Gus
Dur dan Syiah Jalaluddin Rakhmat Idham Cholid ; Ketua Umum Jayanusa; mengagumi Gus
Dur dan Kang Jalal |
TEMPO.CO,
22 Februari
2021
Ulama ensiklopedis, demikian cendekiawan
muda NU Zuhairi Misrawi menyebut KH Jalaluddin Rakhmat, itu telah pulang ke
Rahmatullah, Senin, 15 Februari lalu. Terus terang, saya sangat kaget. Tak
dengar kabar sakitnya. Begitu tiba-tiba, Covid-19 telah merenggutnya,
menyusul istri tercinta yang wafat empat hari sebelumnya. Inna lillahi wa
inna ilaihi roji’un. Sejak akhir Desember lalu, saya dan Haddad
Alwi, sebenarnya sudah merencanakan sowan ke Bandung. Tak lain, ingin
mendiskusikan banyak hal, tentang ukhuwah Islamiyyah, tentang persaudaraan
kebangsaan, dan lain-lain. Tapi belum terlaksana, Kang Jalal, begitu
Jalaluddin Rakhmat kerap disapa, sudah kembali ke hadirat-Nya. Tentu, kita semua kehilangan. Bagi saya
pribadi, Kang Jalal sudah tak asing lagi. Namanya sudah saya kenal sejak awal
1990-an. Di antara karyanya, seperti Islam Alternatif (1986), Islam Aktual
(1991), Renungan Sufistik (1991), juga Retorika Modern (1992), menjadi bacaan
“wajib” yang sampai saat ini masih suka saya telaah juga. Pada 1993, bersama kawan-kawan gerakan dan
forum kajian di Jombang, dulu pernah menghadirkannya dalam kajian tentang
pemikiran Ali Syari’ati. Pemikiran yang sangat digandrungi para mahasiswa
saat itu. Mereka merindukan gerakan alternatif (mungkin karena kebuntuan-nya)
dalam menghadapi “represivitas” Orde Baru. Kang Jalal menyuntikkan semangat
khusus, “virus” spiritualitas, di tengah dahaganya gerakan aksi mahasiswa
yang seringkali hanya bermodalkan spanduk, pers release, dan kadang “caci
maki” belaka. Di situlah, untuk pertama kalinya, saya
bertemu dan berbincang cukup lama. Kang Jalal sangat santun dan bersahaja.
Saya waktu itu baru berumur 23 tahun, sementara Kang Jalal sudah 45 tahun.
Jarak yang cukup jauh, tak membatasi keakraban kami. Sikap “ngemong”-nya bagi
saya luar biasa. Keramahannya, mau menjadi pendengar yang baik, dan friendly,
itulah akhlaq yang harus kita teladani. Saya yang sejak lahir memang NU, saat itu
sudah aktif di PMII, tentu sangat mengagumi Gus Dur. Bahkan kemudian
kawan-kawan sering menyebut saya Gusdurian. Di situlah kemudian saya
“menyambungkan-diri” dengan Kang Jalal. Ternyata efektif. Mungkin karena dia
juga ahli komunikasi, pertemuan saat itu menjadi sangat komunikatif. Tak ada
jarak, meskipun saat itu Kang Jalal terbilang sudah menjadi cendekiawan
kondang. Dan ternyata, baru saya ketahui belakangan
ini, menurut pengakuan Kang Jalal sendiri, dia lahir dan dibesarkan di
lingkungan NU. Hanya kemudian, setelah pindah ke kota, kuliah di Bandung, dia
lebih aktif di Muhammadiyah. Dengan demikian, hemat saya, Kang Jalal adalah
NU yang Muhammadiyah atau sebaliknya, sebutan yang nge-trend: Muhammad
Nahdliyin. Karena
Gus Dur Teman saya, Wakil Katib Syuriyah PBNU
Sa’dullah Afandi, berbagi cerita kenangan. Saat itu, tepatnya pada 1997, dia
ditugaskan redaktur Warta NU untuk wawancara khusus dengan Kang Jalal di
Bandung. Seusai wawancara, dia memberanikan diri bertanya secara pribadi.
“Kang, kenapa Anda seorang Muhammadiyah koq ‘hijrah’ ke Syiah?” Demikian
pertanyaannya. Kang Jalal pun kemudian membuka cerita.
Bahwa dia—yang saat itu sudah menjadi mubaligh yang punya nama di
Muhammadiyah—telah bertahun-tahun mengisi pengajian bulanan di RS Yarsi
Jakarta. Tentu kajian tentang Ke-Muhammadiyah-an yang selalu disampaikan. Namun, ketika pendiri RS tersebut
meninggal, dia diundang pengajian yang jamaahnya sebagian besar ibu-ibu
tersebut, ternyata ada tahlilan juga. “Wah, saya telah gagal
me-Muhammadiyah-kan jamaah pengajian ini.” Gumam Kang Jalal saat itu.
Bingung, kaget, juga kecewa. Jamaah pengajian Yarsi itu, mayoritas
adalah pendatang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan tradisi tahlilan di
daerah asalnya. Menurut Kang Jalal, mereka sudah tak berpikir lagi bahwa
amalan tersebut sebagai perbuatan bid’ah, tetapi justru menjadi bagian dari
kearifan lokal yang sudah turun-temurun dilakukan untuk mendoakan orang yang
sudah meninggal. Kang Jalal pun akhirnya “curhat” tentang
kekecewaannya itu kepada Gus Dur. Seperti biasa, Presiden ke-4 RI itu hanya
tertawa. Bukannya mengajak kembali ke NU, tapi justru merekomendasikan putra
Kang Jalal untuk belajar Syiah ke Iran, ketika dia meminta rekomendasi Gus
Dur—yang saat itu sebagai Ketua Umum PBNU—untuk beasiswa putranya itu. Tak cukup disitu, Gus Dur bahkan juga
mengantar Kang Jalal dan putranya ke Iran, menitipkan langsung kepada ulama
Syiah di sana. Yang menarik adalah cerita tentang obrolan
Kang Jalal dengan Gus Dur, dalam perjalanan pulang dari Iran. “Gus, kenapa anak saya harus belajar ke
Iran?” “Gini Kang, sampean kan kecewa menjadi
mubaligh Muhammadiyah yang gak direken jamaah yang sudah puluhan tahun sampean
bina. Mending sampean belajar Islam Syiah saja.” “Kenapa gak diajak ke NU saja, Gus?” “Di NU itu sudah banyak kiai yang alim dan
pinter kitab kuning. Sampean nanti paling cuma jadi santri, jadi jamaah
mereka. Tapi kalau di Syiah, sampean pasti jadi tokoh.” Kang Jalal kaget. Gus Dur hanya terkekeh.
Akhirnya, mereka pun tertawa bersama. Sejak itulah, Kang Jalal sering diundang ke
Iran, mengikuti kegiatan dan pertemuan internasional di negeri Persia
tersebut. Kemudian, dia pun menjadi tokoh utama Syiah Indonesia, dengan
mendirikan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia). Kang Jalal tak memungkiri, itu semua adalah
“berkah” Gus Dur, yang telah membuka jalan ke Iran. “Jadi, kenapa saya Syiah?
Gus Dur lah yang harus bertanggungjawab, karena saya di-Syiah-kan oleh Gus
Dur.” Demikian guyonnya. Cinta
Persaudaraan Saya tak tahu pasti kebenaran cerita
tersebut. Tapi saya meyakini bahwa hal itu benar adanya. Karena bagaimanapun,
tokoh-tokoh yang kita kagumi itu adalah pribadi yang jujur dan terbuka. Kalau
demikian, menurut saya, betapapun hebatnya Kang Jalal sebagai tokoh Syiah
selama ini, dia ternyata masih menyandarkan kepada Gus Dur. Bagi saya, itu sah-sah saja. Gus Dur adalah
tokoh besar. Terlebih saat itu, sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur memang harus
mengayomi “umat”, dari mana pun asalnya. Sebagai seorang pluralis, Gus Dur
harus pula membuka jalan “kebenaran” untuk siapa saja yang mau dengan tulus
dan konsiten menempuhnya. Begitu pula Kang Jalal. Dengan kejujurannya
itu, dapat dipastikan, dia bukanlah penganut Syiah yang eksklusif. Dia
bukanlah bagian dari penganut “paham yang salah”, yang hanya suka dan
terbiasa menyalahkan mereka yang tidak sepaham. Orang se'alim Kang Jalal, tentulah juga
sangat memahami NU. Terlebih, dia memang lahir dan dibesarkan di lingkungan
nahdliyin. Saya yakin, kapasitas ke-NU-annya tak sekadar formal dan ritual,
apalagi simbolik semata. Kang Jalal adalah pecinta ilmu, pembaca yang
sempurna, tentu dapat dipastikan dia sangat memahami Khittah dan prinsip
ajaran Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari juga. Yang paling fundamental di antara ajaran
Bapak pendiri NU itu, sebagaimana termaktub dalam Qanun Asasi 1926, adalah: “Persatuan, ikatan batin satu dengan yang
lain, saling bantu menangani satu perkara dan se-iya sekata, merupakan
penyebab kebahagiaan yang terpenting dan menjadi faktor paling kuat untuk
menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.” Dalam konteks itulah, saya juga memahami
pemikiran Kang Jalal selama ini. Berikut sikap, tindakan, dan laku hidupnya.
Terutama yang berkaitan dengan komitmen dalam mewujudkan persaudaraan sesama,
dengan landasan cinta yang senantiasa digelorakannya. Baik cinta sesama
muslim, sesama warga bangsa, maupun sesama umat manusia. Dalam hal ini, dia
sering mengutip salah satu pesan utama Imam Ali bin Abi Thalib: “Manusia itu
ada dua golongan, yaitu golongan yang bersaudara dalam satu agama, dan
golongan yang bersaudara sesama ciptaan Tuhan.” Inti ajaran itulah yang melandasi gerakan
Kang Jalal. Yakni, cinta persaudaraan. Tak hanya berhenti di situ, dia telah
berikhtiar nyata selama ini, mewujudkan persaudaraan atas dasar cinta dan
kasih sayang. Karena di sinilah sejatinya esensi dari prinsip ajaran Islam
rahmatan lil amin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar