Kartelisasi
Oligarkis, Melampaui Demokrat Boni Hargens ; Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia |
KOMPAS,
16 Maret
2021
Apa untungnya mendiskusikan prahara Partai
Demokrat? Bukankah publik sudah muak dengan konflik elite yang sering kali
terjadi di saat rakyat lelah bertarung dengan nasibnya? Apa pelajaran yang
bisa kita petik (lesson-learned) dari kisruh ini? Konsep ”otonomi relatif” dalam teori
politik biasanya berkaitan dengan eksistensi dan otonomi negara. Basis argumentasinya berangkat dari tesis
bahwa totalitas sosial memiliki empat praktik berbeda yang terpisah—praktik
ekonomis, politik, ideologis, dan teoretis—tetapi selalu terjadi dalam
kombinasi meski setiap praktik memiliki otonomi sendiri (McLean &
McMillan, 2009). Otonomi
relatif Marx dan Engels dulu memahami ”otonomi
relatif” dalam konteks Leninisme-Marxisme Soviet, di mana negara merupakan
epifenomenon yang semua tindakannya tereduksi oleh aktivitas ”bangunan dasar”
(basis ekonomi) dalam relasi ”infrastuktur” versus ”suprastruktur” atau,
dalam terjemahan lain, ”bangunan bawah” versus ”bangunan atas”. Diskusi tentang ”otonomi relatif”
dipopulerkan pada abad ke-20 oleh Poulantzas dalam karyanya berjudul
Political Power and Social Classes (1968). Ia meletakkan konsep itu dalam
kerangka ”negara kapitalis modern”, di mana kekuasaan berada di tangan mereka
yang tak punya pengetahuan politik dan roh kekuasaan merepresentasi
kepentingan pasar. Dalam hal ini, Poulantzas melihat negara
sebagai ”kapitalis kolektif” yang memakai mekanisme ”pemilu” sebagai
legitimasi untuk tujuan ekonomis. Demokrasi modern berhadapan dengan faktum
politik tersebut. Banyak ahli mengadopsi teori oligarki (Winters, 2011) dalam
memahami fenomena dominasi pemodal dalam demokrasi liberal. Yang lain memakai
teori Partai Kartel (Katz & Mair, 1995, 2009) karena melihat
kecenderungan eksklusivisme partai politik yang gandrung membangun tembok
pemisah dengan massa pendukungnya dan membangun konspirasi lintas partai
dalam rangka monopoli sumber daya negara. Di harian ini (Kompas, 28/3/2020), saya
pernah mengusung konsep ”kartelisasi oligarkis” sebagai tawaran konseptual
memahami dinamika partai politik di Indonesia sesudah Soehartoisme—yang
notabene diambil dari disertasi doktoral berjudul ”Oligarchic Cartelization
in Post-Suharto Indonesia” (2019) di Universitas Walden, Amerika Serikat. Sintesis dasarnya bahwa partai-partai
bersekongkol dalam ”merampas” sumber daya negara dan membangun tembok yang
memisahkan mereka dari masyarakat akar rumput. Dalam fenomena kartelisasi oligarkis,
masyarakat cenderung melihat urusan elitis tak lebih penting dari sinetron
televisi. Perasaan ”terpisah” itu membentuk persepsi partikuler bahwa apa pun
yang terjadi dengan elite politik bukanlah urusan rakyat jelata. Itu sebabnya, saya pesimistis hiruk-pikuk
internal Partai Demokrat ini bakal menyedot simpati khalayak luas. Bukan
karena Demokrat tidak penting, melainkan karena itu perkara elitis yang
lumrah dalam praksis kepartaian di Indonesia. Harusnya Demokrat gelisah dengan dirinya
dalam konteks ”ketidakhadiran partai” dalam membangun demokrasi yang bebas
dari cengkeraman oligarki. Hanya di ruang itulah partai berhak meraih simpati
publik. Akan tetapi, kalau berbicara konflik partai
an sich, Demokrat seharusnya tak terkejut. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu ribut keras. Pemerintah
ketika itu hanya ”diam” ketika keluarga Gus Dur (Abdurrahman Wahid) ”digusur”
dari partai yang dibangunnya. ”Dicuri dengan bantuan pemerintah,” ujar
Gus Dur (15/4/2008) dalam pidatonya seusai konflik PKB yang dimenangi
Muhaimin Iskandar, sebagaimana terekam dalam video yang kembali beredar di
dunia maya sejak 7 Maret 2021. Apakah secara legal-formal pemerintah betul
mencuri PKB ketika itu? Tentu tidak! Pemerintahan SBY betul-betul ”diam” dan
menghargai (atau berlindung di balik?) proses hukum dalam menanggapi konflik
itu. Memang sudah seharusnya begitu. Dengan logika yang sama, tudingan Istana
Jokowi dalang di balik wayang di Sibolangit juga tidak punya basis
argumentasi material. Sengketa hukum adalah ranah yudikatif, bukan eksekutif. Preseden sejarah membuktikan SBY pernah
memberi teladan yang baik soal itu. SBY diam soal PKB, meski dalam diam, ia
sukses meraih dukungan PKB kala itu. Kalau belakangan banyak yang mengaitkan
kisruh ini dengan konflik masa lalu, itu wajar saja meski SBY tentu menolak
keras. ”… Selama 10 tahun saya memimpin Indonesia… tidak pernah mengganggu
dan merusak partai lain,” aku SBY saat konferensi pers, Jumat (5/3/2021). Tahun 1973, Soeharto melakukan fusi partai
politik. Semua partai dipaksa melebur: yang nasionalis sekuler bergabung
dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan yang nasionalis religius dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fusi merupakan strategi penggembosan
partai untuk membesarkan ”boneka demokrasi” Golongan Karya (Golkar) masa itu.
Apakah ada pengakuan soal penggembosan itu? Namun, sejujurnya, Istana sulit mengelak
dari spekulasi acak. Posisi Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden
(KSP) membuka ruang lebar bagi pelbagai macam tudingan. Maka, setelah drama
Sibolangit, Istana akan lebih ringan bebannya jika Partai Demokrat versi
kongres luar biasa (KLB) dipimpin oleh sosok yang berjarak dengan Istana atau
sebaliknya. Faksionalisasi Faksionalisasi internal adalah problem yang
lumrah dalam organisasi politik di mana pun di dunia. Hal itu selalu
berkorelasi positif dengan kedewasaan organisasi dalam aspek manajemen kepemimpinan,
termasuk relasi elite-akar rumput dalam tubuh partai. Maka, untuk menemukan lesson-learned, kita
perlu membaca pertikaian partai melampaui horizon. Partai-partai di Indonesia
masih rentan dengan konflik internal. Itu semua refleksi dari krisis dalam
hal manajemen organisasi, metode kaderisasi yang modern, relasi elite-basis
dalam tubuh partai, termasuk kualitas kepemimpinan. Budaya
politik Eksistensi partai, berikut kualitas
keberadaannya, berkelindan dengan budaya politik masyarakat. Kalau memakai
perspektif Almond dan Verba (1963), mayoritas masyarakat Indonesia sebetulnya
bergerak dari fase parokial menuju fase subyektif dan sebagian kecil sudah
pada fase partisipatif. Mayoritas pemilih masih absen dari ruang partisipasi
publik karena beragam alasan. Dalam situasi ini, kerja partai amat
fundamental dalam hal pendidikan politik. Kisruh partai adalah pantulan
kerapuhan partai dalam mewujudkan tujuan ontologisnya sebagai ”agen
perubahan” dalam negara demokrasi. Padahal, tugas partai hari ini makin rumit.
Kompleksnya ”ruang publik baru” dalam era post-truth menuntut kecerdasan
sosial partai dalam merespons dinamika dan tantangan yang muncul di tengah
masyarakat politik. Kalau partai terus sibuk dengan keributan
elitis, bisa dipastikan partai bakal absen dari agenda pencerdasan ruang
publik dan tentunya peluangnya besar untuk ditinggal pemilih. Butuh inovasi dalam berpikir dan bertindak
untuk beradaptasi dengan lingkungan politik yang makin dinamis. Partai masa
depan adalah partai yang memiliki kapabilitas untuk beradaptasi dengan
konteks. Dominasi generasi milenial dalam piramida demografis pemilih akan
dengan sendirinya memaksa partai juga berevolusi dengan zaman. Faksionalisasi bisa terjadi kapan saja pada
partai apa saja. Namun, faksionalisasi yang tiada henti berpengaruh
signifikan terhadap ketahanan demokrasi sebagai tatanan politik. Untuk itu,
semua partai perlu memikirkan sejumlah hal dasar. Pertama, penguatan manajerial di tubuh
partai. Kedua, pembenahan kualitas kepemimpinan. Ketiga, perbaikan pola
komunikasi elite partai dan massa akar rumput. Keempat, perlunya implementasi
prinsip demokrasi di dalam tubuh partai dalam hal diferensiasi peran dan
sirkulasi kekuasaan untuk menghindari oligarkisasi dan praktik dinasti. Kelima, memanggil kembali secara reguler
visi-misi partai dan kesinambungannya dengan falsafah negara Pancasila supaya
partai sungguh berusaha menjadi agensi ideologis dan politik dalam menjaga
konstitusi, dasar negara, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar