokoh bersih, koruptor, pemersatu
bangsa, atau sebagai apa. Itu tergantung pilihan dan putusan politik. Namun,
yang pasti, generasi berikut akan membaca sejarah itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar