Komunikasi
Kritik, Kualitas Demokrasi dan Kemajuan Bangsa Widodo Muktiyo ; Dirjen IKP Kominfo dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS Solo |
KOMPAS,
27 Maret
2021
Belum lama ini, istilah kritik ramai
diperbincangkan. Seolah-olah apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa
pemerintah membutuhkan kritik dan pemerintah perlu dikritik merupakan
paradoks dan penuh kontradiksi. Satu sisi, pernyataan itu diapresiasi karena
memang begitulah demokrasi, tetapi di sisi lain, ada yang meragukan.
Pertanyaannya adalah bagaimana menguraikan anggapan paradoks-paradoks dan
kontradiksi-kontradiksi itu? Ada tiga permasalahan penting, kenapa
komunikasi yang dipandang sebagai kritik, tetapi oleh orang lain dipandang
sebagai ujaran kebencian atau provokasi. Pertama adalah masalah semiotika.
Pilihan diksi dalam komunikasi menentukan indikasi makna yang dirujuk. Dengan
perkataan lain, setiap komunikasi memiliki makna yang dituju, satu sisi bagi
penyampai, pada saat yang bersamaan, makna bagi penerima komunikasi. Celahnya ada pada terbukanya kemungkinan
perbedaan makna yang dimaksudkan dari penyampai, dengan mereka yang menangkap
komunikasi. Perbedaan budaya, nilai rasa kata, dan kepentingan dapat
memperlebar jarak bagi titik temu makna yang sama. Misalnya kata bobrok bagi
penyampai komunikasi dimaksudkan untuk memberi ketegasan dan agar mendapat
perhatian serta dukungan, sedangkan bagi penerima komunikasi kata bobrok
dipandang sebagai hal yang tidak patut dan tendensius. Masalah semiotika tidak terbatas pada makna
indikatif dari diksi yang dipilih. Namun, hubungan antar-ujaran dalam
perkataan membuka peluang bagi terbentuknya makna baru. Hubungan kata dengan
kata, dan hubungan kalimat dengan kalimat, harus menjadi satu kesatuan utuh
dalam memahami ujaran, yang kemudian dapat kita tentukan apakah ujaran itu
merupakan bentuk komunikasi kritik atau sebaliknya sebagai komunikasi
provokatif. Dengan lain perkataan, konteks menjadi hal yang penting bagi
pemaknaan. Masalah kedua yang menjadi sumber
kontradiksi dan paradoks adalah masalah retorika. Dalam konteks hubungan
pemerintah dan masyarakat, lazimnya dalam praktik komunikasi politik,
komunikasi retorika merupakan keniscayaan. Ada hubungan timbal balik yang
menarik dan dinamis, yang dapat kita cermati dari relasi itu. Sebab,
komunikasi retoris bercirikan argumentasi, kelogisan, dan persuasi yang
tujuannya sama-sama ingin memengaruhi dalam proses-proses pengambilan
keputusan dan kebijakan terhadap kepentingan publik. Dalam situasi komunikasi yang penuh
argumentasi, kelogisan dan persuasi itu, penerimaan atau penolakan terhadap
ujaran-ujaran, memunculkan opini dan tidak setiap opini harus menjadi opini
publik. Ia dapat menjelma dan justru menimbulkan kontestasi dan pro-kontra.
Dalam bentuk-bentuk yang tidak terkendali, hal ini akan menimbulkan keriuhan
dan kegaduhan. Apalagi praktik-praktik dari dimensi
semiotika dan retorika itu yang tidak bijak, komunikasi akan menjadi
komplikasi, ketika saat terjadi, tujuan menghalalkan segala cara. Aspek
penting opini dari suatu pendapat adalah apakah ia memiliki nilai bagi
pemerintah dan bangsa yang bermanfaat. Masalah ketiga adalah persoalan etika.
Meskipun berkomunikasi adalah hak setiap orang dan kemerdekan berpendapat
adalah bagian dari demokrasi, komunikasi kritik harusnya konstruktif.
Tuntutan kritik konstruktif bukan apologia. Memang begitu seharusnya. Kritik
mesti mempertimbangkan pada kepatutan dan kepantasan. Sebab, di dalam
kemerdekaan berkomunikasi itu, ada hak-hak orang lain juga yang harus
dihargai dan dihormati. Kritik yang konstruktif itu haruslah
mengacu pada tiga solusi yang menjadi masalah itu sendiri. Adalah komunikasi
yang mempertimbangkan keberagamaan makna yang timbul dari penggunaannya. Ia
harus logis tanpa mengeksploitasi sisi emosi dan sensitifitas negatif dalam
mempersuasi dan sekaligus mempertimbangkan segi kepatutan dan ketulusan. Jadi, kritik itu berguna. Dalam demokrasi
pun, ada prinsip yang menyatakan bahwa tidak ada yang kebal dari kritik.
Dalam demokrasi yang berkualitas, semestinya tidak ada anasir-anasir yang
antikritik dan sebaliknya, juga tidak perlu merasa takut untuk melakukan
kritik. Sekeras apa pun kritik, tidak ditujukan pada pribadi, tetapi
ditujukan pada pikiran, gagasan, dan kebijakan. Sinyalemen presiden bahwa pemerintah
membutuhkan kritik dan jika ada pasal karet dari peraturan yang menghambat
kemerdekaan berpendapat yang konstruktif mesti direvisi, terang-terangan
merupakan pandangan yang visioner. Ini cerminan sikap presiden yang matang,
yang mengkhawatirkan kualitas demokrasi dan kemajuan bangsa. Bangsa yang maju bukan bangsa yang hanya
dihiasi oleh pujian-pujian yang berasal dari dalam diri kita sendiri,
melainkan bersamaan dengan itu, koreksi-koreksi dan perbaikan-perbaikan yang
sifatnya reflektif, dari internal dan eksternallah yang akan memacu kemajuan
itu sendiri. Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Namun, kita mesti memiliki
kematangan dan bersikap bahwa ketidaksempurnaan itu mesti ada upaya untuk
memperbaikinya. Salah satunya dengan cara mendengarkan dan menerima kritik. Boleh jadi, kritik itu sebagai sesuatu yang
tidak kita sukai, tetapi memberi manfaat bagi kita. Dan boleh jadi, kita
menyukai pujian-pujian dari orang-orang yang suka memuji, tetapi tidak
memberi kebaikan kepada kita. Di antara kritik dan pujian itu tersembunyi
motif dan tujuan. Karena itu, dalam kerahasiaan dan ketersembunyian motif
itu, marilah kita luruskan niat kita dalam berkomunikasi kritik yang
konstruktif, yang semata-mata kita tujukan untuk kemajuan bangsa. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar