Kampung
Saya Bre Redana ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu |
KOMPAS,
28 Maret
2021
Kalau tidak salah hitung, persis bulan
Maret ini 16 tahun saya tinggal di desa, namanya Banjarsari. Awal-awal
tinggal di sini, saya sering jalan-jalan di ladang-ladang ataupun daerah yang
sedikit berhutan, ada air terjunnya. Kawasan yang tak begitu asing, yakni
Tapos. Khayal saya berlebihan. Waktu itu, tanpa
tahu diri, saya membayangkan diri sebagai Hermann Hesse. Tatkala tinggal di
Casa Camuzzi di perbukitan Montagnola, Italia, pengarang yang saya kagumi itu
suka jalan-jalan di bukit dan ladang-ladang sekitarnya. Siapa mengira bahwa deskripsi hutan-hutan
di India dalam novelnya yang monumental, Siddhartha, didasarkan lingkungan
tempat tinggalnya Casa Camuzzi. Semak-semak di belakang rumah ia sulap jadi
hutan di India yang liar dalam novelnya. Danau Logano tak jauh dari situ jadi
inspirasi untuk menggambarkan aliran sungai di India. Permukaan air
memantulkan bayangan bulan tatkala purnama—teka-teki ada dan tiada dalam
kepercayaan Buddhis yang jadi tema novelnya. Tidak saya rasakan penat harus bolak-balik
ke Jakarta tiap hari. Masa itu saya belum jadi pensiunan. Terutama saat
deadline koran, saya pulang tengah malam. Betul ucapan pimpinan dan teladan kami
waktu itu, Pak Jakob Oetama. Lelah karena kerja akan menimbulkan rasa puas,
yang tidak akan dialami oleh orang malas. Pada tengah malam tak jarang saya
melewatkan waktu menikmati kesegaran udara gunung, bintang-bintang, disertai
keheningan: solitude dan kebebasan. Kabut kadang turun sebagai tirai rahasia
hidup. Saya harus berterima kasih kepada teman
saya, arsitek Andy Siswanto. Ia membantu menjadikan tempat ini sebagai tempat
untuk mengontemplasikan hujan dan bulan. Seperti saya sebut tadi, selain suka
berkhayal berlebihan, saya juga gemar meniru-niru. Meniru Hesse ketika
menulis novel Blues Merbabu yang saya lihat dan tampilkan adalah Gunung
Salak. Ah, infantilisme. Pada perkembangannya, seperti daerah-daerah
lain negeri ini, lingkungan alami sekitar saya terus-menerus merosot. Sumber
air dikuras jadi industri air kemasan. Hunian terus meluas dalam bentuk vila,
resor, kompleks perumahan, dan lain-lain. Digitalisme dan kemudahan mobilitas manusia
pada gilirannya membawa perubahan drastis. Salah satu kutukan digitalisme
barangkali adalah pandemi ini. Kita dijejali apa yang kita harapkan (bahasa
Jawanya dilulu) untuk melulu hidup secara virtual. Hutan, ladang, telah lama menyusut.
Sudut-sudut kampung menjalani facelift. Dia disulap jadi tempat rekreasi gaya
hidup berupa coffee shop, restoran, hotel, arena petualangan outbond, dan
lain-lain dengan label ”instagramable”. Sering ada teman menghubungi, untuk
ditunjukkan lingkungan saya yang dia dengar instagramable. Saya jawab
hubungilah orang lain, kalau perlu menteri pariwisata terdahulu yang gemar
bicara soal wisata digital dan instagramable. Huruf-huruf segede gajah dijadikan penanda
tempat. Siapa peduli bahwa alam bisa berucap tanpa kata seperti petang yang
datang tiba-tiba. Pemotor segala usia dan segala jenis
kelamin menyerbu. Ini tentunya bukan khas kampung saya. Sudut kampung mana
saja begitu citranya muncul di layar digital akan diserbu pemotor dan
pemobil. Tidak lama lagi seperti sepeda motor akan terjadi banjir mobil
akibat keberpihakan penguasa pada pengusaha industri otomotif. Jangan tanya soal sampah. Dalam hal sampah
tidak ada perbedaan kelas. Siapa saja membuang sampah di mana saja kecuali di
halaman rumah sendiri. Apa yang saya lukiskan tentulah tidak
seproblematik dan sedramatik hancurnya hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan,
dan Papua. Saya tidak tahu-menahu tentang hutan kecuali melalui gambaran
Mario Vargas Llosa dalam The Dream of the Celt. Sesak napas saya membaca novelnya yang
melukiskan bagaimana hutan dan keluguan masyarakat di Afrika dan Amerika
Selatan dimanipulasi dan dihancurkan penguasa. Jangan-jangan itulah yang
dialami saudara-saudara saya di Kalimantan dan Papua. Saya tidak lagi berjalan-jalan di kampung.
Kalau dulu saya membayangkan diri sebagai Hermann Hesse, kini saya memilih
membayangkan diri sebagai Gianni Versace. Pagi hari dia ke kedai kopi di
Ocean Drive, Miami, ngopi dan baca koran. Tambah jarang orang langganan koran. Kini
setiap pagi saya ke sebuah kedai kopi yang logonya menjadi penanda kemajuan.
Pokoknya sebuah tempat telah bagus kalau ada logo itu. Di situ saya minum kopi, dan seperti
Versace, numpang baca koran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar