Jumat, 05 Maret 2021

 

Melawan Mafia Tanah, Negara Tak Boleh Kalah

 Iwan Nurdin ; Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan

                                                        KOMPAS, 05 Maret 2021

 

 

                                                           

Mafia tanah telah lama menjadi aktor masalah agraria. Tak heran, sebagai akibat dari mafia tanah, persoalan seperti konflik, sengketa, dan perkara agraria dan pertanahan seolah tak terselesaikan secara adil, dan angkanya naik setiap tahun.

 

Sebagai masalah lama yang belum terpecahkan, tercatat telah terdapat beberapa upaya untuk memberantas mafia tanah. Misalnya, pada 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH). Dalam laporan satgas ini, kasus pertanahan menempati urutan pertama.

 

Lalu, pada era Jokowi, pada 2017 dibentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria. Namun, hingga kini persoalan pertanahan tetap menjadi persoalan utama laporan masyarakat kepada institusi, seperti DPR, Kantor Staf Presiden, dan Komnas HAM, Ombudsman RI, yang belum terselesaikan.

 

Ekosistem mafia

 

Apa yang melatari tumbuh suburnya mafia tanah? Di mana pun, persekutuan mafia tumbuh karena ketertutupan, rendahnya pengawasan publik, dan minimnya penegakan hukum.

 

Tiga hal tersebut semakin mengonservasi ekosistem mafia tanah ketika pembangunan ekonomi telah menjadikan tanah melulu menjadi aset dan komoditas ekonomi. Melupakan bahwa tanah juga memiliki fungsi sosial. Bahkan lebih jauh, tanah telah menjadi alat bagi penciptaan ruang akumulasi baru yang lebih menjanjikan ketika perencanaan tata ruang juga disetir oleh modal dan pasar.

 

Sebagai aset, tanah merupakan instrumen investasi dan salah satu agunan perbankan terbesar. Bahkan, menurut Hernando de Soto (2003), nilainya puluhan kali dari semua investasi asing langsung negara-negara pemburu investasi. Sebagai komoditas, tanah dapat diperjualbelikan secara mudah, tetapi dengan pencatatan yang buruk.

 

Keadaan ini telah menghasilkan jenis mafia tanah model pertama, yakni melakukan usaha sistematis dengan pejabat terkait untuk melakukan penyertifikatan, tumpang-tindih sertifikat, jual beli palsu, hingga balik nama sertifikat tanah-tanah milik masyarakat. Korban dari mafia ini akan mengalami penggusuran, baik karena ketiadaan bukti formil maupun minimnya jejaring kekuasaan.

 

Biasanya, operasi mafia semacam ini berkesinambungan dengan jenis mafia tanah lanjutan, yakni kelompok besar yang mampu melakukan pengubahan tata ruang.

 

Persekongkolan semacam ini dapat menghasilkan perubahan kawasan hijau dan konservasi menjadi kawasan perumahan dan bisnis, pemutihan terhadap pelanggaran tata ruang, hingga perubahan arah proyek infrastruktur yang ironisnya semakin memudahkan komersialisasi atas perubahan ruang yang terjadi.

 

Patut dicatat, situasi ini bukan hanya terjadi di perkotaan. Pada areal sumber daya alam (SDA), khususnya kawasan kehutanan, perkebunan, pesisir kelautan, dan pertambangan, situasi hampir serupa juga terjadi (mafia agraria dan SDA).

 

Upaya untuk memperbaiki keadaan semacam ini bukan perkara ringan. Sebab, perlawanan balik mafia tanah kepada pihak yang mencoba melakukan ralat, revisi, atau pembatalan terhadap kesalahan yang sebelumnya terjadi berujung kepada kriminalisasi masyarakat, bahkan mutasi dan demosi birokrat.

 

Melawan mafia

 

Bagaimanapun, negara harus menang dalam persoalan mafia tanah semacam ini. Masalah mafia tanah jenis pertama dapat segera diselesaikan secara terbuka oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) jika tanpa tebang pilih melakukan upaya revisi, ralat, pembatalan atas terbitnya sejumlah sertifikat tanah yang telah menghasilkan sejumlah konflik, sengketa agraria, dan perampasan tanah masyarakat.

 

Tradisi lama BPN dengan melemparkan kepada pengadilan untuk memutus keabsahan produk BPN sendiri harus ditinjau ulang. Kepercayaan publik bahwa lembaga pertanahan serius memberantas mafia tanah akan terbangun dan juga dapat dibuktikan dengan menggandeng lembaga pengawas pelayanan publik, kepolisian, dan masyarakat sipil. Dengan demikian, proses penyelesaian masalah publik ini tidak dilokalisasi menjadi masalah internal ATR/BPN.

 

Langkah selanjutnya ialah mencegah dan menghentikan model mafia tanah kedua dengan menerapkan keterbukaan data pertanahan (open land data) sebagai bagian dari sistem informasi pertanahan dan tata ruang secara lengkap.

 

Pembangunan sistem data pertanahan yang terbuka selama ini justru mendapat tentangan keras dari ATR/BPN sendiri. Karena itu, beberapa putusan Mahkamah Agung terkait informasi publik pertanahan justru tidak dilaksanakan.

 

Menciptakan ekosistem semacam ini sangat penting bagi pemerintah untuk mengajak semua pemangku kepentingan segera menentukan aspek keterbukaan dari isu utama keterbukaan data pertanahan selama ini, yakni transparansi vs privasi; ketersediaan versus aksesibilitas; data resmi (official) dan tidak resmi (unofficial), dan umum versus tematik.

 

Tanpa keterbukaan semacam ini, upaya Kementerian ATR/BPN melakukan proses sertifikat elektronik bisa menimbulkan persoalan baru karena belum didukung semangat transparansi proses yang diawasi publik.Keuntungan utama dari keterbukaan data pertanahan akan mempercepat lahirnya data agraria nasional yang akurat sehingga dapat dijadikan dasar bagi perencanaan pembangunan, baik sebagai langkah untuk melakukan pengurangan ketimpangan struktur agraria (agrarian reform) maupun proses pembangunan selanjutnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar