Keadaban
Digital Masyarakat Kita Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di LIPI |
KOMPAS,
27 Maret
2021
Akhir Februari 2021 kemarin Microsoft
mengeluarkan "Digital Civility Index" (DCI) yang melihat tingkat
keadaban suatu negara di dunia maya. Dari 32 negara yang disurvei, Indonesia
menempati urutan ke-29 atau hanya lebih baik dari Meksiko, Rusia, dan Afrika
Selatan. Skor DCI Indonesia tahun ini adalah 76 atau delapan poin lebih buruk
dari 2019. Makna keadaban ini dilihat dari beberapa
hal, seperti: 1) apakah seseorang akan berpikir atau merenung terlebih dahulu
sebelum membalas ke orang yang tidak disetujui, 2) menghormati pandangan
orang lain, 3) memperlakukan orang lain dengan hormat dan bermartabat, 4)
melakukan pembelaan terhadap orang diperlakukan secara tak baik dan tak sehat
di dunia daring. Hal yang juga diukur dalam indeks ini
adalah jumlah hoaks, scam (penipuan), fraud, disinformasi, berita bohong,
rundungan, pelecehan, diskriminasi, dan sejenisnya. Microsoft sendiri sudah
mulai melakukan survei tentang keadaban digital tahun 2016 dan hasil yang
baru dirilis itu merupakan survei kelima. Hasil buruk Indonesia dalam Indeks Keadaban
ini akan menambah rasa sedih bila disandingkan dengan beberapa indeks lain.
Dalam buku Bergesernya Pemahaman Agama: Dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan
Kultural Milik Bersama (2021), Denny JA menampilkan tiga indeks yang juga
baru dirilis, yaitu: Indeks Kebahagiaan, Indeks Korupsi, dan Indeks Pembangunan. Di mana tempat Indonesia? Kita berada di
ranking ke-84 dari 153 negara yang disurvei dalam Indeks Kebahagiaan. Dalam
hal korupsi, Indonesia berada di ranking ke-85 dari 179 negara yang diukur.
Dalam Indeks Pembangunan, Indonesia urutan ke-107 dari 189 negara. Memang tak
seburuk Indeks Keadaban, namun sangat jelas Indonesia tak berada di posisi
yang baik. Beberapa orang mengaitkan Indeks Keadaban
itu dengan aspek lain, seperti politik. Tulisan ini akan melihat dari sudut
lain: apakah agama, pendidikan moral atau etika, dan Pancasila tidak banyak
berpengaruh di masyarakat sehingga nilai kita dalam Indeks Keadaban Digital
rendah? Padahal agama dan akhlak sudah menjadi komponen penting dalam
pendidikan nasional. Bisa saja orang berkilah dari pertanyaan
itu dengan mengatakan, “Sudah ada pendidikan Pancasila dan akhlak saja
hasilnya seperti itu, apalagi jika tidak ada?” Namun kesimpulan berbeda bisa
saja ditarik, bahwa pendidikan akhlak, agama, dan juga Pancasila yang selama
ini diajarkan tidak terlalu berhasil membangun keadaban kita di dunia
digital. Etika
bermedsos Dalam buku The Death of Expertise (2017),
Tom Nichols menyebutkan tentang efek negatif dari dunia digital, “Internet
membuat kita lebih kejam, bersumbu pendek, dan tak mampu membangun iklim
diskusi di mana setiap orang saling belajar. Masalah utama dengan komunikasi
instan ini adalah sifatnya yang instan itu … Kadang-kadang, manusia perlu
berhenti sejenak dan merenung, memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk
menyerap informasi dan mencernanya”. Di dunia media sosial (medsos), orang akan
mudah bereaksi tanpa dipikir terlebih dahulu, sharing tanpa disaring. Gerak
jari kadang lebih cepat dari gerak pikiran. Kasus “Islam Agama Arogan” adalah
contohnya. Begitu cuitan tersebut viral dan mendapatkan banyak kritik, baru
penulisnya minta maaf dan menyebutkan bahwa itu adalah respons instan
terhadap cuitan dari lawannya. Seperti disebutkan sendiri oleh penulisnya
dalam video permintaan maafnya, cuitan itu keluar tanpa disertai perenungan
terlebih dahulu. Di dunia digital, seorang pandir kadang
memang bisa merasa lebih pintar dan berpengaruh daripada orang yang berilmu.
Beberapa orang yang sebelumnya tak pernah belajar ilmu agama, misalnya,
tiba-tiba menjadi dai selebritis dan rujukan dalam otoritas keagamaan karena
berhasil mempromosikan diri melalui Facebook, Twitter, Instagram, atau
Youtube. Saya sering mengambil contoh apa yang
dialami oleh Buya Syafii Maarif, Quraish Shihab, dan Ahmad Mustofa Bisri yang
pernah dirundung oleh orang-orang yang mungkin belum teteh atau tidak lancar
membaca Al Fatihah. Karena tulisannya yang berjudul “Isu
kebangkitan PKI jadi ritual tahunan” (26/9/2017), Buya Syafii Maarif
dirundung di medsos dengan kata-kata seperti “orang tua gila”, “semakin tua
semakin sesat”, “si pikun utek liberal”, “kerak neraka”, “semakin tua semakin
kehilangan akal”, “agen PKI kedok ulama”, “intelek kok guoblok”,
“berbicaranya lantang, tapi telinganya tuli, pandanganya buta”, dan
sejenisnya. Di sini begitu tampak tiadanya etika terhadap
orang tua, orang berilmu, dan pemimpin umat serta hilangnya kemauan untuk
ber-tabayyun (berefleksi dan konfirmasi). Memang, kelebihan internet adalah
kemampuannya dalam memberikan kemudahan yang luar biasa untuk bisa mengakses
ilmu pengetahuan. Namun paradoksnya, di tengah kemudahan tersebut, justru
orang tak mau menjadi pembelajar dan bahkan menolak ilmu pengetahuan. “Orang
tidak hanya percaya terhadap hal-hal bodoh, tapi mereka bahkan secara aktif
menolak untuk belajar dan melepaskan diri dari keyakinan bodoh itu” (Nichols,
2017). Hilangnya akhlak, kejujuran, banyaknya
berita bohong, hoaks, penipuan, dan sejenisnya di media sosial itulah yang
membuat banyak orang resah dengan keberadaan dunia digital. Inilah yang
lantas membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang
“Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos” pada 2017. Demikian pula Muhamadiyah yang mengeluarkan
buku panduan bermedia digital berjudul Akhlaqul Medsosiyah Warga Muhammadiyah
pada 2018 lalu. Meski ada banyak panduan atau fatwa terkait
etika penggunaan medsos, namun tetap tak mampu menahan jatuhnya keadaban kita
di dunia maya. Bahkan, bisa saja sebagian yang
mengeluarkan panduan atau fatwa itu terjebak juga untuk ikut serta dalam
ketidakadaban digital. Barangkali, sebagai panduan berselancar di dunia
digital, kita perlu mempertimbangkan hukum Sturgeon, diambil dari nama
penulis science-fiction legendaris Theodore Sturgeon. Mengikuti hukum itu, bisa dikatakan bahwa
90 persen dan informasi melalui dunia digital itu adalah sampah (Nichols,
2017). Karenanya, peselancar dunia maya perlu memilih-milah sampah itu untuk
dapat menemukan 10 persen mutiara yang ada. Peta
Jalan Pendidikan Nasional Kembali ke pertanyaan awal terkait peran
agama di dunia digital, adakah atau tidak adakah pengaruh dari agama terhadap
keadaban digital di Indonesia? Agama memiliki tempat yang begitu penting di
masyarakat dan pemerintahan. Seluruh aspek, termasuk pendidikan nasional,
akan memasukkan agama sebagai unsur utama. Ketika frasa “agama” tidak muncul dalam
draf Peta Jalan Pendidikan (PJP) 2020-2035, sebagian dari kita memprotesnya.
Namun, seperti terlihat dalam indeks korupsi dan DCI, mengapa agama tampak
tak memiliki pengaruh? Barangkali, seperti dikatakan Denny JA
terkait korupsi, “moral publik di pemerintahan tidak ditentukan oleh banyak
atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Tapi korupsi lebih ditentukan
oleh manajemen modern”. Demikian pula halnya dengan persoalan keadaban
digital. Hal yang lebih mengkhawatirkan, mengapa,
pada beberapa kasus, pendidikan keagamaan yang ada di sekolah justru
melahirkan radikalisme, eksklusivisme, intoleransi, dan sejenisnya? Di sini
perlu dilihat secara serius ketika agama hendak dimasukkan menjadi unsur
penting dalam PJP. Nilai keagamaan seperti apa yang hendak diajarkan? Ini perlu dipertimbangkan sehingga masuknya
elemen agama dalam pendidikan itu tidak malah menanamkan atau menumbuhkan
segregasi sosial, intoleransi, diskriminasi, dan radikalisme. Yang perlu
ditanamkan adalah nilai-nilai agama yang mengajarkan semangat nasionalisme,
patriotisme, persatuan, keadilan sosial, kemanusiaan dan cinta kepada sesama.
Termasuk juga adalah bagaimana kita memiliki keadaban digital yang baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar