Membaca
Pemakzulan Terhadap Trump Todung Mulya Lubis ; Duta besar Indonesia untuk Norwegia
dan Islandia |
KOMPAS,
27 Februari
2021
Paman Sam bukan lagi negara adidaya yang
dikagumi dunia. Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Demokrasi yang baru saja
diluncurkan oleh Transparency International dan The Intelligence Unit of the
Economist tak memberikan tempat terhormat kepada Amerika Serikat (AS). Di sana banyak korupsi dan tak pula bisa
dirujuk sebagai kampiun demokrasi. Negara-negara Skandinavia sekarang merajai
papan atas negara terbersih dari korupsi dan paling demokratis. Tapi apapun
yang terjadi di AS selalu menarik perhatian. Pemilihan presiden yang berekor pada klaim
curang dan pemberontakan (insurrection) ke Capitol Hill menjadi berita paling
dibaca karena tak pernah terjadi presiden petahana mengklaim pilpres curang,
tak pernah ada presiden petahana memprovokasi pendukungnya untuk melakukan
pemberontakan dan menguasai Capitol Hill dalam sejarah panjang AS. Apa yang terjadi pada 6 Januari 2021 di
Capitol Hill adalah tragedi nasional, sebuah aib nasional, tonggak kemunduran
demokrasi dalam bentuknya yang purba. Joe Biden sudah menjadi presiden, Trump
gagal menghentikan pelantikan Biden sebagai presiden meski dia sudah
menggiring massa untuk menduduki Capitol Hill, seolah mereka sedang melakukan
revolusi dan kudeta. Beberapa orang meninggal dunia dan tak terbilang yang
luka-luka. Dunia tercengang melihat ’pemberontakan’
yang terjadi di negara yang dianggap maha guru demokrasi. Hasutan yang
dilakukan Trump adalah pemberontakan, percobaan kudeta. Karena itu Trump
harus dimakzulkan (impeach). Kongres yang dimotori Demokrat bergerak
cepat menjatuhkan pemakzulan kepada Trump. Selain anggota Kongres Partai
Demokrat, ikut pula bergabung 10 anggota Kongres Partai Republik. Pemakzulan
itu disebut pemakzulan bipartisan. Itu terjadi sebelum pelantikan Biden
sebagai presiden. Seharusnya pemakzulan itu diproses di Senat
semasa Trump masih menjabat presiden tetapi Senator Mitch McConnell, ketua
Senat pada waktu itu, mengatakan Senat tak akan memproses pemakzulan karena
sibuk mempersiapkan pelantikan presiden terpilih Biden. Senat akan menerima
berkas pemakzulan dari Kongres seusai pelantikan dan baru setelah itu proses
pemakzulan itu bisa dilakukan. Persoalannya apakah pemakzulan bisa
dilakukan terhadap seseorang yang tak lagi menjabat sebagai presiden? Ini
pertanyaan konstitusional yang menyelimuti semua anggota Kongres dan Senat
termasuk para ahli hukum konstitusi. Setahu saya pemakzulan itu adalah forum
yang disediakan oleh konstitusi untuk memberhentikan presiden yang sedang
menjabat. Mayoritas anggota Senat dan Kongres Partai Republik menafsirkan
pemakzulan secara sempit dan hanya beberapa saja yang menganggap pemakzulan
terhadap mantan presiden bisa dilakukan. Sudah ada preseden untuk itu. Praktis semua anggota Senat dan Kongres
dari Demokrat menganggap pemakzulan bisa dilakukan karena apa yang dilakukan
Trump sudah melewati batas, melanggar konstitusi dan hukum, mencederai
republik, menggoyahkan pilar-pilar bernegara dan berbangsa. Memang hasutan
yang dilakukan Trump sangat telanjang dan mati-matian, dia tak menerima kalah
dan dia melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk tetap bertahan di sepatu
kekuasaan. Pidato Trump membakar dan menyulut
kemarahan, dan itu dilakukan bukan hanya pada 6 Januari 2021 tetapi jauh
sebelum itu. Cuitan di Twitter yang dikeluarkannya begitu berbahaya membuat
orang cemas bahwa akan ada perang saudara, bahwa AS akan terpecah (padahal AS
sudah terbelah, divided society). Pasukan media sosialnya bekerja menggergaji
dan meneror massa pendukungnya untuk bergerak. Dia berjanji bersama para perusuh dan
memuji mereka sebagai patriot. Syukurlah berbagai platform medsos seperti
Facebook, YouTube dan Twitter melakukan blokir, secara permanen. Ini pun saya
tak mengerti mengapa ini bisa dilakukan. Pemblokiran secara permanen adalah
pelanggaran HAM, pelanggaran demokrasi. Namun harus diakui setidaknya waktu
itu, pemblokiran ikut meredam kegaduhan dan kemarahan. Proses
politik Terlepas dari polemik setuju atau tak
setuju pemakzulan digelar, faktanya pemakzulan akhirnya berhasil
dilangsungkan. Manajer Pemakzulan dari Kongres menyampaikan dakwaannya dengan
komprehensif dan menggetarkan, membuat siapapun yang melihat video dan jejak
yang ditampilkan terpana. Tak terbayang apa yang terjadi kalau para perusuh
berhasil menemukan anggota Kongres, Senat dan Wakil Presiden Mike Pence. Tak terbayang kesalahan dan keteledoran
kecil akan membuat hitam semua proses demokrasi di AS. Para perusuh yang
sangar, berang dan bersenjata tajam pasti membuat nyali ciut. Bendera
Konfederasi yang dibawa ke dalam Capitol Hill menghidupkan kembali
keterbelahan AS, penolakan terhadap ide AS sebagai melting pot, tempat
pengadu nasib semua imigran yang berlabuh mengejar ‘the American dream’. Manajer Pemakzulan menyatakan vonis
pemakzulan harus dijatuhkan tanpa keraguan. Pembelaan oleh kuasa hukum Trump
sangat lemah karena hanya menekankan bahwa tak ada hasutan dan apa yang
diucapkan oleh Trump dilindungi oleh Konstitusi AS Amandemen Pertama (First
Ammendment). Kuasa hukum Trump juga mengatakan sidang
pemakzulan harus berjalan sesuai proses hukum yang berlaku. Tapi semua itu
tak terjadi. Meski Manajer Pemakzulan dan kuasa hukum diberikan waktu yang
seimbang, para senator kedua partai juga diberikan waktu yang seimbang, aspek
due process of law tak kita temukan karena memang proses pemakzulan ini pada
dasarnya bukanlah proses pengadilan. Jadi salah kalau mengharapkan proses
pemakzulan sebagai proses peradilan biasa. Proses ini adalah proses politik
yang memang terdapat dasar konstitusionalnya. Pada pemakzulan terhadap
presiden petahana, Ketua Mahkamah Agung akan memimpin proses pemakzulan.
Tetapi Ketua Mahkamah Agung John Robert tak bersedia memimpin proses
pemakzulan ini karena yang dimakzulkan sudah tak menjabat presiden. Karena itu yang memimpin proses pemakzulan
anggota Senat Partai Demokrat tertua, Senator Patrick Leahy. Itupun lebih
sebagai timekeeper. Lantas apa yang ingin dicapai dengan proses pemakzulan
ini? Mayoritas senator Partai Republik menganggap proses pemakzulan
inkonstitusional, sementara semua senator Demokrat dan beberapa senator
Partai Republik menganggap konstitusional. Tetapi tujuan utama proses pemakzulan ini
adalah menghukum Trump untuk tak bisa maju lagi di pilpres mendatang. Selain
itu untuk menggambarkan betapa AS dalam bahaya kalau insureksi seperti ini
tak diungkapkan dan tak dipersoalkan. Bukankah pemakzulan yang digelar
kemarin sebuah overdoing? Tapi setidaknya sejarah harus ditegakkan. Apa yang terjadi? Pemakzulan tak berhasil
dijatuhkan. Trump dibebaskan, karena batas dukungan untuk pemakzulan tak bisa
didapatkan dari 17 suara Partai Republik seperti dipersyaratkan. Harus ada 67
suara untuk melakukan pemakzulan. Mayoritas sederhana 50+1 tak bisa
memakzulkan. Hasil pemungutan suara menunjukkan 57 suara setuju pemakzulan,
43 suara tak setuju dengan pemakzulan. Hukuman
untuk Trump Sebanyak 100 senator yang terdiri dari
masing-masing 50 senator mewakili Partai Republik dan Demokrat, yang menjadi
juri telah menjatuhkan putusan, membebaskan Trump. Apakah Trump bebas dari tanggung jawab
perdata dan tanggung jawab pidana? Belum tentu. Pemimpin Minoritas Senat, Senator
Mitch McConnell mengatakan bahwa tanggung jawab hukum bisa diproses melalui
peradilan biasa. Tapi secara politik Trump telah dihukum, secara moral dia
tak akan bisa lagi memimpin Partai Republik. Dia telah kehilangan legitimasi,
dan dengan berjalannya waktu dia juga akan kehilangan otot politiknya. McConnell mengatakan, pemberontakan yang
terjadi 6 Januari adalah provokasi dan hasutan dari Trump, memalukan dan
kelalaian tugas yang memalukan. Tapi McConnell ikut memutuskan
pembebasanTrump walau dia mengatakan Trump bersalah, hanya saja forumnya
tidak berada di Senat. Lagipula, kata McConnell, yang melakukan
pemberontakan ke Capitol Hill hanya ratusan orang. Janganlah menghukum 74
juta pemilih Trump yang berdiam di rumah. Pada akhirnya, hanya satu orang
yang bertanggung jawab yaitu Trump. Ini kata McConnell, Tentu anggota Kongres dan Senat dari Partai
Demokrat tak setuju. Proses pemakzulan ini adalah proses politik, bukan
proses hukum. Fakta-fakta hukum tak sepenuhnya menentukan suara para senator
dan anggota Kongres. Politik menjadi panglima. Hasil pemungutan suara adalah
cermin politik AS yang terbelah, bukan kebenaran yang terungkap. Semua itu adalah bagian dari ‘tawar-menawar
politik’ menuju 2022 ketika pemilihan sela dilakukan, saat di mana akan ditentukan
peta pilpres di 2024. Inilah cara pandang yang lebih realistis. Jadi melihat
absennya due process of law, jangan heran melihat para senator yang jadi juri
mengajukan pertanyaan (tak hanya mendengar) dan senator Partai Republik
menemui kuasa hukum di kamarnya. Pada peradilan biasa itu tak terjadi, dan
tak boleh terjadi. Proses pemakzulan adalah proses politik yang diputuskan
oleh ‘tawar menawar politik’ para pihak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar