Kudeta
Merangkak dan Pelantikan Soeharto sebagai Presiden RI Muhammad Iqbal ; Wartawan Tirto |
TIRTO,
27 Maret
2021
Pada 11 Maret 1966, Sukarno memimpin rapat
kabinet di Jakarta. Sementara para mahasiswa berdemonstrasi di jalan-jalan.
Menurut Salim Haji Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto
(2015: 25-26), Sukarno mendapat informasi bahwa pasukan tidak dikenal tengah
mengepung istana negara. Maka, dia segera naik helikopter menuju Bogor,
ditemani Subandrio dan Chaerul Saleh. Malam itu, tiga jenderal utusan Soeharto
menyusulnya ke Bogor dan membujuk Sukarno untuk menandatangani sebuah dokumen
yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban, menjalankan
pemerintahan, dan melindungi presiden atas nama revolusi. Dokumen ini
kemudian dikenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Menurut Baskara T. Wardaya, SJ dalam
Membongkar Supersemar!: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno
(2007: 203-39), setelah mengantongi Supersemar, Soeharto dan para
pendukungnya kemudian menghancurkan sisa-sisa Demokrasi Terpimpin di hadapan
Sukarno yang marah tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Pada 12 Maret 1966, Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan semua organisasi massanya dilarang. Tanggal 18 Maret
1966, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri kabinet
lainnya ditahan. Salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara,
Surachman, lolos tetapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada 1968.
Sementara Chaerul Saleh meninggal di bui tahun 1967. Anggota kabinet lain seperti Idham Chalid,
Leimena, dan Roeslan Abdulgani tetap berada di kabinet baru yang dilantik
pada 27 Maret 1966. Kabinet ini dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu Soeharto,
Sultan Hamengkubuwana IX, dan Adam Malik. Pembersihan terhadap tentara dan birokrasi
juga dilakukan. Sekitar 2.600 pasukan Divisi Diponegoro dibebastugaskan,
diskors, dipecat, atau ditertibkan, dan banyak yang lainnya ditahan. Sebagian
perwira tentara anti-PKI tetapi pro-Sukarno dipindahkan dari komando
strategis pada Mei 1966. Kebijakan luar negeri Demokrasi Terpimpin
diserahkan kepada Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri yang baru. Poros
Jakarta-Beijing dimusnahkan dengan cepat. Gedung milik para diplomat dan
swasta Cina diserang oleh aktivis anti-PKI. Menurut Taomo Zhaou dalam
Migration in the Time of Revolution: China, Indonesia, and the Cold War
(2019), pada awal 1966, Beijing tahu bahwa tidak mungkin lagi mempertahankan
operasinya di Indonesia. Pada Maret 1966, Beijing menutup agen
beritanya di Jakarta, Xinhua (Hsin Hua), dan tiga konsulatnya, serta menarik
duta besarnya pada Mei 1966. Sementara duta besar Indonesia untuk Beijing
diperintahkan pulang pada Februari 1966, tetapi dia menolak dan diberikan
suaka politik oleh Cina. Para diplomat yang berhubungan dengan Cina secara
formal dibekukan oleh Jakarta pada 31 Oktober 1967, setelah terjadi gelombang
kerusuhan anti-Cina. Kebijakan luar negeri anyar bertujuan untuk
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan negara-negara Barat guna memperoleh
bantuan ekonomi yang sangat diperlukan. Syarat-syarat itu termasuk mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia. Dalam Conflict and Confrontation in South East
Asia, 1961-1965: Britain, the United States, Indonesia and the Creation of
Malaysia (2001), Matthew Jones mendedahkan bahwa pada April 1966 Indonesia
bergabung lagi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan pada Mei 1966, Adam
Malik mengumumkan bahwa Indonesia kembali bekerja sama dengan International Monetary
Fund (IMF). Hamengkubuwana IX menangani urusan ekonomi,
keuangan, dan pembangunan. Dia mengumumkan langkah reformasi pertama pada
April 1966. Akan tetapi, usaha mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia agak
terhambat akibat sikap keras sebagian personel militer. Mereka berpendapat
bahwa usaha mengakhiri konforntasi tidak harus dilakukan dengan cara
merendahkan negara sendiri. Maka, dalam upaya menegosiasikan penyelesaian
konfrontasi, Ali Moertopo dan organisasi Opsus-nya turun tangan. Menurut Aiko Kurasawa dalam Peristiwa 1965:
Persepsi dan Sikap Jepang (2015), pada Mei 1966 Soeharto mendukung
berakhirnya konfrontasi, dan delegasi perwira senior menunjukkan iktikad baik
dengan berkunjung ke Kuala Lumpur. Hanya dalam hitungan hari, Jepang mendukung
pemerintahan Orde Baru dengan menawarkan utang darurat sebesar US$ 30 juta. Pada 29 Mei 1966, Adam Malik bertemu dengan
Deputi Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak di Tokyo, dan konfrontasi pun
berakhir dengan penandatanganan perjanjian pada 11 Desember 1966. Hubungan
diplomatik penuh antara Indonesia dan Malaysia dipulihkan pada Agustus 1967. Namun, situasi politik dalam negeri tidak
sepenuhnya berada di bawah kendali Orde Baru. Menurut Merle Calvin Ricklefs
dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 [4th Edition] (2008),
serangan balasan oleh kekuatan pro-Sukarno masih mungkin terjadi, mungkin
dengan bersandar pada Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai basis politik
mereka. Orang-orang yang anti-Sukarno di kalangan
militer dan Islam menginginkan PNI dilarang, tetapi Soeharto masih cemas akan
apa yang dianggapnya sebagai fanatisme Islam, dan menginginkan PNI sebagai
imbangannya. Maka, Soeharto bukannya melarang, tetapi membersihkan PNI. Pada
April 1966, dia mengatur kongres PNI dan menurunkan kepemimpinan orang-orang
Sukarnois di bawah Ali Sastroamidjojo. Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI:
Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006) menyebutkan, di
bawah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, presiden bertanggung jawab kepada MPRS.
Sementara jumlah anggota MPRS berkurang akibat penahanan sekitar 180
anggotanya, dan sentimen anti-Sukarno meningkat di kalangan anggota MPRS yang
tersisa. Maka itu, Soeharto merasa aman untuk mengundang MPRS bersidang pada
Juni-Juli 1966. MPRS meratifikasi Supersemar, melarang PKI,
dan mengharamkan Marxisme sebagai doktrin politik. Selain itu, juga menuntut
pemilu diadakan pada 1968, mendesak Sukarno untuk memberi penjelasan tentang
pelanggaran susila, korupsi, mismanajemen ekonomi yang dilakukan pemerintahan
Demokrasi Terpimpin, dan perihal peran Sukarno dalam usaha kudeta pada 1965.
Gelar presiden seumur hidup yang dianugerahkan MPRS pada Mei 1963
ditanggalkan. Sukarno juga dilarang mengeluarkan keputusan presiden. Meski Sukarno menolak tuntutan MPRS untuk
memberikan penjelasan, tetapi terang sudah bagi semua orang bahwa era Sukarno
sudah berakhir. Baru pada Januari 1967, Sukarno akhirnya mengatakan kepada
MPRS, bahwa dia tidak mengetahui usaha kudeta itu sebelumnya--lihat Budi
Setiyono dan Bonnie Triyana (eds.), Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato
Presiden Soekarno, 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara (2014). Audrey Kahin dalam Rebellion to
Integration, West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998 (1999: 361-3)
menjelaskan, perpisahan dengan Demokrasi Terpimpin mulai terjadi pada
pertengahan 1966 dengan dilepaskannya para tahanan politik yang terlibat PRRI
dan Permesta. Sumual, Simbolon, dan orang-orang militer
lainnya yang dibebaskan memperoleh karier anyar dalam jagat bisnis. Sementara
Sjafruddin, Natsir, dan warga sipil lainnya tidak mendapatkan peluang sebesar
itu untuk berkarier, karena mereka kurang dipercaya oleh elite Orde Baru
seperti halnya pada zaman rezim Sukarno. Reformasi
Ekonomi Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks
dalam An Economic History of Indonesia, 1800-2012 (2012), ketika Orde Baru
semakin mengendalikan negara dan peluang bangkitnya pendukung Sukarno
menyusut, prospek Soeharto memperoleh bantuan keuangan dalam jumlah besar
dari dunia Barat semakin meningkat pula. Salah satu masalah pertama Soeharto adalah
utang luar negeri yang begitu besar yang diwariskan pemerintahan Demokrasi
Terpimpin. Pada akhir 1965, jumlahnya mencapai US$ 2,36 miliar, 59,5% di
antaranya merupakan utang kepada negara komunis (42% kepada Uni Soviet),
24,9% kepada negara Barat, dan sisanya utang kepada negara-negara nonkomunis
lainnya. Jepang adalah kreditur terbesar di luar negara-negara komunis (9,8%
dari total utang). Walaupun utang ini sangat besar, namun
jumlahnya lebih kecil daripada utang yang kelak diperoleh Orde Baru. Para
kreditur nonkomunis setuju untuk bertindak bersama-sama dan akhirnya
membentuk IGGI (Inter-Govermental Group on Indonesia) tahun 1967. Dari Juli
1966, mereka mulai menjadwal ulang pembayaran utang Indonesia. Bulan Oktober,
Adam Malik juga menjadwal ulang sebagian pembayaran utang Indonesia kepada
Uni Soviet. Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi yang
diberikan negara-negara Barat, pemerintahan Soeharto mengadopsi
langkah-langkah reformasi yang terus-menerus dipuji oleh Bank Dunia dan IMF.
Menurut Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns: Authoritarian
Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968 (2008: 276-330),
pelbagai langkah ini mendominasi kebijakan ekonomi pada 1970-an. Strategi laissez-faire pintu terbuka untuk
meningkatkan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi maksimum diiringi dengan
pengendalian ekonomi intern nan tegas. Kebijakan-kebijakan baru ini didukung
dengan hadirnya sekelompok ahli ekonomi Indonesia yang terdidik secara akademis
seperti "mafia Berkeley". Karena mereka mampu berbicara dalam
bahasa ekonomi internasional, maka menambah kredibilitas pemerintahan
Soeharto di mata negara-negara Barat. Mereka juga tetap berpengaruh dalam
rezim yang didominasi militer itu, meskipun terkadang ditentang oleh
orang-orang yang lebih mendukung nasionalisme ekonomi yang lebih besar. Menurut penulis biografi Suharto, R. E.
Elson dalam Suharto: A Political Biography (2008), laporan pemerintah
Indonesia bulan September 1966 kepada para krediturnya melukiskan tingkat
bencana nasional yang dihadapi rezim anyar ini. Inflasi tahunan terhitung
melebihi 600%, persediaan uang 800 kali lebih tinggi ketimbang angka pada
1955, dan defisit pemerintah 780 kali lebih banyak daripada tahun 1961. Saat berkonsultasi dengan IMF, para
teknokrat memperkenalkan pengendalian anggaran, tarif bunga tinggi,
pengendalian ekspor yang lebih ketat, dan pelbagai langkah anti-korupsi yang
akan dimulai pada Oktober 1966. Perusahaan-perusahaan Inggris dan AS yang
sebelumnya disita negara, segera dikembalikan kepada pemiliknya. Bulan
Februari 1967, undang-undang investasi anyar disahkan untuk mendorong
investasi asing. Akan tetapi, para teknokrat sesungguhnya
hanya mampu mengendalikan sebagian ekonomi. Pengurangan drastis pada anggaran
resmi militer tidak terlalu diperhatikan tentara, karena bisnis yang
dijalankan oleh mereka sudah berkembang dengan baik dan mampu menutup
kekurangan anggaran. Perusahaan minyak sangat penting. Sejak
1963, Pertamina telah membuat kesepakatan pembagian keuntungan dengan Caltex
dan Stanvac. Pada akhir 1965, Shell menjual semua sahamnya kepada Pertamina.
Pemberian pendapatan utama lainnya adalah Bulog (Badan Urusan Logistik) yang
dibentuk pada 1966 dan menangani terutama urusan beras (Ricklefs 2008: 573). Kerajaan bisnis yang dijalankan oleh
Chaerul Saleh dan pemimpin Orde Lama lainnya diambil alih oleh elite Orde
Baru. Koneksi yang erat antara kepemimpinan Indonesia baru dan dunia modal
swasta tercipta. Menurut David Jenkins dalam Suharto and His Generals:
Indonesia Military Politics, 1975-1983 (1984), elite merasa beruntung bekerja
sama dengan para cukong Tionghoa-- karena akses mereka pada modal, kecergasan
dalam berdagang, dan ketidakberdayaan dalam politik. Selama bertahun-tahun, kekayaan yang
mengalir deras ke tangan elite Indonesia menciptakan kelas atas anyar: basis
sosial tersohor rezim Soeharto. Sementara sebagian keluarga cukong juga
menjadi kaya raya. Parade
Vonis Mati dan Pelantikan Ketika reformasi ekonomi tengah berjalan,
tekanan politik domestik mendekati puncaknya. Menurut John Roosa dalam
Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup
d’Etat in Indonesia (2006), kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan
oleh Mahmillub menuduh Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965. Subandrio dan Omar Dhani divonis mati,
berturut-turut pada Oktober dan Desember 1966--namun kedunya tidak pernah
dieksekusi. Bulan Desember 1966, Sudisman ditangkap; dia divonis mati. Pada
bulan itu juga, Sjam ditangkap. Dengan demikian, Orde Baru mendapat sumber
paling penting ihwal bagaimana rencana kudeta disusun. Sjam ditahan dan diperiksa secara reguler
untuk memperoleh informasi tentang kudeta itu, sampai akhirnya dia dieksekusi
mati pada 1986. Mahasiswa, pengacara, dan hakim kini mulai menuntut agar
Sukarno juga diseret ke pengadilan. Kalakian, dalam bukunya The Army and
Politics in Indonesia (2007: 248-72), Harold Crouch mendedahkan bahwa
Soeharto melakukan langkah terakhirnya menuju kemenangan politik dalam
negeri. Dia percaya bahwa inilah saat yang paling memungkinkan untuk
menyingkirkan Sukarno. Soeharto menunjuk anggota anyar parlemen
(DPR-GR) untuk mengganti para anggota yang telah disingkirkan, dan menggelar
sidang MPRS pada Maret 1967. Di tengah rumor bahwa KKO (Marinir) polisi, dan
Divisi Brawijaya akan tetap setia mendukung Sukarno, serta 80.000 pasukan
menduduki Jakarta, pada 12 Maret MPRS menanggalkan semua kekuasaan dan gelar
Sukarno. Mereka selanjutnya mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden pada
27 Maret 1968, tepat hari ini 53 tahun lalu. Menurut Michael R. J. Vatikiotis dalam
Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order (1999),
Soeharto diberi kekuasaan untuk menentukan apakah Sukarno harus dibawa ke
pengadilan atau sebaiknya. Soeharto pada akhirnya tidak pernah menuntut
pendahulunya itu karena khawatir akan memobilisasi sisa-sisa pendukung
Sukarno. Namun, Orde Baru melakukan de-Sukarnoisasi
untuk memperkecil peranan dan kehadiran Sukarno dalam sejarah dan ingatan
bangsa Indonesia. Sukarno pensiun dengan status sebagai tahanan rumah dan
diisolasi di Istana Bogor hingga wafat pada Juni 1970. Setelah itu, Soeharto
benar-benar menguasai politik Indonesia secara mutlak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar